Jika menemukan typo atau kesalahan, langsung di komentar saja, ya. Selamat membaca <3
Dulu, aku kadang menyesali kenapa 'mengiyakan' saat akan diciptakan sebagai manusia, dilahirkan ke bumi, dan menjalani semua liku kehidupan yang katanya sementara ini. Namun, seiring bertambahnya usia dan belajar banyak hal di bangku kuliah, aku sadar bahwa Allah memberi ujian semata-mata adalah untuk mengangkat derajat hamba-Nya.
Toh, ujian yang diberi sudah terjamin tak akan di luar batas kemampuan kita, bukan?
Namun, memahami konsep takdir bekerja tidak begitu saja membuatku dengan ikhlas menerima. Mengecap pahitnya kehidupan karena keputusan manusia lain yang membuat separuh umurku dijalani dengan sengsara.
"Sstt, Wafa! Itu ditanya Pak Iman."
Aku menoleh ke depan, ternyata tanpa sadar sedari tadi pikiranku sibuk menerawang ke masa lalu. Beruntungnya materi hari ini sudah kubaca semalam, sehingga saat dosenku mengajukan pertanyaan, "Bagaimana konsep takdir dan ikhtiar manusia itu bersisian, Wafa?"
"Perbuatan manusia di dunia ini tidak semata mutlak kehendak Allah SWT, tetapi tidak mutlak juga karena kehendak manusia itu sendiri." Aku mengambil jeda sejenak. "Simpelnya, bagi setiap orang Allah sudah menyiapkan garis takdir beserta cabang-cabangnya, perihal cabang mana yang akan dituju, di sanalah ikhtiar manusia ikut andil. Karena itulah kita mengenal dua konsep utuh; yakni ikhtiar dan tawakkal. Sebab ikhtiar bukan berarti meniadakan kehendak Allah, dan tawakkal bukan berarti hanya berpangku tangan pada takdir."
Pak Iman mengangguk puas mendengar jawabanku barusan. "Lain kali jangan melamun saat Bapak sedang menjelaskan, ya."
Aku mengangguk sopan sebagai jawaban. Ah, lagi-lagi aku merasa sangat munafik. Paham teori tapi nihil implementasi. Mungkin aku hanya butuh waktu untuk menerima semua ini. Tapi, sampai kapan?
•••
Mata kuliah hari ini cukup padat. Akhirnya daripada menahan lapar sampai selesai kelas, aku memilih membeli makanan di kantin fakultas. Sesekali tak apa lah, meski uang bulananku hanya tersisa sedikit untuk akhir bulan ini.
"Ini, Bu. Corndognya satu, es tehnya satu, ya." Aku menyerahkan selembar uang berwarna ungu. Rasanya waktu cepat sekali berjalan, padahal semasa SD dulu uang ini bisa dibelikan makanan untuk kami sekeluarga. Aku tersenyum kecut, memprotes kinerja hippocampus yang begitu kuat menyimpan banyak memori meski aku tak ingin mengingatnya lagi.
Saat hendak meninggalkan kantin, seseorang menahan pergelangan tanganku. Tanpa bisa dicegah aku berjengit kaget dan melepaskan pegangan tangannya.
"E-eh, maaf. Aku enggak ada maksud apa-apa."
Dari caranya berbicara, sepertinya aku bisa cukup memahami dia belum benar-benar tahu batasan perempuan dan laki-laki. Akhirnya, tanpa berniat memperpanjang masalah aku langsung bertanya to the point, "Ada apa, ya?"
"Saya mau beli makanan di sini, tapi lupa membawa dompet, boleh saya pinjam dulu uang kamu?" tanyanya kemudian.
Aku sedikit menyipitkan mata, tanpa bisa dicegah memindai penampilannya. Celana jeans dengan sedikit robekan di lutut, kaos oversize berwarna abu, rambut panjang lengkap dengan topi baseball melekat di kepalanya. Dengan cepat otakku menyimpulkan bahwa ia anak fakultas sebelah yang mungkin sedang melakukan touring kantin di kampus kami.
"Gimana? Boleh, kan? Nanti langsung saya ganti. Sekarang saya males bolak-balik karena dari Fakultas Teknik ke sini lumayan jauh."
Aha, ternyata dugaanku benar.
"Kapan anda bisa ganti uangnya?" pertanyaan itu kuutarakan tanpa sempat berpikir dua kali. Yah, wajar saja karena seperti yang kukatakan tadi, bahwa sisa uangku hanya sisa sedikit.
"Besok saya ke sini lagi atau mau saya transfer saja?" Dia menawarkan opsi lain.
Aku buru-buru menggeleng. Rekeningku tak pernah terisi dan aku pun tak memakai layanan dompet digital. Lagipula, untuk membeli makanan di kantin tak akan menghabiskan ratusan ribu, bukan?
"Oke, besok di jam yang sama."
Akhirnya lelaki itu meminjam dua puluh ribuku untuk membayar makanannya. Setelah sosoknya tak lagi tampak, aku sadar telah melewatkan satu hal. Namanya saja aku tidak tahu, apa jaminannya dia akan ke sini lagi besok untuk mengembalikan uang dua puluh ribu itu?
•••
Jangan lupa vote dan koment ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Menuju Halal
Teen FictionIni hanya kisah sepasang manusia bernama Alam Abinaya dan Wafa Tsania. Alam yang begajulan, Wafa yang pendiam. Alam yang anak tongkrongan, Wafa yang rutin ikut kajian. Kehadiran Alam yang tiba-tiba membuat hidup Wafa jadi berantakan karenanya. Apala...