SUGENG ANAK NAKAL DESA NGRANTAN

57 0 0
                                    

Berlarian dua orang anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahunan dengan berseragam sekolah merah putih di tengah sawah yang ditanami jagung masih setinggi lutut orang dewasa. Sedang di belakang mereka seorang laki-laki setengah baya mengejar sambil sesekali melempari ke arah buruannya dengan bongkahan tanah sawah kering. Karena kedua anak laki-laki itu cukup gesit, akhirnya si lelaki setengah baya pun menyerah, tidak meneruskan pengejarannya.
Dengan nafas terengah-engah, si lelaki setengah baya itu melampiaskan
kejengkelannya dengan kata-kata kasarnya.

“Dasar anak-anak miskin! Sukanya mencuri saja. Awas nanti kalau ketemu, akan aku pelintir tangan kalian.”

Dengan wajah beramarah, si laki-laki setengah baya yang terkenal kaya dan banyak lahan pertaniannya, bernama Pak Mugi, merasa dipermainkan oleh kedua anak laki-laki yang telah mencuri bekal
makanannya di dangau sawahnya. Sifat kikirnya membuat banyak warga desa
membencinya. Para pekerjanya pun juga membencinya dengan perilaku Pak Mugi
yang tidak langsung memberikan uang bayaran setelah jam kerja usai, melainkan
hanya dibayar dengan janji-janji hari saja. Sehingga para pekerja di sawah-sawahnya mau tidak mau tetap bekerja pada Pak Mugi demi mendapatkan uang bayaran yang masih ditunda-tunda.

Tubuh kurus dengan baju lusuh, Pak Mugi kembali lagi ke dangau tempatnya semula tidur-tiduran. Dengan sedikit berkeringat di wajahnya, Pak Mugi masih marah, menggerutu. Wajahnya yang tidak tampak begitu garang menjadi bahan tawaan pekerja-pekerjanya yang saat itu hanya memperhatikan kejadian yang baru saja terjadi. Mereka memang sengaja tidak ingin membantu mengejar kedua anak laki-laki yang telah mencuri bekal makanan Pak Mugi saat ia tertidur di dangaunya.

Di gapura Desa Ngrantan, kedua anak laki-laki itu berhenti juga dengan nafas terengah-engah. Namun di wajah mereka justru tersirat rasa senang. Dan tawa mereka pun semakin membuat mereka merasa puas karena telah berhasil dalam aksinya yang mereka anggap sudah biasa mereka lakukan. Dengan sama-sama berjongkok, mereka membuka dua rantang plastik hasil curian waktu itu.

“Dasar memang Pak Mugi kikir. Untuk dimakan sendiri saja pelit banget. Lihat ini, Gong! Masak orang kaya makanannya kayak begini, cuma nasi sama tempe goreng.”
Kata Sugeng pada Bagong setelah tahu isi dalam rantang yang semula disangkanya berisi makanan yang mewah.

“Kamu juga sih, Geng. Sudah tahu rantangnya jelek begini masih saja kamu paksa ambil,” Bagong berkomentar pada Sugeng yang terlihat kecewa.

“Ya aku kira makanan Pak Mugi itu enak-enak. Kalau cuma tempe goreng begini sih, Embokku juga sering bikin.”

“Terus bagaimana ini? Apa mau dibuang? Kan sayang lari-larinya tadi nguras tenaga,” dengan memegang kedua rantang di tangan kanan dan tangan kirinya, Bagong meminta pendapat.

“Kalau kamu mau, makan saja sendiri. Kalau makanan kaya gituan sih, aku sudah
bosen.”
Sugeng berdiri sambil membenahi tas cangklongnya.

“Bener ni, kamu gak mau?”
Tanya Bagong memastikan keputusan yang diberikan Sugeng padanya.

“Sudah, cepetan makan…! Aku hitung sampai sepuluh gak habis, akan aku tinggal lho.”
Perintah Sugeng seraya memberikan ancaman pada Bagong yang masih berjongkok dengan dua rantang di tangan kanan-kirinya.

Setelah mendapat perintah dan ancaman dari Sugeng, dengan cepat Bagong melahap nasi dan tempe goreng bersayur kangkungnya. Bersamaan dengan itu, Sugeng juga sudah memulai menghitung dengan cepat. Sehingga Bagong baru tiga kali suap saja, hitungan Sugeng sudah sampai di hitungan ke-sepuluh. Sesuai dengan apa yang diucapkannya, Sugeng pun meninggalkan Bagong sambil tertawa-tawa. Sedangkan Bagong karena tidak ingin ditinggalkan sahabatnya, dia pun bangkit menyusul Sugeng setelah mengambil sisa tempe goreng di rantang. Dilemparkannya kedua rantang yang sudah ia acak-acak isinya. Dengan mulut penuh, Bagong berusaha mengejar Sugeng yang berlari begitu cepat. Perawakan Bagong yang gemuk agak menyulitkan dirinya untuk bisa menandingi kecepatan Sugeng dalam berlari karena Sugeng berperawakan ramping.

Kunang-kunang DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang