"Kamu pasti kenal dengan Galih kan?" tanya Tiara --Mama Bening-- tiba-tiba.
Bening yang sedang mengerjakan pekerjaannya menoleh, "Galih? Om Galih? Bukannya Om Galih pamannya Genta, Ma?"
"Benar. Dia datang untuk melamar kamu," ucap Tiara.
Bening mendelik, "Melamar? Tapi aku sudah punya Genta, Ma. Mama ini gimana?"
"Genta lagi, Genta lagi. Dia nggak bisa diharapkan, Bening. Lihat saja sampai sekarang dia belum muncul kan? Bukannya kamu sudah meminta dia untuk datang melamar? Sesulit itukah untuk melamar kamu?" cerca Tiara.
Bukan hanya Tiara yang kebingungan dengan sikap Genta, tapi Bening juga sama. Padahal dia sudah siap untuk menikah. Usianya sudah dua puluh lima tahun dan selalu mendapat gunjingan orang karena belum menikah. Apalagi Genta sering datang ke rumahnya tapi tidak punya niatan untuk melamar. Mau dibawa hubungan mereka?
"Aku akan bicara lagi pada Genta, Ma," putus Bening.
"Nggak! Mama nggak sabar menunggu pria yang nggak jelas begitu. Dia pasti nggak cinta sama kamu. Pokoknya, mama mau kamu menikah dengan Galih. Galih sudah mapan dan siap menikah. Kalau kamu melihatnya langsung pasti kamu akan setuju dengan mama," tukas Tiara.
Bening tidak menjawab. Dia tidak suka dijodohkan dan tidak mau menikah tanpa cinta. Tapi ... apa mungkin Bening bisa bertahan lebih lama?
°°°
Ketika Bening keluar dari kantor, seseorang menghampiri. Wanita itu menengadah melihat sosok yang begitu tinggi di hadapannya. "Om Galih?"
Pria bernama Galih itu tersenyum kikuk pada Bening, "Aku nggak sengaja lewat dan melihat kamu, Bening. Mau pulang bersama?"
"Terimakasih, Om, tapi aku bawa mobil."
"Kalau begitu, biar aku saja yang ikut mobil kamu. Boleh?"
Rasanya tidak sopan jika bilang tidak. Bening akhirnya mengangguk. "Aku ambil mobil dulu, Om."
"Oke."
Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir, Bening berpikir keras. Apakah Galih berniat untuk mendekatinya? Tiba-tiba bertemu sepertinya tidak mungkin jika kebetulan. Apalagi pria itu datang untuk melamar Bening.
Mobil Bening berhenti di depan Galih, wanita itu menekan klakson mobil sekali dan Galih langsung masuk. Galih memasang sabuk pengaman, lalu menoleh pada Bening, "Makan malam dulu mau?"
"Aku belum lapar, Om."
"Tapi aku lapar, Bening. Mau menemaniku makan nggak?"
Bening enggan untuk mengiyakan tapi sekali lagi dia tidak berani menolak. Dia mengetahui jika Galih bukan orang sembarangan apalagi mengenai bisnis. Dia pernah melihat Galih menjadi narasumber di sebuah acara kampus. Bening terpesona dengan kejelian Galih dalam melihat pasar bisnis. Tutur bicaranya juga sampai di kepala. Wajar jika Galih sukses dalam dunia bisnis.
"Ba-baiklah," gumam Bening akhirnya. Dia menanyakan kemana tujuan mereka dan Galih menyebutkan restoran bintang lima yang tentu saja pasti harga menu makanannya di atas satu juta rupiah.
Bening tidak banyak bicara, dia hanya menjawab dengan singkat jika Galih bertanya. Hingga mereka sampai di restoran. Galih memberikan kesempatan pada Bening untuk memilih menu yang ringan seperti salad atau camilan lainnya.
Bening bohong kalau dia bilang tidak lapar. Seharian dia sibuk, tuntutan pekerjaan yang tidak main-main seringkali membuat dia kelaparan. Apalagi dia harus makan buru-buru jika atasannya memintanya untuk menemani bertemu klien.
Melihat menu yang menggoda, Bening ingin memesan. Tapi apa dia akan terlihat seperti pembohong kalau tiba-tiba makan?
"Steaknya enak di sini, Bening. Apalagi kalau nggak terlalu matang. Saladnya juga enak. Saus saladnya beda dari tempat lain. Udangnya fresh semua apalagi udang saus Padang. Kalau makanan penutupnya paling banyak dipesan itu es krim waffle. Apalagi yang rasa coklat. Coklatnya premium. Eh, kenapa aku jadi mirip waiters ya?" jelas Galih mengomentari ucapannya sendiri. Dia tertawa renyah, lalu melirik Bening. Bening tidak bisa menyembunyikan keinginannya jadi dia berusaha menarik perhatian wanita itu.
"Malah lebih cocok Om dari pada waitersnya," komentar Bening. Dia akhirnya menunjuk beberapa makanan ketika waiters datang.
"Kamu sudah dengar soal kedatanganku?" tanya Galih mencairkan suasana.
Bening mengangguk, "Soal lamaran?"
"Benar. Gimana? Kamu terima?"
"Om tahu aku punya kekasih kan?"
"Tentu. Kamu dan Genta sudah lima tahun pacaran tapi masih stag begitu saja. Aku juga tahu kalau Genta menolak melamar kamu. Aku bukannya ingin menyalahkan Genta, tapi Genta lebih mementingkan perasaan mamanya. Tante Fitri mendesak Genta untuk menggeluti bisnis lebih dulu dari pada menikah dengan kamu, Bening. Untuk apa kamu masih menunggunya? Bukannya kamu akan terlihat seperti mengemis cinta? Kalau kamu tanya padaku, apa aku menyukaimu hingga berani melamar? Jawabannya sudah pasti iya. Aku ... menyukaimu sejak Genta memperkenalkan kamu padaku waktu itu. Hanya saja aku nggak punya peluang tapi sekarang aku berani maju karena Genta nggak ada pergerakan sama sekali. Wanita butuh kepastian bukannya kesabaran. Kalau lima tahun saja Genta belum punya inisiatif untuk menikahi kamu, lalu kamu harus menunggu berapa tahun lagi? Sepuluh tahun?" jelas Galih. Ucapannya masuk akal.
Bening benci mengakuinya. Tapi dia tidak bisa mengelak. Ditatapnya dalam pria yang tujuh tahun lebih tua darinya itu. Ucapannya sangat dewasa, cara memandang dunia juga berbeda. Kalau Genta? Entahlah, pria itu sepertinya hanya ingin bersenang-senang sendiri. Jadi? Bening sudah berani memutuskan.
°°°
Perencanaan pernikahan yang singkat, telah sepenuhnya selesai. Bening juga sudah melakukan fitting gaun pengantin bersama Galih di sebuah butik yang menjadi langganan orangtua Galih.
Bening hanya mengangguk ketika Galih memilih gaun pengantinnya. Wanita itu pasrah pada keadaan. Lalu apa yang terjadi pada Genta? Pria itu masih sibuk menghubungi Bening tapi Bening menolak bicara.
Hingga hari pernikahan, mereka dipertemukan dalam keadaan yang jauh berbeda. Genta mengetahui pernikahan Galih dari orangtuanya. Orangtuanya berusaha menyembunyikan kenyataan itu karena Genta sedang berusaha menjalankan perannya sebagai bos bisnis kecil. Mereka sebenarnya juga tidak setuju kalau Genta menikah cepat sebelum sukses.
"Aku nggak percaya kamu tega menikah dengan pamanku sendiri, Bening," gumam Genta.
Bening berusaha mengacuhkan mata berkaca-kaca Genta. "Karena kamu yang nggak punya kepastian."
"Jadi ini alasan kamu menghindariku?"
"Benar. Asal kamu tahu, Genta. Wanita butuh kepastian. Mau sampai kapan kamu menggantungkan hubungan kita? Kamu menyematkan cincin aja nggak, memberi kepastian melamar aja nggak. Lalu aku harus gimana? Menunggu kamu? Mau sampai umur berapa? Tiga puluh tahun? Aku nggak sanggup, Genta."
Genta terhenyak. Bergantian menatap Galih, pria itu akhirnya pergi. Bening tidak bisa menahan air matanya yang luruh. Dia tidak tega melihat Genta tersakiti tapi dia sudah memiliki ikatan pernikahan dengan Galih.
'Maafkan aku' batin Bening.
°°°
Acara resepsi selesai, Bening diboyong ke rumah Galih yang lokasinya lumayan jauh dari rumah orangtuanya. Galih membantu Bening untuk turun dari mobil karena gaun pengantin wanita itu terlalu lebar dan berat.
Asisten rumah tangga yang hanya satu-satunya di rumah itu, menyapa Bening. "Saya Bik Sani, Nona. Saya yang akan menyiapkan segala keperluan anda."
Bening terlalu lelah untuk membalas sapaan Bik Sani. Dia hanya tersenyum. Galih membawanya masuk lebih jauh lagi dan menaiki tangga menuju lantai dua. Galih menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu. Pada saat itulah Bening berpikir yang bukan-bukan. Bagaimana malam pertama mereka? Apakah mereka akan melakukannya sekarang?
"Tenanglah, Bening. Saya tidak akan menyentuh kamu kecuali kamu siap," ucap Galih.
°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
MENIKAHI PAMAN KEKASIHKU
RomanceWanita butuh kepastian. Seperti halnya Bening Cinta Anggraini. Berpacaran dengan Genta Tsabbit selama lima tahun tidak membuat Bening mendapat kepastian. Ketika desakan dari orangtuanya untuk segera menikah, Genta malah menolak. Seribu macam alasan...