Rambutnya tertutupi balutan hijab hitam, begitupula dengan tubuhnya yang berbalut pakaian serba hitam. Suara tangis mulai menghilang meski belum mereda. Langit hari itu yang cerah, tak menggambarkan suasana hati para manusia yang berada di sini. Di tempat peristirahatan terakhir umat manusia, kuburan.
Zehra mengelus bahu Sasya yang masih bergetar. Meski tangisnya belum mereda, Zehra juga harus menenangkan manusia yang paling terpukul hari itu.
"Mama ... P-papa ...," racau Sasya. Matanya membengkak, dengan tangis yang nampak tak ingin mereda sedikitpun.
Sementara itu, dari kejauhan, dua orang lelaki tengah berbincang dengan begitu seriusnya. Tanpa menghiraukan kesedihan yang dialami orang di seberangnya.
"Ngapain Lo di sini?" tanya Raes. Tangannya bersedekap dada dan tubuhnya yang ia sandarkan di pohon.
"Gue, mah, nemenin ayang gue, Bos. Salah?" tanya balik Fiziel.
"Pacar Lo ..., Sasya?" Fiziel mengangguk sebagai jawaban. "Sejak kapan?" tanya Raes lagi.
"Udah lama, " jawab Fiziel. Matanya menatap kekasihnya yang berada di pelukan Zehra dari kejauhan, sungguh miris keadaannya. "kenapa?"
"Enggak. Heran aja kenapa Lo gak bilang ke kita." Ia menganggap bahwa memang hubungan seperti hal ini adalah privasi dari orang itu sendiri, maka ia tak berhak ikut campur lebih dalam.
"Sorry, Bos. Gue emang niatnya gak begitu ngumbar, sih," ujar Fiziel.
"Terus hubungan sama cewek-cewek yang Lo pacarin semua gimana?" Raes hanya heran, Fiziel ini tak jauh berbeda sifatnya dari Sebasta, sama-sama suka mempermainkan hati perempuan.
Fiziel menepuk pundak Raes sekali, lalu berujar, "Itu cuma mainan doang. Kalo yang ini, mah, serius dari dulu. Gak usah ditanya lagi, cewek gue juga udah tau." Fiziel meninggalkan Raes dan menghampiri kekasihnya.
Sementara itu, Raes masih berdiri termenung dengan pikiran berkelana. Rasanya ada hal yang janggal di sini, namun, ia tak tahu pasti apa itu.
***
"Keluarga Sasya sudah tiada, Tuan muda. Dan, sekarang hanya tinggal nona Sasya seorang diri."
Mendengar laporan tentang hal itu, Bimanyu mengacak-acak rambutnya frustasi. "AKH! DEGASA ANJING!" umpatnya penuh amarah.
Usahanya untuk melindungi keluarga terdekat Zehra dari kekejaman Degasa, terbuang sia-sia. Ia kecolongan lagi.
"Hanya nona Sasya yang tersisa, Tuan muda. Kalau anda berkenan, saya sarankan untuk melindungi nona Sasya dari kejauhan, atau menjauhkannya dari musuh anda."
Degasa memang bukan musuhnya. Namun, keberadaan orang itu menganggu ketenangan dan kenyamanan orang di sekitarnya juga termasuk dirinya.
"Setelah ini, pasti bajingan itu ngincer harta dan aset perusahaan 'Asa Jaya'. Apa perlu kita beli perusahaannya?"
"Siapa yang menjalankan perusahaan itu, Tuan muda? Tuan telah menjalankan begitu banyak perusahaan dari hasil anda merebut kekuasaan."
Abimanyu duduk dan berpikir sejenak. Kedua tangannya digunakan untuk menopang kepalanya di meja. "Saya yang akan mengelola, " ucap lelaki itu pada akhirnya.
Bawahan lelaki itu nampak tersentak sejenak. Wajahnya yang serius seketika berubah menjadi sumringah. "Anda serius, Tuan muda?"
"Ya," jawab Bimanyu dengan tegas.
Bawahan Bimanyu nampak begitu senang. Ia pamit undur diri dan memberitahukan keputusan Bimanyu pada Tuan besarnya.
Bimanyu berdiri dari duduknya. Menghampiri papan mading yang ia pasang dengan perlahan. Menatap lamat wajah ayu nan indah milik Sasya. Bibirnya menyungging senyum.
"Sasya. Gue biarin Lo sekalian aja, gimana? Tinggal Lo korban yang diincer Degasa."
Lelaki itu berpikir sejenak. Menata semua keputusan pada pikirannya yang sudah ia rapikan. "Tapi gue masih butuh Lo, buat nyingkap semua teka-teki ini. Semua petunjuk itu Lo pegang, jadi, gue kayaknya bakal lindungi Lo? Sasya?"
Bimanyu masih berpikir, "Mm ..., untungnya buat gue, sih, cukup banyak. Diakui publik, dapet perusahaan bokap-nyokap Lo, dan dapet cuan tentunya." Lelaki itu menyungging senyum jahatnya.
"Gue gak sebaik dan gak seburuk yang orang pikirin. Tapi, gue bisa jadi apa yang mereka asumsiin ke gue. Maybe kayak ... jadi penculik? Pembunuh? Atau ... suami Lo?" Lelaki itu menggeleng tak habis pikir.
"Hahaha ...." Suaranya menggema mengisi kekosongan ruangan itu.
Setelah tawanya mereda, ia kembali berujar, "Intinya, jangan pernah berharap sama manusia aja, sih. Hahaha ... nanti endingnya tersakiti."
***
"Kamu mau nginep di sini? Beneran gak mau pulang dulu?" tawar Raes.
Zehra menggeleng tak ingin, "Enggak. Aku mau nemenin Sasya aja di sini."
Keduanya kini tengah berada di lobby apartemen. Karena kediaman utama Sasya harus ditutup, karena diadakan investigasi setelah kejadian mengerikan itu. Jadi, Sasya disarankan untuk menginap di apartemen terdekat.
"Lo pulang aja gak apa-apa. Gue ada Fiziel di sini, " celetuk Sasya yang tengah duduk di sebuah kursi.
Zehra menggeleng keras, "Enggak! Lo gak boleh sendirian! Emang anak itu bakal nginep sekamar sama Lo?! Yang bener aja!"
"Terserah," pasrah Sasya.
"Yaudah. Aku bawain barang-barang kamu ke sini, ya?" tawar Raes sekali lagi.
Zehra mengangguk sebagai jawaban. Lalu Raes mengecup singkat puncak kepala kekasihnya sebagai salam perpisahan. "Aku pulang dulu, dadah!"
Zehra melambai pada Raes yang mengendarai motor menjauhi lobby apartemen. Kemudian ia mengajak Sasya yang terdiam dengan tatapan kosong untuk masuk ke apartemennya. "Ayo ...." Ia menuntun Sasya yang lemas dengan telaten.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cafetaria story (End)
РазноеMenceritakan sebuah kisah cinta rumit dari seorang gadis bernama lengkap, ZEHRABELL RASYAMELA. Ia seorang siswa biasa yang bekerja di sebuah kafetaria di pinggir jalan. Awalnya hidupnya memang biasa saja, namun, semuanya berubah saat ia tak sengaj...