Satu

1.1K 51 0
                                    

Gio sejak tadi terus menangis di pelukan Asti, menumpahkan segala kesedihannya karena ditinggal sang ayah  dalam pelukan kekasihnya, membuat Asti juga hanya bisa memeluk Gio untuk menenangkan kekasihnya. Tangan gadis itu juga bergerak mengelus lembut punggung Gio yang bergetar.

“Tenangin diri kamu, Gio. Aku tahu, ditinggal orang tersayang itu sakit banget,” bisik Asti tepat di telinga Gio.

Bukannya berhenti, Gio malah semakin menangis. Sakit sekali rasanya ditinggal pergi oleh sang ayah, pahlawan yang sudah mengajarkan dia banyak hal, mengajarkan dia cara memperlakukan perempuan, orang yang sudah melindunginya walau dia juga bisa melindungi dirinya sendiri. Pemakaman ayahnya mungkin sudah selesai sejak tadi, tetapi Gio terlihat masih belum mengikhlaskan kepergian ayahnya.

“Kamu pasti kuat, Sayang,” lanjut Asti.

Dipanggil dengan panggilan kesayangan Asti untuknya biasa membuat pipi Gio merah merona atau tidak membuat Gio salah tingkah, tetapi kali ini sama sekali tak bereaksi apa pun. Gio masih tetap menangis.

“Papa pergi, Ti. Aku harus gimana? Mama sakit-sakitan, belum lagi Zee masih sekolah,” ungkap Gio.

Banyak hal yang Gio pikirkan ketika ayahnya pergi, mulai dari mamanya yang sudah sakit-sakitan, adiknya masih bersekolah, dia yang baru menginjak semester tiga, sampai dengan biaya mereka nantinya untuk hidup. Bagaimana nanti Gio menjalani harinya?

“Percaya sama aku, kamu pasti bisa lewatin semuanya. Kita ikhlasin papa kamu, ya. Ada aku yang akan jadi penguat kamu,” tutur Asti.

Penuturan dari gadis itu mampu membuat tangis Gio mereda, bahkan membuat Gio kini tenang. Ada sang kekasih yang akan menjadi penguatnya selain keluarganya, ada Asti yang akan menemaninya melewati segala hal. Pria itu melepaskan pelukannya, kemudian mengatur napasnya, setelah dirasa cukup tenang, Gio tersenyum kecil pada Asti, menunjukkan bahwa dia pasti bisa melewati semuanya.

“Jangan tinggalin aku, Ti. Aku butuh kamu,” pinta Gio membuat Asti mengangguk patuh pada sang kekasih.

Tangan Asti digenggam oleh Gio, begitu erat seakan takut Asti meninggalkannya. Asti ikut tersenyum kala melihat kekasihnya tersenyum, dia bersumpah tak akan meninggalkan kekasihnya itu.

***

Asti tersenyum kecil, melihat adik Gio yang terlihat begitu kuat, padahal kemarin baru saja ditinggal pergi oleh orang tuanya. Zee lebih kuat, Zee lebih bisa mengikhlaskan, Zee lebih bisa menerima segala yang terjadi padanya. Mata gadis itu melirik pada sang kekasih yang duduk di dekat pintu masuk, melamun dengan mata menatap lurus ke depan.

“Zee, kalau ada apa-apa, cerita sama Kak asti,” ucap Asti membuat Zee tersenyum kecil, kemudian mengangguk pelan.

Gadis usia enam belas tahun ini terlihat sangat kuat dibandingkan dengan kakaknya seorang pria berusia sembilan belas tahun. Hal itu terlihat begitu lucu menurut Asti, bagaimana kalau dia menceritakan soal ini nanti pada Gio setelah pria itu mulai membaik? Asti yakin, Gio akan malu setengah mati karena dibandingkan dengan Zee, apalagi Gio tak suka jika dia dibandingkan dengan Zee.

“Zee baik-baik aja, Kak. Yang gak baik-baik aja itu mama, Zee gak tahu harus gimana. Apa Zee gak usah sekolah? Biar kak Gio aja yang sekolah,” kata Zee. Seketika wajah gadis itu langsung murung.

“Gak boleh berhenti sekolah, perjalanan kamu itu masih panjang,” balas Asti menasehati Zee.

Pendidikan adalah hal yang paling utama menurut Asti, apalagi Zee seorang perempuan. Perempuan juga perlu membuktikan kalau mereka bisa sukses, harus mematahkan perkataan semua orang mengenai perempuan hanya boleh di dapur saja.

“Biayanya gimana?” tanya Zee, membuat tangan Asti bergerak mengelus rambut Zee, gadis remaja usia enam belas tahun yang sudah dia anggap seperti adiknya sendiri.

“Nanti kita pikirin bareng-bareng, ya,” jawab Asti.

Setelahnya, gadis itu pamit menghampiri Gio. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, sejak pagi sampai malam ini, Asti berada di rumah Gio. Walau pun rumah Gio terlihat masih begitu ramai dengan keluarga Gio, tapi Asti sepertinya harus pulang, karena sudah terlalu lama berada di rumah Gio.

“Aku pulang, ya?” pamit Asti tanpa berbasa-basi.

Gio yang tadinya melamun, seketika mendongak, menatap sang kekasih yang tersenyum manis padanya. Tanpa berkata apa pun, Gio bangkit, kemudian menarik tangan Asti lembut. Pria itu membawa Asti ke ruang tengah, lebih tepatnya membawa Asti untuk menemaninya mengambil kunci motornya beserta jaket yang tadi sempat dia pakai saat ke pemakaman ayahnya.

“Ngapain?”

“Aku anterin kamu pulang,” jawab Gio dengan suara serak khas orang yang habis menangis.

“Udah malam, Gio,” kata Asti tak suka mendengar jawaban Gio yang ingin mengantarnya pulang. Bukan karena sudah malam dan tak ingin diantar Gio, Asti tak mau merepotkan kekasihnya sementara kekasihnya sedang berduka.

“Justru udah malam, makanya aku anterin,” balas Gio lembut, dengan tangan yang bergerak memakaikan Asti jaket. Walau sudah ditolak Asti berkali-kali untuk tak dipakaikan jaket, Gio tetap memaksa Asti.

“Kamu lagi gak baik-baik aja, Sayang,” ucap Asti membuat Gio tersenyum.

“Insya Allah aku baik-baik aja, makasih udah mau temenin aku,” ujar Gio.

Pria itu menarik lembut tangan Asti ke tempat dia memarkirkan motornya, kemudian mengantar Asti untuk pulang. Sekali pun dia sedang berkabung atas kepergian ayahnya, Gio masih begitu peduli pada Asti, masih mau mengantarkan Asti pulang.

Dalam perjalanan mereka, Asti memeluk Gio erat, berharap pelukan itu dapat membuat Gio merasa hangat karena diterpa angin malam yang pasti membuat sang kekasih kedinginan. Sesekali gadis itu aku melihat wajah Gio dari kaca spion, dia juga lebih memperhatikan mata Gio yang sembab. Sekali pun sang kekasih menangis seharian, wajahnya masih tetap tampan, masih tetap mempesona bagi Asti.

Perjalanan menuju rumah Asti tak memakan waktu lama, mereka pun sampai di depan rumah Asti, membuat Asti menghela napasnya kesal. Padahal dia masih ingin berlama-lama bersama Gio, tapi ternyata mereka sampai juga di rumahnya. Tidak bisakah rumahnya dibuat sejauh mungkin, biar bisa berlama-lama di atas motor bersama sang kekasih?

“Cepat banget sampai,” sungut Asti seketika membuat Gio tertawa.

Asti selalu saja mengeluh kalau mereka cepat sampai di tempat tujuannya. Hobi Asti yang baru itu membuat Gio kadang kala tertawa geli, mana ada hobi naik motor bersamamu sambil memeluknya?

“Nanti kita naik motor bareng lagi,” kata Gio membuat Asti mengangguk cepat.

“Gitu dong, ketawa. Masa kalah sama Zee,” ejek Asti.

“Kok aku dibandingin sama Zee?” tanya Gio cemberut.

“Zee aja udah ketawa, tuh.”

“Kamu harus ketawa juga, ada aku yang akan nemenin kamu untuk lewatin semuanya.”

“Makasih, Sayang,” kata Gio lirih setelah menyadari kalau Asti berusaha menghiburnya.

“Aku masuk, ya. Kamu hati-hati di jalan. Jangan ngebut, terus nanti pulang bersih-bersih dikit, soalnya bau kecut,” pungkas Asti.

Gadis itu berlari meninggalkan Gio, tanpa menunggu balasan dari Gio. Sementara Gio hanya tertawa kecil, merasa bersyukur bisa mengenal Asti.

***

Haloooo

Ada cerita baru nih buat kalian. Doain semoga bisa selesai tepat waktu yah, soalnya aku akhir-akhir ini lagi writer's block🥹

Jangan lupa tinggalkan jejak

Bye bye

Promise Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang