5 : Tantra

208 22 8
                                    

"Put your head on my shoulder, hold me in your arms, baby ...."

Pagi ini musik vintage dari Paul Anka menemani Mahari yang sedang duduk menikmati secangkir teh liang di beranda Tantra. Udara sejuk dan bisik-bisik ranting pohon di sekitaran halaman menjadi instrumen pengiring yang syahdu.

Dari gapura, terlihat dua orang gadis yang sedang berjalan masuk dan mendekat ke arah Mahari. Satu gadis berambut di kuncir belakang yang tidak lain adalah Hitta, dan satu lagi seorang gadis asing berambut sepanjang bahu. Mereka berdua menghadap pada sang pemilik rumah.

"Ini temenku yang kemarin aku ceritain, Mas. Dia lagi butuh kerjaan," ucap Hitta.

Mahari menatap gadis berambut sepanjang bahu yang Hitta rekomendasikan padanya. "Paham titik cakra?" tanya Mahari.

Gadis itu hanya diam sambil sesekali melirik ke arah Hitta. Dari gelagatnya, ia tak tahu jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan oleh pria di hadapannya tersebut.

"Intinya dia punya kepekaan kayak kita. Masalah titik cakra dan cara mainin jarum nanti aku ajarin. Gimana?" timpal Hitta.

Mahari tampak berpikir. Memang, di sini klien pria dan wanita dipisah. Saat ini klien wanita dipegang oleh Hitta seorang diri. Mungkin karena lelah, Hitta meminta amunisi tambahan untuk membantunya.

"Ya udah. Tinggal nego gaji aja. Ikut saya ke dalem yuk, kita ngobrol empat mata." Mahari beranjak dari duduknya membawa cangkir teh yang sudah kosong, lalu berjalan masuk ke dalam bangunan utama diikuti gadis itu.

Hitta juga masuk ke dalam rumah, tetapi ia tak sampai ikut dengan dua orang tersebut. Gadis itu langsung duduk di tempat resepsionis yang berada di ruang tamu.

***


Berkisar lima belas menit berlalu, Mahari dan gadis itu keluar dari ruangan. Mereka berjalan menuju ruang tamu. Saat ini di ruang tamu bukan hanya ada Hitta saja. Namun, juga seorang pria botak dan seorang anak kecil berkisar usia jenjang SMP.

"Pas banget lagi pada kumpul. Kita kedatangan amunisi baru, nih" ucap Mahari. Pria itu menatap pegawai barunya. "Yok, kenalan dulu sama temen-temen baru."

Gadis itu tersenyum sambil sedikit perapikan poninya yang berantakan. "Kenalin, namaku Mayangsari. Biasa dipanggil Maya atau Sari."

"A-ayang boleh?" tanya si botak yang sedang terpana dengan wajah merah merona. Di mata Bowo waktu seakan melambat ketika Mayangsari tersenyum sambil menyampingkan poninya ke samping.

"Bo-boleh sih, tapi agak aneh aja jadinya. Kalo Mayang aja gimana?"

"Ayang aja deh enggak apa-apa," balas Bowo.

Mayang tersenyum menahan tawa. Ya, menurutnya pria botak itu cukup jenaka. "Oke deh, enggak apa-apa. Kalo kamu siapa?"

"Wibowo Mahasura, panggil aja Bowo," jawab pria botak itu memperkenalkan diri. "Salam kenal, Ayang."

"Salam kenal juga ya Bowo." Kini tatapan Mayang berpindah pada sosok bocah SMP yang sedang memainkan konsol permainan Visual Boy Advance. "Kalo yang ini siapa? Anaknya Mas Mahari, ya?"

Bocah itu masih asik bermain dan mengabaikan Mayang yang sedang bertanya padanya. Mahari pun mendekati bocah itu lalu mengambil konsol permainan di tangannya.

"Cih!" Bocah itu berdecak kesal ketika konsol permainannya direbut oleh Mahari.

"Kenalan dulu, Yas," ucap Mahari.

Kini ia menatap ke arah Mayang sambil menghela napas. "Yasa Kanigara. Yasa. Bukan anaknya bos."

Mahari terkekeh, lalu memberikan kembali mainan anak itu. Kini tatapannya berpindah ke arah Hitta. "Hit, terakhir kamu," kata Mahari.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 11, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sang Arkana : Para Pemburu IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang