Bab 2

85 2 0
                                    

Pak Budi dari bagian diklat menelpon. Beliau menginformasikan bahwa mulai hari ini rumah sakit kami kedatangan mahasiswa koas lagi. Aku sudah menduga sebelumnya. Memang, setiap tahun nya pada bulan yang sama, rumah sakit kami selalu kedatangan anak koas dari institusi pendidikan yang bekerjasama dengan kami. Hal ini tidaklah mengherankan mengingat status rumah sakit kami sebagai rumah sakit pendidikan.

Hanya saja, dengan datangnya koas baru, artinya aku harus bekerja ekstra untuk mengajari mereka yang baru memasuki tahun pertama ini. Tidak seperti koas yang telah memasuki tahun kedua dan ketiga yang kebanyakan sudah dapat diandalkan, mereka yang tahun pertama ini masih perlu banyak bimbingan. Dan seperti yang dapat kalian duga, anak-anak baru ini di hari pertamanya sudah banyak yang memasang wajah ketakutan ketika melihatku. Ya ampun, aku bahkan belum berbicara sama sekali!! Benar-benar menyebalkan.

Totalnya ada 10 koas yang berada di ruangan ini, dan mereka memulai perkenalannya. Yah, aku tidak benar-benar ingat nama-nama mereka, jadi aku minta saja mereka menggunakan name tag agar aku mudah memanggilnya. Sebenarnya, bagian yang menangani anak-anak koas ini lebih banyak diambil alih oleh dokter residen. Tapi jika pekerjaanku tidak terlalu banyak, aku terkadang juga suka menganggu mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan praktek di lapangan. Dari yang paling simple hingga yang paling rumit. Dan aku rasa kalian sudah mengetahuinya, mereka kembali memasang wajah ketakutan ketika aku memanggil mereka semua yang sepertinya sedang tidak terlalu banyak pekerjaan. Hey, aku baru memanggil loh. Aku belum mengajukan pertanyaanku. Kurasa aku mulai menikmati ketakutan mereka ini. Tapi itu kelakuan mahasiswa koas tahun lalu. Mungkin yang sekarang akan berbeda. Jauh lebih normal, atau mungkin lebih parah. Ya terserahlah.

Sudah 3 bulan sejak berubahnya jabatanku sebagai kepala instalasi bedah umum. Dan kedatangan koas baru ini seakan menjadi acara peringatan nya. Hari ini onii-san memintaku untuk menemaninya berbelanja. Kakakku ini memang aneh. Dari pada meminta wanita untuk menemaninya, ia lebih suka ditemani olehku. Jadilah kami disini, dua orang lelaki yang sedang mencari kemeja. Ralat, hanya onii-san yang mencari kemeja. Aku hanya menemani.

Namun dasi di sudut kiri toko ini menarik minat mataku untuk melihat lebih dekat. Tanpa aba-aba, kakiku tanpa sadar semakin mendekat ke titik dimana dasi-dasi cantik itu tergantung. Ah, sangat indah. Andai ada yang mau membelikannya untukku, pasti aku lebih bahagia. Seperti yang sering dilakukan olehnya ketika kami masih bersama 7 tahun yang lalu.

"Oppa, dasi ini cantik ya kalau oppa yang pakai. Cobain dong, pasti tambah ganteng." Ella menawariku sebuah dasi.

"Enggak deh dek, oppa kan masih kuliah. Jadi belum begitu penting untuk punya dasi kayak itu. Nanti aja kalau oppa sudah kerja, baru ella cariin oppa dasi lagi ya." Jawabku sambil tersenyum.

"ah oppa, nggak seru ah. Ella maunya beli sekarang. Nanti warna yang kayak ini habis loh oppa. Ayoooooooo!!!!" Jawabnya memaksa sambil bergelantungan di lengan kiriku dengan mimik cemberutnya yang sangat lucu.

"Tapi belum kepake juga dek kalau beli sekarang."

"Ah oppa, nggak papa beli aja dulu, nanti kalau udah kerja, dasinya tinggal dipake. Ya, ya, ya. Ayolah oppaaaaa." Wajahnya cemberutnya semakin menjadi.

Tak tahan dengan tingkah lucunya, akupun menurutinya untuk membeli dasi itu. Walau sebenarnya, dasi dirumahku sudah banyak sekali. Dan semuanya dipilihkan olehnya. Sepertinya ella benar-benar menyukai dasi.

Tanganku tanpa sengaja menyentuh dasi yang sedang aku pakai. Ah, aku teringat akan kenangan terakhir kami kembali. Ya, itu adalah terakhir kalinya ella memilihkan dasi untukku. Seminggu sebelum ia menghilang. Tapi sudahlah, mengingat masa lalu hanya membuat hatiku semakin terluka. Yang penting aku percaya bahwa ia masih hidup. Dan suatu saat aku akan dipertemukan dengannya kembali.

Kakakku memanggilku. Sepertinya ia menemukan kemeja yang disukainya. Kemeja krem dengan motif garis tidak teratur yang berwarna merah terang bercampur hitam. Bahannya lembut dan menyejukkan mata ketika dipakai. Sudah kuduga, selera onii-san selalu tinggi. Dari mulai memilih baju hingga pasangan. Aku anggukkan kepala tanda menyetujui pilihannya. Dan iapun segera membayar kemeja itu ke kasir.

Sekarang tenggorokkanku terasa kering. Aku baru ingat, terakhir kali aku minum adalah sebelum berangkat ke pusat perbelanjaan ini. Dan sakarang jam sudah menunjukkan pukul 17.00. artinya sudah 3 jam aku belum meminum apapun. Pantas saja tenggorokkanku kering. Karena itu, aku mengajak onii-san untuk mampir ke Starbuck langgananku di lantai 1 gedung ini. Ah, kopi American Cappuccino nya sangat lezat. Kami memilih duduk di dekat jendela dengan pemandangan ke arah taman gedung yang sangat indah. Wajar saja banyak yang memiih untuk menghabiskan waktu disini sambil merenung. Suasananya memang sangat mendukung.

"Dek, gimana dengan pekerjaan kamu hari ini?" Kakakku membuka obrolan.

"Ya begitulah. Nggak ada yang terlalu istimewa. Onii-san sendiri?"

"Sama." Jawabnya singkat.

Obrolanpun terputus disitu. Kami sama-sama memilih untuk menikmati indahnya taman dihadapan kami yang menyajikan bunga berwarna warni dengan air danau yang tenang. Riak-riak kecil yang terbentuk menambah indah pemandangan. Ikan-ikan kecil berlarian kesana kemari menikmati cerahnya hari ini.

"Kamu masih keingetan sama ella ya?" Tanya onii-san tiba-tiba.

Aku mengalihkan pandanganku dari danau dan perlahan menatap wajahnya. Ada raut kesedihan yang tampak ketika ia menanyakan pertanyaan itu. Hal yang sama juga terjadi padaku. Hatiku kembali sakit mengingat nama itu. Mengingat semua kenangan kami bersama.

Aku menghela napas sejenak. "Ya, tentu saja. Bagaimana aku dapat melupakannya." Dia adalah matahari dalam kehidupanku. Dia adalah alasanku untuk tersenyum.

"Aku mendapat kabar bahwa ia sekarang berada di kota ini. Tapi aku tak tahu tepatnya dimana. Dan aku juga belum tahu bagaimana wajahnya yang sekarang." Sahut onii-san dengan lemah.

"Benarkah? Ella pindah ke kota ini?" Sontak aku terkejut dengan pernyataan onii-san. Mataku terbelalak tidak percaya dengan apa yang dikatakan onii-san.

"Aku tidak tahu apakah ia pindah ke kota ini secara permanen atau hanya sementara. Hanya sebatas itulah informasi yang berhasil aku dapatkan. Sepertinya ayah benar-benar telah memutus segala informasi yang berhubungan dengannya."

"Aku tidak heran. Ayah memang seperti itu. Dan informasi yang onii-san dapatkan itu adalah suatu kemajuan besar bagi pencarian kita." Mataku berbinar terang mengetahui kemajuan yang berhasil kami capai.

"Ya, untungnya. Setidaknya sekarang kita mengetahui dari mana kita harus memulai pencarian."

***

"Apa yang kamu lakukan?" Sahut Henzi sambil memukul kepala bawahannya.

"Maafkan saya, tuan. Saya telah lalai menjalankan tugas saya." Weren, orang kepercayaan Henzi, membungkukkan badannya berkali-kali.

"Sudah saya bilang, jangan sampai mereka berdua mendapatkan informasi tentang ella. Saya tidak ingin mereka bertemu kembali dengan wanita itu."

"Maafkan saya, tuan. Saya akan segera menangani masalah ini."

"Sudah seharusnya seperti itu. Awas jika masalah ini tidak selesai. Tutup semua informasi tentang ella serapat-rapatnya. Jangan sampai kecolongan lagi."

"Baik tuan."

Henzi pun merapikan jas nya dan meninggalkan ruangan. Ada pertemuan yang harus dihadirinya. Dan moodnya sekarang berantakan setelah mendapat laporan perihal bocornya informasi tentang ella dari anak buahnya. Tak apa, mereka berdua hanya mengetahui jika ella sudah berada di kota ini. Dan informasi itu masih jauh dari cukup untuk mengetahui keberadaan ella sekarang. Yang Henzi harus lakukan sekarang adalah menghalangi segala informasi lainnya yang dapat memperkecil lingkup pencarian mereka.

Mikroskop dan StetoskopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang