Bab 3

31 20 0
                                    

"Bun-buntu? Tangga ini buntu, Re?" tanya Bertha tergagap.

Rere hanya mengangguk dengan pandangan cemas ke arah Bertha. Bagaimanapun, gadis yang baru dikenalnya itu pucat pasi, bagai mayat.

"Ka-kalau begitu gadis tadi...,"

Rere membimbing Bertha dan membawanya duduk di bangku panjang yang ada di balkon. Kemudian gadis itu melesat ke dapur kos. Tak lama Rere kembali membawa segelas air putih.

"Minum! Pucat banget kamu, Bert. Seperti habis ketemu hantu. Habisin!" Rere memberikan gelas yang dibawanya pada Bertha, sekali teguk air itu langsung ludes.

Bertha menghela napas beberapa kali, sambil mulutnya komat-kamit seperti membaca doa. Namun tak ada suara yang keluar dari bibir gadis itu. Rere ingin tertawa, tapi ditahannya. Mulut Bertha persis ikan mujair yang baru diangkat dari air, dalam pandangan Rere.

Beberapa saat kemudian Bertha terlihat lebih tenang. Wajahnya mulai memerah, tak sepucat tadi. Rere duduk di sebelah Bertha, bersiap mendengar cerita gadis itu tentang penampakan yang baru dilihatnya.

"Nah, sekarang kamu cerita! Gadis seperti apa yang kamu lihat turun dari tangga tadi!" titah Rere.

"Rambutnya lurus, panjang sepunggung lah ya. Wajahnya pucat banget, tadinya ku kira dia lagi sakit. Matanya belok, kayak melotot gitu. Tapi pandangan matanya sayu. Gimana ya jelasinnya bingung aku, Re."

Rere menghela napas. Gadis itu tau siapa yang dimaksud oleh Bertha, tapi tak berani untuk mengatakannya. Rere menunggu Bertha bercerita lebih lanjut.

"Lalu, kamu nyapa dia gimana, Bert?" tanya Rere.

"Aku tadi hampir menabrak dia waktu aku buru-buru keluar dari kamar. Jadi aku cuma minta maaf sama dia. Eh dia diam aja dan terus berjalan masuk ke dapur. Lho...,"

Bertha tak melanjutkan ucapannya. Gadis itu baru sadar, kalau Rere baru saja dari dapur untuk mengambil air minum. Bertha juga belum melihat gadis berambut panjang tadi keluar dari dapur. Apa mereka berdua tak bertemu? Tak mungkin. Dapur itu sempit. Tadi Bertha sempat melihat sekilas waktu diantar ke kamar kosnya. Tak mungkin gadis tadi menghilang bukan?

"Ka-kamu barusan dari dapur kan, Re?" tanya Bertha lirih.

"Iya. Kamu lihat sendiri kan tadi? Aku ke dapur untuk ambilin kamu minum."

Bertha buru-buru berdiri dan lari ke dapur. Rere yang heran melihat kelakuan Bertha, segera mengekor di belakang gadis itu.

"Ada apa sih, Bert?"

"Kok gak ada ya? Jelas-jelas dia tadi masuk ke sini. Belum ku lihat juga dia keluar. Tapi kok bisa ilang?" gumam Bertha.

"Kamu tuh ngomong apa, Bert? Apanya yang ilang?" tanya Rere tak mengerti.

"Cewek yang ku bilang tadi lho, Re. Dia masuk ke sini setelah hampir ku tabrak. Ku lihat dia belum keluar dari dapur. Tapi kok gak ada ya?"

Rere paham sekarang, yang dilihat Bertha memang sosok yang dia curigai. Rere menarik tangan Bertha dan membawanya kembali duduk di bangku.

"Kamu percaya hantu gak, Bert?" tanya Rere setelah mereka duduk.

"Percaya gak percaya sih. Dalam keyakinan ku, hantu itu gak ada. Emang kenapa kok kamu nanya kayak gitu?" Bertha menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Jadi kamu gak percaya kalau yang kamu lihat tadi itu ternyata hantu, Bert?"

"Mak-maksudmu cewek yang ku lihat tadi?" Seketika Bertha lemas, cewek yang dia temui memang memiliki kriteria sebagai hantu.

Rere yang mengangguk dengan mantap, membuat Bertha yakin, dia memang sudah bertemu dengan mahluk astral.

"Tangga ke atas itu ditutup oleh Pak Tirto, ada alasannya, Bert."

Cursed DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang