4

1 0 0
                                    

Akhir pekan berlalu dengan cepat bagi Artha yang semakin intens berkomunikasi dengan Wigar. Hari Senin, perkuliahan sudah dimulai kembali. Namun, tidak seperti mahasiswa lainnya yang mungkin mengawali semester baru dengan keluhan, Artha bangun pagi itu dengan tidak sabar dan bersemangat. Alasannya, Wigar mengatakan akan menghampirinya untuk makan bersama siang nanti.

Setelah menyelesaikan satu sesi kelas pagi, Artha berjalan bersama teman-temannya keluar dari gedung perkuliahan. Kemudian ia memisahkan diri dari mereka saat melihat Wigar sudah menunggu di seberang halaman gedung. Tentu saja celetukan usil tidak bisa dihindari muncul dari mulut teman-temannya yang hanya dibalas Artha dengan menjulurkan lidah.

"Lama nunggunya?" Artha bertanya saat ia sudah berhadapan dengan Wigar.

Wigar menggeleng. "Enggak, kok."

"Ya udah, ayo. Jangan lama-lama di sini, makin berisik mereka nanti." Kata Artha lagi, merujuk pada teman-teman yang masih berceloteh di balik punggungnya. Wigar tertawa dan mengangguk. Keduanya lalu berjalan meninggalkan halaman gedung.

Sebelumnya, Artha memang sudah mengatakan bahwa ia tidak mau makan di kantin fakultas. Setelah mencari-cari, mereka pun sepakat untuk makan di salah satu cabang restoran yang terkenal dengan beragam menu sambal tak jauh dari kampus. Jadi kini keduanya duduk lesehan di balik meja, menunggu makanan mereka datang sembari mengobrol.

"Emang kita beneran nggak pernah satu tim atau satu meja, ya, waktu ospek?" Tanya Artha di tengah obrolan mereka. Wigar menggeleng.

"Beneran, nggak, sih? Tapi, kok, kamu inget aku? Aku aja ada beberapa temen yang sempat satu tim, tapi bahkan kalo ketemu langsung gitu mungkin nggak langsung inget juga, tau. Soalnya waktu itu aku sempat ketemu Natalia juga dan aku nggak akan ngenalin dia kalo dia nggak nyapa duluan. Padahal kita pernah duduk semeja. Kamu tau Natalia, kan?"

Wigar menggeleng lagi sembari berkata, "Enggak. Aku cuman inget siapa, ya? Kamu? Sama Dani, anak Kehutanan yang aktif banget itu."

"Ih, Natalia tuh juga aktif tau."

Namun Wigar tetap menggelengkan kepala. "Nggak inget."

"Jangan-jangan kamu inget aku karena naksir dari dulu, ya?" Goda Artha spontan. Wigar yang sedang meminum es jeruk langsung tersedak mendengar perkataan itu. Artha buru-buru menarik beberapa lembar tisu dari wadah dan membantu Wigar meredakan batuknya.

Di ujung kekacauan itu, seorang pelayan datang membawakan pesanan makanan. Membuat Artha dan Wigar sama-sama melupakan percakapan mereka dan mulai menikmati hidangan.

Setelah makan, keduanya tidak berlama-lama menetap di restoran itu. Selain karena jam makan siang yang menyebabkan restoran menjadi ramai, juga karena baik Artha maupun Wigar masih ada kelas lagi siang ini. Kini keduanya sudah duduk di dalam mobil Wigar yang melaju membelah kepadatan jalan.

Saat mobil berhenti di persimpangan jalan karena lampu merah, Wigar menoleh untuk menatap Artha. Gadis yang duduk di kursi penumpang di sampingnya itu sedang asyik menggulirkan layar ponsel sembari bersenandung mengikuti alunan lagu yang diputar Wigar.

Lampu berubah menjadi hijau. Wigar melajukan kembali mobilnya perlahan sembari diam-diam menarik napas dalam.

"Emang." Katanya tiba-tiba. Artha menoleh terkejut.

"Hah?"

"Emang. Kamu bener." Wigar mengulang perkataannya.

"Apanya yang bener? Perasaan aku nggak ngomong apa-apa?" Artha semakin bingung.

"Yang tadi. Kamu bener. Aku emang naksir kamu sejak ospek."

Meskipun di luar, keadaan sekeliling tetap ramai sebagaimana mestinya, keheningan yang canggung memenuhi seisi mobil Wigar.

ArthaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang