3

1 0 0
                                    

Meskipun terbungkus jaket, Artha bisa merasakan lengannya berdempetan dengan lengan Wigar tanpa terhalang penyangga lengan yang lupa tidak mereka turunkan. Namun, Wigar sepertinya tidak mempermasalahkan itu. Sebenarnya Artha juga, hanya saja, merasakan tubuh lelaki sedekat ini dengan tubuhnya sendiri untuk pertama kalinya, membuat hati Artha berdebar dan agak mengurangi fokusnya pada film yang mereka tonton. Apalagi ketika beberapa kali punggung tangan mereka bersentuhan. Artha merasa tubuhnya memanas, tapi bukan karena jaket yang dipakainya.

Sebelum lampu dinyalakan kembali, beberapa pengunjung sudah meninggalkan kursi mereka. Wigar bangkit, dan Artha merasakan genggaman tangan Wigar yang mengajaknya untuk berdiri juga. Hal itu dilakukan Wigar dengan natural, tanpa dipikirkan. Berbeda dengan Artha yang menyikapi perlakuan Wigar itu dengan benak berkecamuk. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa dan mengikuti saat Wigar menuntunnya keluar.

"Mau makan dulu?"

Pertanyaan Wigar itu tidak direspons oleh Artha karena dirinya sibuk menatap tangannya yang masih dalam genggaman Wigar.

"Artha?"

"Eh, iya?" Artha akhirnya mendongak dan menatap Wigar.

"Mau makan dulu? Atau mau ke toko buku dulu?" Tanya Wigar lagi. Memang, sebelumnya mereka sudah berencana akan mampir ke toko buku juga setelah menonton.

"Em, terserah." Setelah menjawab begitu, pandangan mata Artha kembali begitu saja tanpa ia sadari ke genggaman tangan mereka berdua. Wigar mengikuti arah pandangan mata Artha dan baru menyadari apa yang ia lakukan.

"Eh, sorry." Wigar berkata dan melepaskan tangan Artha dari genggamannya.

Meskipun tidak terlihat dari luar, Artha bisa merasakan hatinya mencelus saat tangannya terbebas.

"Makan dulu aja, deh." Artha berkata untuk mengalihkan pembicaraan tanpa membalas ucapan Wigar. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket dan berjalan mendahului Wigar menuju ke area foodcourt.

Sepanjang sisa hari itu, Artha tidak bisa menyingkirkan rasa kesal di hatinya. Perkataan Wigar hanya ia tanggapi seperlunya. Bahkan ketika Wigar menanyakan perihal buku, yang biasanya selalu dijawab Artha dengan semangat.

Menyadari perasaan Artha yang sedang tidak baik, Wigar akhirnya juga memilih diam. Namun, ia tetap memperhatikan Artha yang berkali-kali menghela napas di depan rak buku. Bukan karena bingung memilih buku karena Artha sejak tadi hanya berdiri di satu tempat tanpa tampak sedang melihat-lihat buku. Malah, tatapannya seolah menerawang.

Pada akhirnya, mereka keluar dari toko buku dengan tangan kosong. Wigar menawarkan untuk mengantar Artha pulang, tetapi ditolak oleh gadis itu. Ia lebih memilih berjalan ke halte bus terdekat setelah berpamitan.

Tidak lama Artha menunggu busnya datang. Setelah memastikan tidak ada lagi penumpang yang turun, Artha sedikit melompat naik ke dalam bus yang berhenti agak berjarak dari halte.

"Sekalian." Sebuah suara mengejutkannya saat Artha akan menge-tap kartu penumpangnya di mesin. Ia menoleh dan mendapati bahwa Wigar sudah berdiri di belakangnya. Entah kapan cowok itu menyusulnya. Namun, melihat senyum memohon di bibir Wigar, Artha kemudian menge-tap kartunya dua kali.

Meskipun tidak ada penumpang yang berdiri, bus yang mereka tumpangi cukup penuh. Hanya ada dua kursi yang kosong, dan letaknya berjauhan. Satu di bagian belakang bus, satu di bagian depan. Artha berjalan lebih dulu ke spot favoritnya di belakang.

Wigar baru akan mengikutinya saat kondektur bus berkata, "Itu depan kosong, Mas." Mau tak mau Wigar berjalan ke arah yang berlawanan dengan Artha.

Di belakang, Artha berusaha menghindari tatapan mata Wigar yang terus-menerus berusaha menarik perhatiannya. Usaha Wigar itu terhambat karena di halte selanjutnya, cukup banyak beberapa penumpang yang naik. Karena semua tempat duduk sudah penuh, jadi mereka berdiri di tengah, antara dua baris kursi yang saling berhadapan, menghalangi pandangan Wigar ke Artha maupun sebaliknya.

ArthaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang