Beautiful

9 1 0
                                    

"Zra," pria yang tengah berdiri di depan bar itu memanggil nama sahabatnya dengan frustasi. "Ya Tuhan, Ezra," dia menggela nafas seolah lelah.

Ezra, pria yang sedari tadi menjadi pusat perhatian, tetap bergeming. Seolah tak mendenger ratapan sahabatnya, dia tetap fokus dengan pekerjaannya membersihkan mesin grinder. Dia tak peduli mau sahabatnya itu meratap sembari menangis pun, kali ini Ezra sudah bertekat untuk tidak akan menyerah dengan diamnya.

"Oke, gue minta maaf. Gue akuin emang waktu itu gue nggak bisa mencegah dia pergi, tapi itu semua bukan sepenuhnya salah gue, Zra. Gue di situ cuma orang asing, mana bisa gue maksa dia buat nungguin lo sih. Jadi, please jangan diem terus. Nggak enak banget, Zra liat lo yang biasanya ketawa-tawa berubah jadi pendiem kayak gini. Kita semua merasa nggak nyaman, Ezra!"

Selain terkenal pandai bernyanyi dan membuat americano yang nikmat, Ezra juga terkenal ramah dan baik ke semua orang. Jadi wajar, jika suasana kafe terasa sedikit berkabut karena sudah hampir seminggu ini Ezra hanya bicara seperlunya pada karwayan di kafe. Tidak ada sapaan hangat pada karyawan dan tawa renyah khasnya pun seolah tak pernah terdengar lagi akhir-akhir ini.

"Semua karyawan nyalahin gue, lo tahu nggak, Zra? Mereka bilang gue yang udah bikin lo jadi kayak gini. Astaga, bisa gila gue lama-lama. Nggak lo, nggak Pak Bos! Gue resign aja lah kalau kayak gini."

"Yordan Sailendra. Berisik," dengan sudut matanya, Ezra melirik sang sahabat dengan tatapan tajam sembari tangan kanannya meraih sebuah gelas plastik. "Pake es nggak?"

"Pake. Yang banyak, biar otak gue juga ikutan adem."

Setelah menuangkan espresso ke dalam gelas, Ezra memasukkan potongan es hingga memenuhi gelas lalu meletakkan sedotan diantara celah es yang terlihat menggunung. "Selamat menikmati," ujarnya sembari menyodorkan cairan espreso dan es batu buatannya pada pria yang masih berdiri di depan bar.

Yordan Sailendra, pria itu menghela napasnya dalam seolah tengah merapal mantra agar dirinya bisa menjadi manusia paling sabar di alam semesta ini. "Iya, terima kasih," dia tersenyum lebar namun senyum itu sama sekali tak sampai di matanya.

"Yang sabar ya, Mas Yo," seorang karyawan yang baru saja selesai mengelap meja menghampiri Yordan dan menepuk pundaknya dengan ekspresi kasihan yang sangat kentara.

"I'm okay. Wirohajima," dia membuat tanda ok dengan jarinya sembari menunjukkan wajah pahit, sepahit segelas es dan espresso yang ada di hadapannya. "Ini kopi racikan baru ya, nggak pake ditambahin air atau susu gitu, Zra? Kok kelihatannya pahit banget kayak cerita hidup lo. Boleh gue tambahin susu nggak sih?"

Dan Ezra, kini dia tengah memberikan lirikan mematikan. "Nambah air lima belas ribu. Nambah susu tiga puluh ribu. Mau yang mana?"

"Gue milih ambil air sendiri aja di dispenser."

"Megang dispenser empat puluh ribu. Kalau sekalian ambil air jadi lima puluh ribu."

"Tega banget lo sama gue, Zra," Yordan memelas. Dia mengaduk-aduk gelas yang dipenuhi es batu berharap esnya bisa segera mencair. "Kalau air mineral berapa?"

"Enam puluh lima ribu."

Yordan menelan ludahnya kasar, dia hanya bisa pasrah melihat tingkah sahabatnya ini sembari menarik napas dalam-dalam. "Git, lo ada air nggak?" tanya Yordan pada karyawan lain yang tengah mengelap cangkir di sebelah Ezra.

"Ada sih, mas. Mau aku ambilin?"

"Iya boleh," Yordan tersenyum cerah secerah mentari pagi. Namun senyumnya segera menghilang begitu melihat karyawan tadi meraih gelas plastik lalu pergi ke arah wastafle dan mengisinya dengan air dari kran. "Sumpah ya, Git. Jahat banget lo sama gue!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 09, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang