1

2 0 0
                                    

Bagi Artha, buku adalah sarananya melarikan diri dari dunia yang kejam.

Jadi, ketika kedua orangtuanya kembali bertengkar hari itu, Artha diam-diam menyelinap keluar dari kamarnya, hanya membawa dompet dan ponselnya, lalu menaiki bus pertama yang ia temui menuju ke perpustakaan daerah.

Setengah jam kemudian, ia sudah berdiri di antara rak-rak buku tinggi yang seolah menyimpan pintu-pintu bagi Artha untuk masuk ke dunia yang berbeda. Hanya tinggal menunggu, pintu mana yang hari ini akan Artha buka.

Jemarinya menelusuri judul-judul yang dicetak di sisi buku. Sebagian besar memang sudah pernah Artha baca. Meskipun ia tidak pernah keberatan mengulang bacaan, hanya saja, hari ini ia merasa ingin masuk ke dunia yang sama sekali baru. Karena tidak menemukan buku yang menarik perhatiannya, Artha akhirnya berjalan ke meja pustakawan.

"Ada buku baru nggak, Mbak?" Begitu tanya Artha pada Rasmi, si pustakawan yang sudah saling kenal dengan Artha sejak beberapa tahun lalu.

"Ada yang baru masuk kayanya. Sebentar." Rasmi memencet tetikusnya beberapa kali. "Coba cek rak 7F," katanya kemudian.

Setelah berterimakasih, Artha menuju ke rak yang disebutkan Rasmi. Ia kembali menelusuri buku-buku di sana dengan matanya, mencoba menemukan sampul buku yang terlihat paling baru.

Ketemu. Artha menarik buku itu dari tempatnya. Namun, hanya separuh bagian buku yang keluar, sementara separuh lainnya lagi seolah tertahan.

Artha mendongak ke balik buku-buku yang berjejer rapi dan bertatapan dengan seorang lelaki yang satu tangannya memegang buku yang sama dengan yang dipegang Artha dari sisi yang berlawanan.

"Maaf, saya duluan." Lelaki itu berkata dengan nada rendah. Ia berusaha menarik buku tersebut.

Namun, Artha tidak mau melepaskan pegangannya di buku tersebut.

"Buku ini lebih condong ke arah saya, berarti saya duluan yang ambil," kata Artha berargumen.

"Tangan saya udah megang buku ini ketika Mbaknya tiba-tiba narik dari situ."

"Ya saya tarik karena bukunya emang mau saya baca dan belum ada yang ambil. Kalo emang ada yang ambil, kan, nggak mungkin akan saya rebut."

"Tapi Mbaknya emang merebut buku itu dari saya."

"Buku ini kan belum diambil Masnya. Saya ngambilnya masih dari rak, kok, nggak dari tangan Masnya kan?"

Lelaki itu membuka mulut, hendak mengeluarkan argumen lain, tetapi kedatangan Rasmi yang mendengar keributan keduanya, menghentikan apapun yang akan lelaki itu katakan.

"Ngapain, sih, kalian berdua? Kaya nggak ada buku lain aja." Tegur Rasmi. Ia mengambil buku yang diperebutkan kedua pengunjung itu, membaca judulnya, kemudian dengan cekatan menarik satu buku dari rak lain seolah ia sudah menghapal isi raknya. Buku dengan judul yang sama. Buku yang baru ia ambil, ia berikan kepada Artha, sedangkan buku sebelumnya diberikan pada si lelaki.

"Kok, bukunya nggak jadi satu rak, Mbak?" Sempat-sempatnya Artha bertanya.

"Belum selesai diberesin." Rasmi menjawab singkat sebelum kembali ke tempatnya.

"Makasih, Mbak." Si lelaki berkata sebelum Rasmi berada di luar jarak dengar. Rasmi hanya mengangkat satu tangan sembari tetap berjalan.

Tanpa menoleh ke arah lelaki itu lagi, Artha mengikuti Rasmi untuk mendaftarkan buku dalam pegangannya yang akan ia bawa pulang.

Tiga hari kemudian, Artha kembali ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang ia pinjam, sekaligus untuk meminjam buku yang lain lagi.

"Kamu ditanyain tuh, sama yang kemarin." Rasmi berkata sembari mencatatkan pengembalian buku Artha ke sistem.

ArthaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang