Happy reading!
***
"Sayang banget, rumah antik sebesar itu nggak ada yang nempatin," kata Aska sambil rebah-rebah di teras rumah beralaskan karpet.
Angin semilir malam ini benar-benar pas dengan suguhan singkong goreng yang bunda tinggalkan sebelum pergi menjenguk sepupu yang sakit bersama ayah.
Sembari menunggu bunda pulang, pada akhirnya obrolan melantur Aska dan Mara beserta pendengar setianya Aruna berakhir pada topik rumah kayu antik yang paling besar seantero desa terpelosok di kaki gunung ini.
Ketiga remaja itu kompak menengok pada rumah kayu mahoni berlantai dua itu, yang mana berada tepat di samping rumah tembok mereka yang sama sekali tak ada estetikanya.
"Kamu kalau mau tinggal di sana juga nggak papa, lho," balas Mara, sebagai yang tertua dengan nada ketus.
"Idih, nggak mau-lah! Mbak Mara emang nggak tau kalau rumah itu ada banyak hantunya?" sungut Aska sambil mencomot potongan terakhir singkong goreng.
"Heh, itu bagiannya Aruna, sini sini!"
"Aruna aja nggak protes kok! Sini balikin!" Aska merenggut, berusaha merampas potongan singkong goreng berminyak yang direbut Mara darinya.
"Pake kata 'Kakak'! Aruna itu lebih tua darimu, dek!"
"Cuma beda tiga bulan, kok! Aruna aja nggak sewot kayak Mbak Mara! Sini singkongnya, Mbaak!"
Tak selesai-selesai ributnya, Aruna yang sedari tadi diam saja mencoba inisiatif untuk melerai. Bicara satu atau dua kata tidak akan melukai tenggorokannya, kan?
"Kasih aja Mbaㅡ" Belum sempat selesai bicara, mulutnya sudah lebih dulu disumpal Mara dengan singkong goreng terakhir yang sudah gepeng bekas diremat untuk menghindarkan Aska yang makin beringas. "UHUK UHUK!"
Sekarang Aruna yang malah tersedak singkong goreng, "Mbak Mara! Aruna sekarat!" Aska panik, Mara juga ikut-ikutan kalang kabut.
"ASKA, MARA, ITU ARUNA KENAPA NAK?!"
"BUNDA TOLONG!"
Singkong goreng sialan.
***
Ketika malam angin sepoi-sepoi membekukan kulit, maka di siang harinya giliran kulit yang kepanasan di sengat teriknya matahari di musim kemarau yang sudah berlangsung sejak sebulan yang lalu.
"ARGH PANAAAS!" Aska sudah mirip cacing kepanasan. Bilangnya lelah, tapi mulutnya enggan letih mengeluh sepanjang perjalanan pulang dari sekolah. Mengeluh kalau sekolah mereka terlalu jauh, rumah mereka terlalu di pelosok bahkan hingga mengeluhkan kenapa matahari harus panas!
"Bisa diem nggak kamu? Udah tau panas, kamu ngoceh kayak gitu bikin kuping kita makin panas, tau nggak?!" sungut Mara sambil menjitak kening Aska yang berjalan lesu di sampingnya.
"Aduh! Mbak Mara kenapa sih? Aruna aja diem, kok!"
"Kamu tuh yang harusnya diem! Terus jangan panggil Aruna sesukamu!"
"Mbak 'tuh yang berisik! Aruna juga nggak protes, kok!"
Mempercepat langkah kakinya, Aruna sengaja meninggalkan dua bersaudara yang saling menjegal kaki satu sama lain jauh di belakang sana. Cuacanya memang panas, Aruna enggan coba-coba untuk inisiatif melerai lagi. Entah-entah dia bisa saja jadi abu karena melerai mereka.
Tap!
Langkah Aruna berhenti. Beberapa langkah sebelum sampai di rumahnya, matanya melihat sesuatu yang jarang sekali ada di desa kecil ini. Terakhir kali mobil box ada di desa ini adalah di hari ketika Aruna pertama kali menginjakkan kakinya di desa ini bersama Bunda. Terlebih mobil box itu terparkir di halaman rumah kayu mahoni antik yang semalam mereka bicarakan.
"Waaaah, kita akhirnya punya tetangga!" Aska tiba-tiba saja sudah berada di samping Aruna dengan senyum antusiasnya.
Tetangga? Iya juga! Akhirnya punya tetangga yang sungguhan tetangga. Jarak antar rumah di desa ini memang kebanyakan sekitar 10 meter jauhnya. Satu-satunya rumah yang ada di samping mereka bahkan tak ada penghuninya sejak sepuluh tahun yang lalu.
***
"Tenggorokan kamu udah enakan, kak?"
"Ekhem, mendingan, Bun," Suara Aruna terdengar serak, perkara tersedak singkong goreng semalam. Terdengar hela nafas lega dari Bunda yang baru kembali dari kebun pribadi di belakang rumah, membawa beberapa ikat daun bayam dan tomat segar.
"Kamu mau makan siang, nggak?" Aruna menggeleng pelan, "Mbak Mara sama Aska mana?"
"Mereka ada di rumah sebelah sama Ayah, katanya mau bantu-bantu tetangga baru," kata Bunda menjelaskan sambil membilas sayuran, Aruna ikut membantu. "Kamu nggak mau nyusul mereka?" Aruna menggeleng lagi.
Bunda mengulum senyum hangat, dengan sengaja mencipratkan air sisa bilasan di tangannya ke wajah Aruna yang hanya diam saja. Tidak berkedip, pandangan hampa, beserta wajah datar andalannya. "Udah sana kamu jemput Ayah, suruh pulang. Bunda mau anter sayur ini ke rumah sepupumu," suruh bunda setengah jengah, anak biologisnya ini memang sulit diajak bercanda.
"Bunda ditinggal sendiri di rumah nggak papa?" tanya Aruna sambil mengusap wajah basahnya dengan handuk yang tersampir di bahu sang Bunda.
"Ya nggak papa, sayang. Udah sana cepet, hush hush!" Bunda tertawa renyah, geregetan saja melihat tingkah kaku Aruna yang memberi simbol 'ok' dengan ibu jari dan telunjuknya sebelum pergi.
***
Langit yang awalnya biru cerah perlahan menggelap. Panas yang dielu-elukan Aska mulai tak terasa begitu menyengat dan debu andalan musim kemarau bertaburan kemana-mana karena tertiup angin. Argh, mata Aruna kelilipan.
"Oy Aruna bantuin!" Aska berteriak, kardus-kardus masih berserakan di halaman rumah kayu mahoni dan mereka diburu dengan cuaca yang enggan diajak kompromi. Lewat sudah niat Aruna untuk menyuruh Ayah pulang kalau situasinya seperti ini. Toh, tak mungkin juga Bunda mau memaksa pergi di cuaca seperti ini.
Tanpa membalas teriakan Aska, Aruna segera bergerak menghampirinya dan membawa beberapa kardus untuk dibawanya masuk. Beberapa kali tanpa sengaja, Aruna mendapati eksistensi asing seorang laki-laki yang mungkin seumuran dengan Aksa yang tingginya bahkan hanya sebatas bawah telinganya. Oh, anak pemilik rumah kayu mahoni, pikirnya.
"Aruna, aku pulang duluan, ya. Aku lupa jemuran masih di luar!" Mara segera berlari ke rumah, membuat Aska yang melihatnya berdecak kesal. "Mbak Mara kok ninggalin, sih?!"
Tadinya masih tersisa sekitar tiga tumpuk kardus, begitu Aruna berpaling melirik Aska yang misuh-misuh, kardus-kardusnya sudah diangkut oleh anak pemilik rumah kayu mahoni.
"Biar saya yang bawa," Aruna menghampiri, dibalas dengan gelengan pelan dan ditinggal pergi begitu saja. Aruna agaknya sedikit memaksa melihat bagaimana kardus-kardus menutupi pandangan bocah pendek itu. "Saya ajaㅡ"
Bruk!
Baru juga ingin dibantu, sudah tersandung duluan. Untung saja kerah hoodienya berhasil Aruna tangkap dengan cepat. Setidaknya walaupun kardusnya jatuh, si anak pemilik rumah kayu mahoni itu tak ikut-ikut merasakan kerasnya lantai marmer.
"Nggak papa?" tanya Aruna, khas dengan nada datar dan wajah lempeng andalannya.
"Kecekik," suaranya lembut sekali, Aruna sampai tak sadar kalau ada yang tercekik sebelum Aska berteriak. "Bukannya bantuin malah anak orang dicengkiwing!"
***
to be continued
jikalau berkenan, vote dan komentarnya, ya!
walaupun masih awal, semoga kalian semua yang ada di sini terhibur dan puas, ya. 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
CUTIE PIE
Teen FictionYang mengenal Aruna selalu saja bilang, membedakan Aruna dengan balokan es itu sulit, sama-sama beku. Disandingkan dengan tembok pun kelihatan mirip, karena ekpresinya sama-sama datar. Mau kepalanya dilempar batu juga hanya diam saja. Aruna memang b...