Wanita Penyelinap

43 4 0
                                    

Mentari sudah mulai bergerak di ufuk barat. Suci berjalan ke arah rumah seraya menggendong si bungsu Kautsar. Kedua anak yang lain berlarian mengikuti ibunya seraya melafalkan hafalan Surat An-Naba. Sementara itu, tiga anaknya yang sudah besar menunggu di teras, pulang dari pesantren tempat mereka belajar.

"Abah hari ini pulang, kan, Ummah?" Abizar, anak tertua Suci, menyambut Kautsar dan menggendongnya.

"Kemarin kirim chat, bilangnya seperti itu." Senyum ibu enam anak itu terbit. Dia membuka pintu yang masih terkunci, lalu memimpin anak-anaknya masuk ke rumah.

Mereka masuk seraya mengucapkan salam. Suara si bungsu Kautsar yang lucu membuat ibu dan kelima kakaknya tersenyum gemas. Abidzar sibuk menciumi pipi adiknya, sementara Adiba dan Safiqah mengikuti langkah ibu mereka ke dapur.

Suci sibuk menghangatkan sayur dan lauk. Tentu saja dibantu kedua anak gadisnya. Abizar memimpin ketiga adik yang lain, merapikan ruang tengah. Rumah selalu dalam suasana ceria dan penuh harapan. Mereka sedang menunggu kedatangan pemimpin tercinta yang sudah hampir satu bulan ini safar.

"Ummah masak semua kesukaan Abah," komentar Adiba seraya mengangkat semua yang sudah dipanaskan ke meja makan.

"Abah sudah request dari kemarin lusa," sahut Suci, lantas mengukir senyum manis.

"Baru kali ini ya, Abah pergi lama tanpa Ummah," celetuk Safiqah.

"Iya. Kan, jemaah umroh yang didampingi Abah lebih banyak dari biasanya. Kalau Ummah ikut, pasti Kautsar ikut. Takutnya nanti mengganggu." Suci memberikan penjelasan seraya menata meja makan.

Banyak pesan masuk saat Suci sedang sibuk. Dia tidak mengacuhkan suara notifikasi yang bersahutan dari telepon selulernya. Hatinya sedang riang, rindu kepada suami. Jadi, dia tidak memedulikan apa pun, kecuali persiapan menyambut sang suami.

"Ummah nggak jemput Abah di bandara?" Adiba memandang ibunya seraya mengerutkan kening.

Setahu dia, ibu selalu menjemput ayahnya jika datang dari luar kota. Ustaz Arya, ayah mereka, sudah membelikan mobil. Dengan kendaraan roda empat itu, si istrilah yang menjadi kaki bagi keluarganya. Ayahnya selalu sibuk dengan materi yang akan disampaikan dalam perjalanan.

"Kata Abah, ada yang antar." Suci masih sibuk dengan masakan.

"Makan besar, nih!" Abidzar datang, lantas mencomot tempe kemul.

Saat akan memakan, Suci menepuk punggung tangannya. "Kalau mau makan itu ... ambil tempenya, taruh di lepek. Makan sambil duduk."

Abidzar nyengir mendengar teguran ibunya. Dia menuruti instruksi sambil menggendong Kautsar. Suci menggelengkan kepala, melihat sikap si sulung.

"Sudah dewasa, kok, masih diingatkan terus," tukasnya.

"Tau tuh, Bang Abi. Padahal, sudah masuk usia nikah. Harus siap jadi kepala keluarga," komentar Safiqah.

"Astagfirullah! Aku belum 20 tahun!" Abidzar memekik, kesal dengan godaan adiknya nomor tiga.

"Kan, tahun depan 20 tahun." Adiba ikut menggoda.

"Aku mau ke Madinah!" elak Abidzar.

"Bisa sambil nikah." Kedua adiknya makin gencar.

"Diba, Fiqa, jangan digoda terus abangnya," tegur Suci.

Kedua remaja putri itu menurut meski masih menggoda lewat kerlingan mata dan cekikikan. Abidzar hanya memutar kedua mata dan beranjak kembali ke ruang tengah.

Suara mobil masuk ke halaman membuat anak beranak itu memekik kegirangan. Haris dan Fatih lebih dulu berlarian keluar, sedangkan Suci buru-buru menyelesaikan pekerjaan. Hanya Abidzar yang mengerutkan kening karena suara mobil itu asing di telinganya.

"Abah pulang dengan siapa? Itu bukan suara mobil pondok, deh," gumamnya seraya mengikuti langkah kedua adik laki-laki.

Abidzar, Adiba, dan Safiqa menghentikan langkah saat melihat Ustaz Arya datang bersama seorang wanita yang tidak mereka kenal. Yang membuat heran, tangan Ustaz Arya saling bergenggaman dengan perempuan berniqob itu. Wajah kedua anak perempuan tersebut langsung siaga.

"Abah pulang ... Abah pulang! Lho, ini siapa?" Fatih langsung berhenti, begitu menyadari kalau ayah mereka tidak datang sendiri.

"Alhamdulillah, Abah sudah sampai rumah dengan selamat. Mau ... lho, Abah datang sama siapa?" Suci yang menyusul pun diam terpaku. Dia memandang heran ke pertautan tangan suaminya dengan wanita asing itu.

"Ummah harusnya menyambut kedatangan suami tanpa banyak tanya," tegur Arya. Suaranya lembut, tetapi menusuk hati.

Suami Suci tidak pernah menegur di hadapan orang lain, bahkan di depan anak-anak. Baru pertama kali ini terjadi. Suci memilih diam dan menundukkan kepala. Dia berencana untuk membicarakan ini saat hanya berdua.

"Abah mau mandi dulu atau langsung makan? Pasti capek, ya? Istirahat dulu di kamar." Semua tawaran Suci hanya disambut dengan gelengan kepala dari Arya.

"Abah hanya sebentar di sini. Ada yang ingin disampaikan pada Ummah." Perkataan suami membuat Suci makin mengerutkan kening.

Suci dan anak-anak duduk dengan perasaan heran di dalam hati. Yang menambah penasaran, wanita asing itu duduk rapat di dekat Arya. Safiqa ingin menegur, tetapi Adiba menahannya. Suci pun menunggu, sebelum bersikap lebih jauh.

"Kenalkan, yang di sebelah Abah adalah ibu kedua kalian." Arya menatap anak-anak, tetapi tidak sekali pun melihat ke arah Suci.

"Assalamu'alaikum. Panggil Ummah dengan Ummah Hana." Suara wanita itu lembut, tetapi terasa menusuk hati Suci.

"Abah, kenapa tiba-tiba menikah lagi, tanpa izin dari Ummah?" Suci susah payah menyelesaikan perkataan.

"Ummah, laki-laki berhak menikah lagi, tanpa harus ada izin dari istri," tukas Arya, kali ini memandang Suci tajam.

"Setidaknya ada pembicaraan sebelum menikah." Suci masih berusaha mengungkapkan isi hati.

"Kenapa harus ada pembicaraan? Memang, apa hak Ummah melarang Abah menikah lagi?"

Perkataan Arya membuat tubuh Suci bergetar. Adiba dan Safiqa bergegas memeluknya. Abidzar langsung membawa ketiga adiknya yang kecil masuk ke kamar. Laki-laki yang mulai dewasa tersebut menahan diri untuk tidak meledak.

Ibunya selalu mengajarkan sopan santun kepada yang lebih tua, semarah apa pun dia. Meski tangan gatal ingin menyerang ayahnya, dia tak mampu melakukannya. Lelaki muda itu menangis di kamar sambil memeluk ketiga adiknya yang hanya bisa menatap kebingungan.

Suci menangis. Suaminya dengan kejam memberitahukan doktrin tentang hak laki-laki untuk menikah lagi meskipun istri keberatan. Wanita kedua bernama Hana itu duduk diam dengan punggung tegap. Sorot matanya terlihat dingin, tanpa merasa bersalah.

"Ummah ingat, Surat An-Nisa ayat tiga menjelaskan, syariat membolehkan Abah punya istri lebih dari satu." Arya terus bicara, membuat hati istri sahnya tersayat-sayat.

"Dan jika ... jika ... kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap ... perempuan yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Ummah hafal arti surat itu, Abah." Suci sedikit tergagap saat menguraikan ayat. Lantas, dia mendongak kepada suami dan istri barunya.

"Ada syarat adil di ayat itu, Abah." Suci berusaha mengingatkan.

"Abah pasti adil," tukas Arya, arogan.

Suci tidak mampu lagi mendengar kelanjutan perkataan suaminya. Dia sangat terkejut dengan situasi yang serba mendadak ini. Suami datang membawa istri baru, tanpa ada pembicaraan yang mengawali. Tanpa ada perkenalan sama sekali.

"Abah akan mabit selama satu minggu ke depan di tempat Ummah Hana." Seakan tidak peduli dengan tangisan Suci, Arya menggandeng tangan istri barunya. Setelah mengucapkan salam, keduanya meninggalkan rumah.

"Ummah! Ummah!" panggil Safiqa saat merasakan ibunya terkulai di pelukan.

"Abang! Abang!" Adiba berlari mencari kakak tertuanya.

Suci tidak sadarkan diri. Ibu enam anak itu pasti syok dengan kehadiran wanita penyelinap di rumah tangganya.

Air Mata SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang