how thorn said?

396 65 6
                                    

Seperti yang terjadi sebelumnya, Kakak  yang lain sudah usai memberikan pendapat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti yang terjadi sebelumnya, Kakak  yang lain sudah usai memberikan pendapat. Kini tiba pada giliran Thorn. Bocah belum baligh itu sudah anteng duduk diatas sofa yang telah tersedia.

"Aku ngga tau kenapa kita perlu bicarain soal kakak kita, tapi yang bisa aku kasih tau adalah kak Hali jauh lebih dari sekedar seorang kakak. Dia itu ayah, teman, kakak, buat kita semenjak ayah merantau untuk cari uang dan sepeninggal ibu kami" Tangan nya ia taruh diatas meja dan memainkan jari-jari nya. Menetralkan rasa gugup yang menyerang, karena kalau ditanya apasih yang membuat Thorn menjadi gugup? Jawaban nya pasti saat ia diberi pertanyaan yang berat. Seperti sekarang, 'seperti apa pandangan nya terhadap kakak sulung nya?'

Thorn selalu menganggap bahwa Halilintar adalah panutan nya setelah Gempa, tentunya dengan caranya sendiri. "Kalau udah besar aku bakalan yang jagain Kak Hali!" Lihatlah, dengan polosnya ia berseru. Padahal tangan kecilnya belum mampu untuk menompang masalah nya sendiri.

Seperti saat waktu itu, waktu dimana ia mengalami perundingan di sekolah.

Thorn saat itu pulang dengan keadaan yang kuyup. Seragam putih biru yang nampak lusuh membuat wajah Halilintar berkerut bingung. Ada perasaan khawatir yang tersirat dibalik ekspresi nya. Apalagi dengan bau amis yang Thorn sebarkan dari seragam sekolahnya, seperti bau telur yang hampir busuk.

"Thorn, ada masalah?" Tanya nya dengan lembut yang hanya dibalas anggukan oleh sang adik. Senyum yang terpasang di wajah Thorn justru membuat Halilintar semakin curiga. "Jangan beralasan karena jatuh." Potong nya, sebelum Thorn menjawab pertanyaan nya. Membuat wajah sang bungsu menekuk.

Halilintar menghela nafas dan berkata, "Kamu ke kamar dulu ganti baju, Kakak bakalan bikinin kamu es coklat." Wajah yang awalnya sedikit redup perlahan kembali bersinar, Thorn dengan senyum paling manis langsung memeluk sang Kakak. "Makasih kakkk, tau banget aku lagi pengen minum yang manis-manis hehe" Setelah itu, Thorn bergegas menuju ke kamar dan menggantikan pakaian nya, sementara Halilintar berjalan ke arah dapur untuk membuat segelas es coklat.

Halilintar tidak memerdulikan kaos bagian depan nya sedikit basah karena ulah sang adik. Di dalam pikirannya terbesit hal yang buruk sedang terjadi kepada adiknya. Dulu saat Thorn masih SD ia kerapkali mendengar kabar bahwa Thorn mendapatkan perundungan di sekolah dasar nya. Ia curiga jika Thorn mendapatkannya lagi di sekolah menengah.

Setelah selesai berganti baju dan membawa segelas es coklat, Halilintar mengetuk  pintu kamar sang adik, membukanya dengan perlahan dan melihat, bahwa Thorn menangis dibalik bantal yang ia genggam. Tidak menyadari bahwa Halilintar sudah ada di dalam kamar nya.

Halilintar menaruh gelas yang berisi es coklat itu diatas nakas. Lalu mengelus rambut Thorn agar ia tenang. Thorn yang mendapatkan perlakuan itu langsung duduk dengan tegak. Menoleh kearah tempat sang kakak berada. "Loh, Kak Hali." Cepat-cepat ia usap bekas air mata di pipinya. "Thorn ngga nangis kok"

Terkekeh, Halilintar memberikan segelas es coklat pada Thorn lalu mengusap pipi gembul sang adik. "Terus, yang basah disini itu apa, dek?"

"Kak Hali mah gitu... Buka pintu ngga pakai ketuk dulu"

"Loh, ngga boleh?"

"Pakai nanya"

Halilintar lantas terkekeh, mendengar nada ketus dari Thorn sangat berbanding terbalik dengan keadaan Thorn sekarang. Benar-benar berantakan. Halilintar menghela nafas dengan berat sembari membuang jauh-jauh gengsi yang selama ini ia genggam. Perlahan, ia menarik tangan sang adik dan membawanya dalam sebuah dekapan yang hangat. Mengelus surai Thorn dengan sayang, membuat adik yang diperlakukan selembut itu perlahan menangis kembali. "Kakk, Thorn ngga sebodoh itu buat menyontek, semuanya itu bohong, Thorn benar-benar jujur saat menjawab soal" Ia mengeluhkan semua perasaan nya satu-satu. Semua bentuk perundungan yang ia dapat dari sekolah, ia ceritakan. Bagaimana tudingan kasar bahwa semua nilai Thorn didapat dari hasil menyontek, menyebar hingga satu kelas. Tapi karena Thorn berperilaku baik dan mendapatkan hati setiap guru, Thorn dibebaskan begitu saja tanpa adanya hukuman penurunan nilai. Padahal, Thorn benar-benar mengerahkan semua usahanya untuk ujian kemarin. Ia rela bergadang hanya demi mendapatkan juara, berharap bahwa itu akan membuat saudara yang lain merasa bangga kepadanya. Terutama Halilintar. Semua itu demi Halilintar, Thorn ingin pujian darinya, ia ingin seperti kakaknya yang pintar.

"Kakk... Hati Thorn terasa pedih setiap Thorn menginjakkan kaki di kelas dan mendapatkan coretan 'tukang contek' di meja. Thorn, bukan tukang contek" Tangisan Thorn semakin menjadi-jadi, memeluk Halilintar dengan kuat. "Kakak kalau dengar ini dari temen aku, kakak bisa kecewa sama aku"

"Jangan sok tau, gitu" Halilintar berucap dengan nada ketus, namun setelahnya ada kekehan yang menyusul. Membuat Thorn sedikit bingung dengan respon sang kakak. "Kak Hali, marah?"

"Iya, kakak marah kalau kamu ngga cerita apapun soal ini ke kakak tadi" Sedikit menjauhkan diri, Halilintar menatap wajah sang adik dengan khawatir. Mengusap pipi Thorn dengan sayang. "Kamu ngga perlu pendam ini sendirian. Kamu masih kecil, kakak lebih dari siap buat jagain kamu. Jangan sungkan buat ngeluh, paham?"

Thorn tersenyum, hatinya merasa lega, semua beban yang ia tahan selama seminggu ini perlahan menguap ketika usapan lembut pada rambut nya yang ia rasakan dari tangan kokoh milik sang kakak. Thorn merasa tenang.

Betapa beruntung nya ia memiliki seorang kakak seperti Halilintar. Sejak kejadian tersebut, gangguan yang Thorn terima perlahan berkurang. Itu karena Halilintar menghadap langsung pada kepala sekolah dan mengancam setiap murid yang merundung sang adik "jika kalian tidak berhenti mengganggu adik gue, orang tua kalian yang akan menghukum kalian!" Seperti itu katanya.

Melihat wajah garang milik Halilintar, tentu membuat bocah SMP menjadi ketakutan.

"Hahahaha kalian harus tau ekspresi apa yang kak Hali tunjukan pada waktu itu" Kembali pada sesi wawancara, Thorn terkekeh. Ada perasaan bangga ketika ia menceritakan betapa hebat nya sang kakak membalas perundung nya. "Yaah, walau ancaman itu ada yang ngga berpengaruh. Tapi aku cukup kuat buat hadapin mereka. Kak Hali bilang, pukul aja kalau mereka pukul kamu. Begitu"

"Kelak kalau aku udah memasuki usia dewasa, aku yang bakalan lindungin Kak Hali. Oh, atau kita ber 6 yang lindungin dia? Iya kan, Solar?"

Pandangan Thorn mengarah pada pintu ruangan yang terbuka, memperlihatkan Solar yang berdiri tepat di hadapan nya. Suara Thorn cukup kencang, membuat Solar bisa mendengarnya dengan baik.

"Oh, sesi kamu belum selesai? Aku baru aja mau masuk sebab disuruh oleh Gempa tadi"

"Hahaha, habis ini selesai kokk. Kamu belum balas pertanyaan ku, heh!"

Solar mendekat, mengusap rambut Thorn dengan sayang. "Benar, aku yang bakalan paling berjuang buat kak Hali"

"Baik, apakah sesiku sudah dimulai?" Tanya Solar sembari duduk disamping Thorn menunggu jawaban dari sang pewawancara.

Sang pewawancara mengangguk, kode agar Solar memulai sesi nya sendiri —tentu saja dengan Thorn disamping nya.

older brother. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang