SALUT PADA SUGENG

7 0 0
                                    

Setelah salat Duha, Sugeng mengajak Bagong menemui salah satu famili dari seorang nenek yang dulu rumahnya terbakar karena ulah Sugeng. Dia menceritakan dengan jujur masa lalu atas terjadinya musibah kebakaran yang telah membakar habis rumah nenek yang dikenali namanya adalah Embah Sumi.

Bagong yang menyaksikan kejujuran dan keluhuran Sugeng, dia merasa senang. Dia tidak menyangka Sugeng yang dulu nakal, saat itu sudah berubah total. Dia berubah menjadi orang yang sangat baik dan alim tentang agama.

Karena Embah Sumi telah meninggal semenjak Sugeng ada di Madura, akhirnya Sugeng mengutarakan niatnya untuk membangunkan rumah pada cucu Embah Sumi. Namun karena di tanah tempat rumah Embah Sumi dulu berdiri sudah dibangun rumah, cucunya menolak. Dia mengikhlaskan kejadian masa dulu dan menyuruh Sugeng agar uang yang akan dibuat untuk membangunkan rumah neneknya itu, supaya diamalkan saja untuk kepentingan syiar agama di Desa Ngrantan. Sugeng dan Bagong mengucapkan terimakasih atas kebaikan dan pemasrahan dana itu yang diperuntukkan pada kepentingan syiar agama islam di Desa Ngrantan.

Sugeng semakin tergugah dan semangat untuk mengeluarkan ide-ide baru dalam misinya di kampung halamannya tersebut. Dia berniat akan membangun gedung TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) dan langgar yang akan difungsikan untuk kegiatan belajar-mengajar keagamaan.

“Ayo ikut aku lagi, Gong!”
Ajak Sugeng sepulang dari cucu Embah Sumi.

“Mau kemana? Mau ke Ambar...? Mau melamar dia, ya?”
Tanya Bagong menebak-nebak sambil tersenyum menggoda.

“Mau makan ke warung, yuk…!”
Ajak Sugeng tersenyum karena teringat dengan kesukaan Bagong saat kanak-kanak adalah makan.

“Ayo mumpung aku belum makan siang,” sambut Bagong senang. Walau ada sedikit rasa sungkan pada Sugeng, Bagong ingin tetap bisa akrab seperti saat kecil dulu.

“Tapi ada syaratnya….”
Sugeng menghentikan raut senang Bagong.

“Syarat…? Syarat apaan itu? Mau ngembalikan bekal Pak Mugi lagi, ya…?” Tanya Bagong mengingatkan masa lalu mereka yang kemudian membuat mereka tertawa bersama.

“Ayo jalan…!”
Ajak Sugeng dengan masih menyisakan senyum.

“Makannya ke kota aja, Gong.”
Lanjut Sugeng.

“Wah, gaya banget kamu….”
Komentar Bagong dengan masih menyisakan tawa kecil yang ditahan-tahan.

“Sambil mau beli motor metik. Biar aku bisa ke rumah Ambar tanpa harus merepotkanmu lagi,” jelas Sugeng memberitahu tujuan yang sebenarnya.

“Gak kok, Geng. Aku gak merasa direpotkan. Aku justru senang bisa membantu dan tetap dekat denganmu,” bela Bagong menjelaskan ketulusannya.

“Aku kan juga ingin memboncengkannya untuk jalan-jalan, Gong. Heheheh,” sambung Sugeng menyatakan tujuan keinginannya membeli motor dengan nada bercanda.

Lantas mereka berangkat ke dealer motor di Kota Solo dan berhenti di warung yang menyediakan nasi liwet.

Mereka pulang beriringan dengan masing-masing mengendarai motor. Warna hitam adalah kesukaan Sugeng sehingga Sugeng juga memilih motor metiknya yang berwarna hitam.

“Embok, tidak lama lagi aku mau melamar seseorang. Lamarkan ya, Embok…?!”
Kata Sugeng memberitahu pada ibunya setiba dari membeli motor.

“Kok dadakan? Apa kamu sudah punya wanita yang siap kamu lamar?”
Tanya Widji senang.

“Sudah ada kok, Embok. Sudah dari dulu ada,” jawab Sugeng sambil tersenyum.

"Biar nanti saja kalau Pakmu sudah datang, Geng. Dia lebih pantas melamarkan."

Mereka terus berbincang hingga menjelang Magrib sambil makan oleh-oleh yang dibawa Sugeng dari kota. Setelah itu Sugeng pamit membersihkan diri untuk pergi ke mesjid menemui teman-temannya dan santri-santrinya yang telah lama menunggu kedatangannya.

Setelah mengajari santri-santri dan setelah salat Isya’ berjemaah dengan teman-teman, santri dan beberapa warga, Sugeng memusyawarahkan niatnya untuk membangun TPA dan langgar.
Niat Sugeng tersebut ternyata yang mendapatkan dukungan penuh dari teman-temannya adalah pembangunan TPA saja karena mereka khawatir jika dibangun langgar baru, nanti suasana di mesjid akan sepi dan hanya akan ada kegiatan salat berjemaah saja. Sugeng setuju dengan pendapat teman-temannya. Dari saat itu Sugeng mulai merencanakan pembangunan TPA yang akan dibangun di dekat rumahnya yang masih ada tanah kosong, cukup untuk kebutuhannya tersebut.

Kunang-kunang DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang