Apakah semua akan berbeda jika saat itu aku mengambil langkah lain?
Sepuluh bulan telah berlalu sejak peristiwa itu. Aku masih dengan setia mengintip ruang obrolan kita yang hanya berisi pesanku saja, pesan yang selalu kamu abaikan. Pesan yang selalu aku kirim dengan harapan akan segera terbaca dan dibalas, ternyata nggak. Pesan yang terkadang aku tulis bersama air mata yang mengalir.
Rizwan Elfathan. Sebuah nama yang tak pernah luput dari ingatanku. Sosok yang mengobrak-abrik hidupku selama sepuluh bulan ini. Menghilang tanpa kabar, secara tiba-tiba, tanpa memberitahu kesalahanku. Kamu berhasil membuatku gila, Bang. Dengan ketidakhadiranmu saja mampu membuatku tak bisa tidur dengan lelap.
Semua berawal dari komunikasi yang kita mulai lagi setelah sekian lama. Aku nggak kuasa mengatakan bahwa aku sangat merindukanmu. Karena aku berfikir itu hanya rindu sepihak. Ternyata kamu yang mengatakannya terlebih dahulu.
"Na, abang rindu." Satu kalimat yang membuatku begitu bahagia saat itu. Aku merasa rinduku nggak sia-sia, Bang. Semua tercurahkan malam itu. Air mata bahagiaku mengalir begitu saja. Semua akan baik-baik saja. Semua akan berakhir indah. Hanya itu yang bisa terlintas di benakku, Bang. Nggak ada terpikirkan yang lain.
Hampir seminggu komunikasi kita begitu lancar. Saling menceritakan kisah masing-masing saat kita berjalan sendiri di masa lalu. Menceritakan kekonyolan-kekonyolan bersama teman-teman, berkeluh-kesah tentang hidup yang kataku hanya begini-begini saja. Segala hal kita tumpahkan dalam waktu yang singkat itu.
Sampai akhirnya, saat itu tiba...
Aku tengah bepergian bersama keluargaku menuju rumah kakak. Saat itu, hujan turun lebat. Tak berselang lama, gemuruh petir mulai menampakkan aksinya. Kami yang malas untuk beristirahat sejenak pun terus melaju. Saat itulah notifikasi pesan darimu muncul.
"Na, abang mau ngomong sesuatu, boleh?""Boleh dong. Bilang aja, Bang. Kenapa? Ada hal yang lucu lagi?" Tanyaku setengah bercanda.
"Bukan, Na. Ini serius."
"Iya. Ada apa?"
Semenit, dua menit, hingga sepuluh menit berlalu. Balasan darimu tak kunjung datang. Aku menunggu dengan hati gelisah. Tubuhku bergetar tanpa diminta. Entah karena hujan yang begitu deras, atau petir yang mulai berdatangan, atau karena menunggu pesan darimu. Mama, yang sedari tadi melirik-lirik ke arahku sembari memberi isyarat bahwa aku harus mematikan ponsel. Namun, aku masih tetap menatap layar ponsel, tak bergeming."Na, kamu tahu dan sadar kan sama perasaan Abang? Abang nggak tahu gimana cara ngungkapinnya, tapi begitulah adanya. Abang selalu mau ngutarain, tapi Abang takut."
"Takut kenapa?"
"Takut kalau cuma Abang yang merasa begitu." Andaikan kamu tahu, Bang. Kalau aku seberani Khadijah, aku bakal mengungkapkan dari dulu. Tapi, aku nggak berani.
"Jadi, gimana, Na?"
"Apanya yang gimana, Bang?" Jawabku asal karena bingung harus jawab apa. Mana Mama udah mulai negur secara langsung lagi. Cuaca emang lagi buruk-buruknya. Nggak ngedukung aku banget yang lagi cerah berbunga-bunga hatinya.
"Mau nggak jadi pacar Abang?" Deg. Kalimat yang aku tunggu darimu sekian lama, akhirnya muncul juga. Ingatan-ingatanku saat awal berjumpa denganmu hingga saat kamu bisa hadir di hidupku terlihat kembali. Bagaimana sulitnya memendam rasa bertahun-tahun pun sirna.
Namun, seketika kekhawatiran akan berakhir hubungan kita terbesit dalam benakku.
Aku yang sebelumnya pernah menaruh kepercayaan kepada seorang pria yang mengkhianatiku, kini menjadi sosok yang meragukan semua pria. Dan saat itu aku kebetulan kamu orang yang sedang hadir dni hidupku. Maaf, Bang. Aku terlalu jahat karena menilai semua pria sama. Maaf, rasa kecewaku terhadap pria belum bisa hilang seutuhnya.
Di tengah kekhawatiranku, mama dengan tegas menegurku agar segera mematikan ponsel. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Namun kemudian aku memilih untuk segera mematikan ponselku karena sudah diperingatkan berulangkali. Aku menyempatkan untuk mengirimkanmu pesan terlebih dahulu.
"Maaf, Bang. Hanna lagi di jalan. Nanti malam kita bahas ya, Bang. Hanna kabarin lagi nanti." Dengan berat hati aku mengetik kalimat itu.
***
Namun...
Tiga hari berlalu dan kamu tak kunjung membalas pesan dariku, Bang. Aku berusaha menghubungimu malam itu. Tapi nggak ada jawaban. Ada beberapa pertanyaan yang akan aku ajukan sebelum aku meng 'iya' kan. Apa abang yakin sama aku? Apa bisa kita sama-sama benar-benar menjaga agar nggak kembali menjadi orang asing? Apa selamanya status kita hanya itu? Atau akan berlanjut ke jenjang yang lebih serius? Kalau ada rencana untuk masa depan kita, bisa kita rencanakan mulai sekarang?Pertanyaan-pertanyaan itu yang selalu menggangguku. Dan akan ku sampaikan padamu agak keraguanku hilang. Tapi, kamu hadir di hari ke tujuh setelah pesan terakhirku. Yang paling membuatku tak berdaya, kamu hadir hanya mengatakan
"Lupakan yang abang bilang kemaren."Bang, butuh waktu lama aku bisa terlihat olehmu. Butuh waktu yang lama juga aku menanti permintaanmu. Sudah sekian lama aku memendam semuanya. Dan sekarang? Hanya sampai di sini aja? Kamu memintaku untuk melupakan?
Are you serious?Aku belum sempat mengutarakan isi hatiku, Bang. Tapi kamu memutuskan untuk berhenti. Memintaku untuk melupakan. Kata "melupakan" berarti aku harus melupakan dari awal, Bang. Aku harus melupakan mulai dari saat aku jatuh hati padamu.Dan seketika kamu menghilang dariku, bahkan dari orang-orang terdekatmu. Apakah aku salah mengatakan kalimat itu? Atau kamu hanya mengucapkan sesuatu yang nggak sesuai dengan hatimu saat itu? Hanya mencoba-coba? Atau apa?
Kini, sudah hampir setahun aku tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan itu. Selama ini aku selalu menunggu kabar baik darimu. Aku menunggu kamu menarik ucapanmu terakhir kali sebelum menghilang. Aku masih menunggu. Bang, jika saat itu aku mengambil langkah yang lain, apakah semua akan berbeda? Apakah kisah kita nggak akan berakhir seperti ini?
![](https://img.wattpad.com/cover/203294270-288-k669405.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjemput Luka
Короткий рассказCinta adalah luka. Memutuskan untuk mencintai berarti memutuskan untuk menjemput luka. Hanya perlu memilih dari dua jalan dalam menjemput luka, meninggalkan atau ditinggalkan.