Hidup Suci seketika hancur. Suami yang sangat dia cintai menikah lagi, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Bahkan, lelaki itu pergi begitu saja setelah mengabarkan berita yang menyakiti hatinya, tanpa mau mengerti bahwa dia perlu dihibur.
Adiba dan Safiqa tidak beranjak dari ibunya yang sudah dibaringkan di ranjang kamar oleh Abidzar. Si sulung sibuk mengurus adik-adik yang lain. Kedua perempuan remaja itu sibuk memijat tangan dan kaki ibunya. Suci terlihat seperti raga tak bernyawa.
"Apakah surga ini akan hilang?" Kedua putri mendengarkan keluhannya, tetapi tak mampu menjawab.
"Apakah cinta Abah kalian sudah hilang untuk Ummah?" Suci terus meracau, membuat keduanya makin miris.
"Sudah, Ummah. Istighfar, yuk," bujuk Safiqah.
Suci masih menangis, meratapi nasib. Meski istighfar terucap dari bibir, hati tetap terasa sesak. Jiwanya seperti dicabut paksa, keluar dari diri yang ringkih. Badan pun seperti tidak ada tenaga, bahkan sekadar untuk minum.
"Mengapa Abah menikah lagi? Apa kurangnya Ummah?" Suci masih terus meratapi hidupnya yang tiba-tiba berubah.
Adiba berinisiatif menenangkan ibunya dengan melafalkan Surat Al-Insyirah. Dengan suara merdu, anak kedua Suci memperdengarkan surat ke-94 dalam Al-Qur'an. Safiqah ikut melafalkan sambil terus memijat lengan ibunya. Rumah terasa sejuk dengan kumandang suara hafalan keduanya.
"Fa inna ma'al usri yusra," ucap Adiba. Tangannya tidak henti memijat lengan sang ibu.
Maka sesungguhnya, beserta kesulitan ada kemudahan, kata Suci dalam hati.
"Ya Allah ... tolong berikanlah kemudahan setelah berlalunya kesulitan ini," harapnya.
Kedua putri berulang-ulang membaca Surat Al-Insyirah sampai ibu mereka memejamkan mata. Adiba mengucapkan doa tidur di telinga kanan ibunya, lantas membaca ayat kursi di telinga kiri. Tidak lupa, dia mengecup kening Suci, cukup lama.
"Semoga besok Ummah kuat dan menerima keadaan." Adiba mengungkapkan harapan.
"Amin," sambut Safiqa.
"Yang kuat, Ummah. Percayalah pada janji Allah untuk orang-orang beriman dan sabar." Adiba membenahi selimut Suci, kemudian mengajak adiknya keluar dari kamar.
Mereka bergabung dengan Abidzar yang duduk di ruang tengah. Laki-laki muda itu sengaja menunggu setelah menemani ketiga jagoan kecil tidur. Tanpa kata, ketiganya duduk menyandar di punggung sofa, berbagi kesedihan milik sang ibu.
Ruangan senyap karena mereka masih sibuk dengan pikiran masing-masing, menelaah kembali kejadian yang datang mendadak. Ayah mereka datang, merusak surga kecil milik keluarga. Perempuan kesayangan mereka terpuruk, bahkan tanpa bujukan sang imam.
"Aku mau izin, nggak balik ke pondok sementara." Abidzar mengambil keputusan.
"Aku juga, mau memenin Ummah," timpal Adiba.
"Aku ...." Safiqa menggantung perkataan.
Dia sedang persiapan untuk setoran hafalan juz 20 sampai akhir. Maka, bimbang melandanya.
"Besok kamu tetap kembali ke pondok. Doakan Ummah baik-baik saja." Abidzar memberi keputusan untuk adik ketiganya.
"Tapi, gimana dengan Ummah?" Safiqa bimbang.
"Ada Abang dan Kakak," sahut Adiba.
Ketiganya sepakat. Adiba dan Abidzar akan bergantian menemani Suci. Safiqa kembali ke pondok, menyelesaikan tugas hafalan. Rencananya, kedua anak tertua Suci akan menemani sampai Arya kembali. Mereka khawatir jika sang ibu belum stabil untuk mengurus tiga adik kecil mereka.
Perkiraan mereka ternyata tepat. Sudah masuk hari kelima, Suci masih belum baik-baik saja. Ibu mereka lebih banyak melamun, menangis, bahkan tidak peduli saat Kautsar mendekat dan meminta perhatiannya.
"Duh, untung Kautsar sudah nggak nyusu," gerutu Adiba seraya membuatkan si bungsu susu dalam botol.
"Sabar. Anggap saja kita lagi ngasuh bayi besar," hibur Abidzar.
"Tau nggak sih, Bang, tadi Ummah marah-marah saat Kautsar naik ke pangkuannya." Adiba mengadu. Bukan karena membenci Suci, tetapi ingin berbagi kepenatan dengan abangnya.
"Ummah-mu seperti itu?"
Kedua kakak beradik itu saling berpandangan. Mereka membalikkan badan dan kaget melihat kehadiran Arya dan istri barunya. Sang ayah lekat melihat mereka.
"Benar, kan, Ustazi. Ini yang Ummah takutkan." Suara Hana membuat Adiba kesal.
"Untung kita ke sini, Ummah," sahut Arya.
"Abah, Ummah sedang sakit." Abidzar masih coba bicara dengan nada santun meski kemarahan sudah sampai ke ubun-ubun.
"Sakit hanya dibuat-buat!" tukas Arya, membuat kedua anaknya terperangah.
"Sudah lima hari Ummah sakit, Abah." Adiba mengulang kembali perkataan abangnya. Namun, Arya tetap bergeming.
"Kalau Ummah Suci sakit, biar Haris dan Fatih tinggal dengan saya dulu, Zauji." Hana memberikan usul yang membuat kedua anak tertua itu terperangah.
Mereka tentu saja tidak terima. Hana orang baru. Masuk pun dengan tanpa disangka-sangka. Karena alasan itu, Adiba langsung maju.
"Ummah-ku sakit karena kehadiran Anda. Lalu, apa hak Nyonya membawa adik-adik saya?" Suaranya masih diusahakan tenang, tetapi wajah marah tidak bisa disembunyikan.
"Adiba! Yang sopan jika bicara dengan ummahmu," tegur Arya. Tangannya menggapai Kautsar yang sedang dalam gendongan Adiba.
"Ummah-ku ada di kamar. Bukan yang ini!" Adiba menunjuk ke arah Hana dengan tatapan benci.
"Abah, jangan!" Abidzar langsung berdiri di depan adiknya dengan punggung menghadap Arya. Dia menghalangi orang tua laki-lakinya yang akan menampar Adiba.
"Jangan marah pada Diba, Zauji. Dia hanya ingin jadi anak yang berbakti." Hana bicara dengan lemah lembut. Tangannya menahan lengan Arya. Namun, kakak beradik itu tidak mendengar adanya ketulusan."Abah, Ummah sedang sakit. Bisakah Um ... Ummah Hana pergi dulu dan Abah di sini?" Abidzar menyela dengan suara santun.
Dia tahu, harus merendah kepada ayahnya. Saat ini laki-laki yang selama 19 tahun membersamai tumbuh kembangnya sedang dimabuk cinta. Jadi, percuma marah kepada Hana. Hanya suara istri kedua yang akan didengarkan.
"Tapi, Abah masih sehari lagi mabit di rumah ummah kalian," bantah Arya.
"Um ... Ummah Hana, boleh ya Abah mempercepat jatah mabit Ummah kami?" Abidzar tahu, lebih baik menundukkan hatinya kepada Hana.
"Boleh saja. Tapi, ada syaratnya," jawab Hana, membuat Adiba berdecak kesal.
"Syaratnya apa, Ummah?" Abidzar menekan emosi demi abahnya menemani sang ibu.
" Fatih dan Haris ikut Ummah." Lantang, Hana menyatakan persyaratan.
Abidzar menundukkan kepala, sedangkan Adiba sudah ingin mengamuk. Tangan Abidzar menggenggam kepalan jemari adiknya. Arya berdecak kesal, lantas memanggil kedua anak laki-laki kecilnya.
"Abah yang berhak memberi keputusan. Haris dan Fatih ikut Ummah Hana dan kalian ... kembali ke pondok." Arya berkata, tanpa memedulikan penolakan kedua anak sulungnya.
"Tapi, Abah sama Ummah, ya?" Abidzar masih menawar.
Mereka akhirnya mencapai kesepakatan. Arya tetap di rumah bersama Suci. Hana membawa Haris dan Fatih, sedangkan Abidzar dan Adiba saat ini juga ke pondok masing-masing. Kedua adik laki-laki Abidzar tentu saja bersedia ikut dengan Hana. Apalagi, mereka dijanjikan akan jalan-jalan ke Gembiraloka oleh istri kedua Arya. Setidaknya, Abidzar dan Adiba lega. Sang ibu bisa melepas rindu dengan ayah mereka.
"Abah, surgaku! Akhirnya datang pada Ummah!" Suci langsung menghampiri dan memeluk Arya saat pintu kamar terbuka.
Arya menghela napas panjang. Enggan hatinya membalas pelukan istri pertama. Laki-laki yang menuju setengah abad itu tahu, hatinya tidak lagi ada kepada Suci. Kini surga hatinya adalah Hana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Air Mata Surga
SpiritualKehidupan Suci yang yang tenang jadi berubah saat suaminya yang biasa dipanggil Ustadz Arya menikah lagi. Bukan masalah poligami yang hidupnya menjadi kaca balau. Namun, kehadiran Hana-nama istri kedua Arya-menghancurkan keluarganya. Suami lebih ser...