Jika menemukan typo atau kesalahan, langsung tulis di komentar, ya. Selamat membaca <3
- - -
SETELAH berkutat dengan berbagai urusan rumah sejak pagi buta, akhirnya aku bisa tetap sampai ke kampus dengan tepat waktu. Kusempatkan melirik arloji mungil pemberian dari Kak Syam dua tahun yang lalu.
06.45
Lima belas menit tersisa sebelum kelas dimulai. Ah, sepagi apapun aku berangkat, naik angkutan umum tetap saja tak bisa men-support untuk tiba lebih awal. Padahal pagi ini aku belum sempat sarapan karena lampu kamar mandi yang mati, menyebabkan aku tak bisa bersiap lebih pagi. Sepertinya tak mungkin menunggu Kak Syam pulang akhir bulan nanti untuk memperbaiki lampunya, mau tak mau aku harus memanggil tukang atau memperbaikinya sendiri.
Berjalan dari gerbang utama ke gedung fakultas memang sangat melelahkan. Bukan hanya jaraknya yang jauh, tetapi jalannya juga menanjak. Tak heran napasku sampai ngos-ngosan sesampainya di depan gedung bertuliskan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang sudah tampak tua. Sebagian warga kampus sepakat bahwa gedung ini lebih mirip museum ketimbang gedung fakultas. Meskipun itu hanya perumpamaan yang menurutku hiperbola saja.
Gedung lima lantai ini nyatanya tidak sekuno itu. Namun, jika dibandingkan dengan arsitektur gedung lain yang masih tampak baru dan modern, gedung ini memang tampak telah tertinggal dan ada baiknya jika direnovasi.
"Hei, sebentar!" Aku menoleh ke samping, tampak seorang laki-laki sedikit berlari dari gazebo di taman menuju ke arahku berada.
Aku kembali melirik arloji di tangan.
Oh tidak, sisa 3 menit lagi!
Naik lift tidak bisa dijadikan opsi karena sudah pasti antriannya penuh. Aku harus bergegas menuju kelas hari ini yang berada di lantai 4.
"Kamu perempuan yang kemarin meminjami saya uang, kan?" Lelaki itu bertanya. Di saat-saat gawat seperti ini aku masih saja menyempatkan memindai penampilannya. Masih sama seperti kemarin, dengan topi yang setia bertengger di kepala. Padahal ini masih pagi dan tidak panas sama sekali.
Aku tak sempat berpikir mengapa dia menemuiku di sini, bukan di kantin dengan jam yang sudah kami sepakati kemarin. "Mana gantinya? Saya sedang buru-buru."Lelaki itu bergegas merogoh saku celana jeansnya dan mengulurkan selembar uang dua puluh ribu. "Terima kasih, ya."
"Sama-sama."
Saat akan bergegas melanjutkan langkah masuk ke dalam fakultas. Dengan lancangnya laki-laki itu kembali menahan pergelangan tanganku.
"Maaf, sebagai ungkapan terima kasih saya mau memberikan ini. Diterima, ya." Mataku menyipit melihatnya menyerahkan totebag mini berwarna abu.
"Tidak perlu, saya tidak menerapkan riba untuk pinjaman kemarin."
Lelaki ini malah tertawa mendengar jawabanku barusan. Namun, ia kembali menjawab, "Saya mohon, ini sebagai bentuk ucapan terima kasih yang lain."
Tanpa menunggu persetujuan, lelaki ini meraih tanganku dan meletakkan totebag itu di atasnya. Sebelum sempat protes, dia sudah berbalik pergi dan berlalu begitu saja.
Kembali kulirik arloji yang menunjukkan pukul 06.58. Akhirnya sambil menenteng totebag yang entah apa isinya, aku berlari menaiki anak tangga menuju ke lantai empat. Beruntungnya pemandangan seperti ini tak asing di mata mahasiswa lain, sehingga aku tak terlalu menjadi pusat perhatian karena menaiki tangga yang berkelok-kelok seperti ular ini dengan buru-buru.
Sesampainya di depan pintu ruangan bertuliskan Ruang 27D, aku mengambil napas panjang sejenak. Ah, dahiku sampai berkeringat karena olahraga pagi ini.
Saat membuka pintu, aku mengembuskan napas lega karena ternyata dosen belum masuk.
"Dari mana dulu, Bu? Untung Prof. Udin pagi ini ada keperluan sebentar katanya, datang lima belas menitan lagi." Tanpa diminta, Diva menjelaskan penyebab dosen belum datang pagi ini. Aku hanya mengangguk tanpa berniat menjawab pertanyaannya. Masih menormalkan degup jantung yang begitu cepat karena berlarian tadi.
"Keburu enggak, ya, kalau aku beli sarapan dulu?"
Diva menatap heran ke arahku, lantas tatapannya berubah menjadi sorot jahil.
"Hayoooo, dari siapa?" Dia berucap sambil mengarahkan jari telunjuknya ke mukaku.
"Apa sih dari siapa? Kamu enggak jelas, deh."
"Itu di meja kamu, jelas gitu isinya burger tuh. Ngapain beli sarapan?"
Ah, aku bahkan lupa dengan totebag itu.
Tanpa menghiraukan Diva yang masih tampak begitu penasaran siapa yang memberikan ini. Aku bergegas membuka totebag tersebut dan melihat isinya. Ternyata ada satu burger dengan merek yang sudah terkenal. Saat mengambilnya, selembar kertas melayang ke bawah meja.
Diva yang melihat itu bergerak cepat mengambil kertasnya.
"Salam kenal Wafa, saya Alamsyah Abinaya, boleh dipanggil Alam atau apa saja semaumu. Simpan kontak saya, ya." Diva membacakan tulisan di kertas tersebut lalu bereaksi dengan heboh.
"Wafaaaa, kamu kok gak cerita-cerita ada yang deketin. Siapa iniiii, kenal di manaa, anak kampus ini bukan?"
"Aku enggak tau."
Tanpa peduli lebih lanjut dengan isi kertas itu, aku memutuskan untuk memakan burger saja. Perutku sudah terasa perih dan tak mungkin bisa kutahan sakitnya sampai dua jam pelajaran ke depan. Setelah berpikir ulang, pergi ke kantin yang terletak di lantai satu sama saja dengan membuang-buang waktu.
"Iiih, kamu mah gitu. Ayo dong cerita, Wafaaa. Kamu kenalan sama dia di mana, sosweet banget ngasih sarapan pagi-pagi. Pengen deh aku dideketin cowok kayak gitu, love language aku kan act of service. Baper banget pasti kalau aku jadi kamu."
"Sayangnya, aku kan bukan kamu, Div."
Diva melengos malas melihat responku yang biasa saja. Lagipula kenapa harus baper? Laki-laki itu yang bilang bahwa ini sebagai bentuk terima kasihnya karena sudah kupinjami uang kemarin. Namun, tiba-tiba aku teringat satu hal dan menyambar kertas itu secara cepat.
Dari mana dia tahu namaku? Bahkan kami tak sempat kenalan sama sekali.
Bersambung ...
•••
Jangan lupa vote dan koment! See u di part selanjutnya🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
Menuju Halal
Teen FictionIni hanya kisah sepasang manusia bernama Alam Abinaya dan Wafa Tsania. Alam yang begajulan, Wafa yang pendiam. Alam yang anak tongkrongan, Wafa yang rutin ikut kajian. Kehadiran Alam yang tiba-tiba membuat hidup Wafa jadi berantakan karenanya. Apala...