Bab 1

3 0 0
                                    


[Nduk, aku mau matur sama Abah Yai, minta kamu jadi istriku.]

Seketika itu jantungku serasa copot. Pesan WA dari kang Badrus membuatku terkesiap kaget. Aku menepi dan duduk di sisi ranjang. Menyelonjorkan kaki lalu mengambil bantal. Hatiku berdebar-debar, kubaca berulang-ulang pesan dari Kang Badrus tersebut. Aku bingung harus balas apa.

Pantas saja sehari sebelum datang masa liburan, dia ngeyel minta nomer WhatsAppku. Aku enggan, aku berkali-kali menolak karena tidak suka menyimpan kontak laki-laki. Tapi karena dia memakai alasan dengan dalih Mbah Nyai yang sak wayah-wayah minta aku menemaninya, maka dengan sedikit berat hati aku memberikan nomer kontakku kepadanya.

Liburan pesantren tinggal beberapa hari lagi. Ini artinya tidak lama lagi aku akan sering melihat wajah Kang Badrus di ndalem selatan. Ndalem selatan adalah ndalem yang di tempati Mbah Yai Maksum bersama istrinya Mbah Nyai Fatimah. Kami sama-sama diutus menjadi abdi ndalem di sana, bedanya aku bagian mengurus rumah sedangkan Kang Badrus di tempatkan sebagai sopir yang siap sedia.

Ndalem selatan lebih tepat di sebut sebagai rumah besar, karena rumah tersebut sering menjadi jujugan tempat berkumpulnya keluarga dan sanak saudara. Rumahnya adem dan nyaman. Di atas ambang pintu ndalem terdapat ukiran kaligrafi yang berlafad baiti jannati yang berarti rumahku adalah syurgaku. Ketika di ruang tamu mata kita akan dimanjakan dengan koleksi kitab-kitab Mbah Yai yang ditata rapi di atas lemari jati.

Dan, di ndalem inilah aku sering melihatnya, melihat Kang Badrus dengan segala sifat dan tingkah polanya.

Aku sering mengulum senyum kepada Kang Badrus saat pandangan kami tidak sengaja bertemu di ndalem selatan, saat aku menyapu pelataran dan ia sedang bersiap akan mengantarkan Mbah Yai mengisi pengajian. Aku sering ngeyel saat aku butuh penjelasan pelajaran dan dia abai, cuek dan dingin, padahal dia sangat pintar, aku tahu dia senang melihatku sebal. Aku sering berceletuk, membenarkan lalaran Al-qur'annya saat dia terlupa. Aku sering mengatainya seperti ini, "Sampeyan puantes pol nikah sama bagian keamanan yang judes-judes itu, ayo milih sopo, Mbak Naya, Mbak Saidah atau Mbak Ainul?"

Dia juga sering memberiku tempe jatahnya ma'em sore di ndalem selatan, karena dia tahu aku suka makan. Dia tidak pernah membalas kejailanku, karena aku tahu dia menganggapku adiknya tersebab aku yang 5 tahun lebih muda darinya. Dia hampir menjawab semua pertanyaanku kalau yang kutanyakan itu tentang risalatul mahid. Dia yang selalu memberiku semangat saat aku mulai lengah belajar ilmu nahwu yang menurutku sangat sulit itu. Dia sering berkata, " Anak yang cerdas lahir dari Ibu yang cerdas, semangat!" Lalu aku membalasnya dengan tatapan judes.

Kusangka hal ini tidak akan berdampak apa-apa, ternyata aku salah. Hari ini rabu pagi, aku dibuatnya kaget tidak terkira. Debaran jantungku rasanya mau copot saja, satu dua kata berkali-kali kuketik lalu kuhapus dengan jemari bergetar.

[Salah kirim, nggeh?]

Kirimku tanpa pikir panjang. Tidak lama tanda centang dua berubah biru, di sana Kang Badrus sedang mengetik.

[Laopo salah kirim barang. Aku kadung jatuh cinta sama kamu dan kamu harus mau.]

Balasnya cepat membuatku makin ketar-ketir.

[Ini namanya pemaksaan.]

[Kalau aku sudah sowan sama Yai kamu bisa apa?]

Sekali lagi, aku bingung mau membalasnya apa.

Di sana Kang Badrus mengetik lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TERNYATA (Cinta Jalur Langit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang