People always leave

514 32 4
                                    

[3/4]

"Nih," Thalia menyodorkan sosis-sosis bakar yang sebelumnya sudah ditatanya di piring kepadaku saat kami sudah duduk manis di ruang tamu rumah Thalia.

"Ada yang pahit. Mana nunggunya lama banget lagi," dumel Thalia setelah mengigit bagian atas sosis itu, "Yah, nggak terlalu pedes juga. Harusnya tadi aku minta sausnya diplastikin nih."

Aku menaikan kedua alisku sedikit ke atas. Tipikal Thalia. Lalu bergerak mengambil satu tusuk sosis dan mulai memakannya.

Thalia ini memang tidak pernah satu sekolah denganku, tapi dia sudah menjadi sahabatku sejak dulu. Apapun yang terjadi kita selalu menyempatkan diri untuk berbagi cerita. Yah memang hanya cerita.

"Rasanya beda ya," aku menghela nafas panjang.

"Iya. Enakan yang digoreng," sahutnya acuh sambil masih melahap sosis di genggaman tangannya.

Aku menahan nafasku sepersekian detik, meliriknya sesaat sebelum benar-benar menghembuskannya, sambil mencoba menahan tawa sampai akhirnya aku menyerah dan tawaku berhamburan di sana.

Thalia menatapku dengan kening berkerut seraya berujar,"Ih apaan sih?" kemudian meletakan sosis yang berada di genggaman tangannya ke piring di depannya, "Nik, nggak kesambet, kan? Nik?" Thalia mulai mengguncang-guncang tubuhku yang masih belum bisa berhenti tertawa.

"Bukan ituu. Aduh, salah timing nih. Aku nggak ngomongin sosis tauu. Tapi emng masuk sih ke convo yaa" ujarku kemudian saat telah bisa mengendalikan diri kembali.

"Oohh haha," Thalia mengeluarkan tawa khasnya yang renyah, menyadari absurdnya kejadian tadi.

"Jadi kali ini tentang apa?" tanya Thalia yang kini sudah mengalihkan pandangannya sepenuhnya ke arahku sambil mulai mencomot sosisnya lagi.

"Sekolah. Rasanya beda ya kalo udah nggak sekolah. Kayaak.. aku belom siap," jawabku seraya memutar-mutar sosis yang kupegang ini di hadapanku.

Kehilangan. Sekeras-kerasnya manusia bisa mengelabuhi rasa kehilanganya tetap saja rasa itu tetap ada. Bertahun-tahun pun menyiasati, tetap saja sulit. Bahkan sebenci-bencinya kita bisa membeci, membenci sebuah keadaan, saat kita tau dia akan pergi, saat kita tau kita tidak akan pernah kembali, kita akan tetap merasa sedih. Luar biasa sedih.

Bahkan setua apapun, seberapa panjangnya perjalanan hidup yang telah kita lalui, kita tetap tidak bisa berbuat banyak mencari akal untuk menepis rasa kehilangan kita kecuali menunggu. Menungu sang dokter waktu yang akan segera datang untuk melakukan tugas sebagaimana mestinya.

Saat semua yang tadinya menyebalkan berubah rasa menjadi manis yang menyesakan. Saat orang-orang inilah yang menemani sebagian waktu di hidup kita perlahan pergi meninggalkan, mencari jalan hidupnya masing-masing. Yang bisa dilakukan oleh orang-orang sepertiku hanyalah mendoakan.

Bagiku, sekolah adalah zona nyaman kedua setelah rumah. Dan keluar dari zona nyaman, berarti siap menerima semua tantangan, tidak ada pilihan kecuali maju. Keluar dari zona nyaman bukan sesuatu yang mudah. Tidak akan pernah mudah. Tapi semua zona nyaman pasti punya tanggal kedaluarsa, dan itu satu-satunya hal yang membuat kita terus bergerak. Cepat atau lambat kita semua pun harus keluar dari zona nyaman kita. Mulai mencari zona nyaman yang baru.

"Enggak ah, biasa aja," sahutnya acuh sambil masih asik melahap sosisnya.

"Kamu nggak ngerasa kehilangan?" tanyaku seraya menolehkan kepalaku untuk melihatnya yang sekarang sedang menyilangkan kedua kakinya duduk di atas sofa beludru maroonnya.

"Biasa ajalah, Niki. Kan setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Lagian kalo kamu belom siap, sini nomer telfon wali kelas kamu, biar aku bilang kalo ada muridnya yang belum mau lulus," ledeknya seraya menengadahkan tangan kanannya sementara tangan kirinya masih memegang tusukan sosis yang telah kosong sambil menampilkan cengirannya padaku.

Namanya Dimas [4/4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang