Jam tangan Abelle menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Tiga puluh menit lagi pesawatnya akan berangkat. Sekarang ia sedang duduk bersebelahan dengan ayahnya yang mengantar ke bandara. Sebenarnya semua anggota DBL pun juga sudah datang, termasuk Coach Jeffrey dan Coach Lea. Tapi mereka kini sedang menghabiskan momen terakhir bersama orang tua masing-masing sebelum benar-benar pindah ke luar kota berbeda provinsi.
“Papa, makasih udah mau nganterin aku,” ucap Abelle. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Bagas.
“Iya, Nak. ‘Kan Papa sayang Abelle.” Bagas tersenyum sambil mengelus telapak tangan Abelle.
“Aku juga sayang Papa.” Abelle semakin mengeratkan pelukannya di lengan ayahnya.
“Tapi maaf ya, Nak. Papa tetep kirim uang, tapi mungkin nggak banyak. Jadi, Abelle harus belajar hemat, ya?” Bagas mengatakan itu dan teringat akan masa lalu. Masa di mana saat mereka masih bertiga, dan mengajari Abelle untuk berhemat setiap harinya.
Begitu pula Abelle, ia langsung teringat akan masa lalu itu. “Iya, Pa.”
Setelah itu, mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Bagas mengambil ponsel dari tasnya, sementara Abelle mulai bosan menunggu. Kini tinggal dua puluh menit lagi sebelum mereka dipanggil masuk ke dalam pesawat.
Sebenarnya bukan bosan, tapi Abelle sedang menunggu kehadiran seseorang. Beberapa waktu lalu ia sudah bilang pada laki-laki itu bahwa ia akan pergi. Abelle mengira ia akan ikut mengantarnya juga ke bandara. Abelle berpikir bahwa ia akan merasa sedih akan perpisahan ini. Tapi mungkin itu hanya perasaan Abelle saja. Mungkin ia tidak merasakan hal yang sama dengan apa yang Abelle rasakan. Padahal bahkan dua hari sebelum keberangkatan Abelle susah untuk tidur karena memikirkan laki-laki itu.
Karena sebentar lagi mereka akan benar-benar berpisah.
Abelle mengenang masa-masa saat ia bekerja di rumahnya. Ia menyesali sikapnya memberikan kesan pertama yang tidak begitu baik saat pertama kali bertemu dengannya. Ia juga menangisi saat dimana ia mengetahui beban yang ada di pundak laki-laki itu. Dan ia terus membawanya sendirian tanpa disadari oleh orang-orang di sekitarnya. Abelle baru menyadari ternyata itu semua adalah momen-momen yang berharga.
“Mohon perhatian, pesawat dengan nomor—”
“Eh, itu pesawat Abelle, ya?”
“Iya …”
Lima belas menit sebelum keberangkatan, arahan untuk segera masuk ke dalam pesawat ternyata sudah dibunyikan. Abelle menjadi lesu mendengarnya. Sepertinya orang yang ditunggunya memang tidak datang.
“Yuk, siap-siap, Belle. Temen-temenmu udah pada siap, tuh. Tiketnya mana? Dipegang yang bener.” Bagas menyuruh Abelle untuk bangun dari duduknya. Ia mengatur lagi koper Abelle dan memastikan semuanya aman.
Abelle menoleh ke arah teman-temannya. Mereka sudah siap untuk masuk ke gerbang keberangkatan. Coach Jeffrey pun juga mengarahkan untuk berkumpul.
Muncul kegelisahan dalam hati Abelle. Jika ia benar-benar tidak datang, ia tidak akan tenang selama di perjalanan. Bahkan ia akan merasa bersalah untuk pergi.
“Ayo, ayo, semuanya kumpul ke sini!” seru Coach Jeffrey.
Tunggu dulu … Aku masih menunggu seseorang … Abelle membatin.
“Abelle! Sini!” Keisha memanggilnya.
“Tuh, disuruh ke sana, Belle. Yuk, siap-siap.” Bagas memeluknya erat sekali lagi sebelum ia benar-benar melepaskan anaknya. Akhirnya Abelle berdiri dan menyeret kopernya. Ia membalas pelukan ayahnya untuk yang terakhir kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Jersey & Macaron (END✓)
Novela JuvenilAbelle Estania, adalah seseorang yang berjuang demi menggapai mimpinya untuk masuk DBL. Bukan orang lain yang menjadi lawan terberatnya, melainkan dirinya sendiri. Keberadaan chef pribadinya, Ryan Qin, membuat Abelle harus menuruti perintah ibunya u...