"Liebchen, Keluarga kita sudah saling mengenal, kita dijodohkan, dan kita jatuh cinta dengan sendirinya. Aku senang menjadi seseorang yang bisa mencintai dan dicintai kamu dengan perasaan yang sama. Aku beruntung bisa kembali bertemu denganmu di kehidupan sekarang dan aku ingin bertemu denganmu lagi di kehidupan selanjutnya sembari memuji betapa cantiknya kamu, seperti sekarang. Aku ingin melakukan banyak hal denganmu, namun sekarang aku senang dan bersyukur sekali bisa mengobrol denganmu setiap malam antara Jakarta dan Munich. Terima kasih, ya, kamu sudah datang ke hidupku dan meyakinkan aku bahwa tinggal di Jakarta tidak semenyeramkan pikiranku. Terima kasih, ya, kamu sudah datang juga ke hidupku dan meyakinkan aku bahwa aku harus menjadi dokter. Banyak terima kasih kuucapkan karena kehadiranmu ke dunia membuat orang-orang di sekitarmu bahagia, termasuk aku."
Fabian merogoh isi tas biru navy yang ia bawa. Ia mengeluarkan sebuah kotak kulit berwarna merah dengan aksen emas pada pinggirannya. Jemarinya langsung membuka kotak tersebut dan menampilkan cincin berlian, Cartier Solitaire 1895, yang ia beli untuk melamar orang terkasih, "happy birthday."
"HAHAHAHA KOK HAPPY BIRTHDAY?!?!"
"YA ALLAH." Fabian tersenyum sembari tertawa nervous saat menyadari dirinya gemetar. Sura tetap memandanginya dengan mata yang berbinar.
"Tarik nafas, hembuskan."
"Ok."
Saat Fabian merasa dapat mengontrol dirinya, ia kembali melihat Sura. Selalu saja ia dapat melihat Fabian dan reaksinya tanpa mengedipkan mata—bukan hal yang menyeramkan, tenang saja. "Nayantara Sura Ramadhanty, Menikahlah denganku."
"Fabian Hafiyyan, apa kamu sedang melamarku?!"
"Iya! Aku sedang melamarmu."
Mata Sura terlihat berkaca-kaca dan berteriak dengan senang dalam hati. AKU BENAR-BENAR BAHAGIA. Cinta pertamaku benar-benar melamarku dengan cara yang aku inginkan—dia tahu persis bahwa aku ingin buket bunga yang indah (yang bukan mawar merah) dan cincin yang cantik. Namun, orang yang melamarku adalah Fabian Hamish Hafiyyan—orang yang akan dengan senang hati kuceritakan segalanya (dia sudah tahu banyak tentangku dan sebaliknya). Dia juga orang yang paling tulus dan jujur. Meskipun dulu aku selalu berpikir bahwa aku akan hidup sendiri, namun dulu ia datang ke Oslo untuk mengajakku berpacaran dengannya. Sekarang, ia ikut aku ke London lalu mengajakku untuk menikah dengannya. Memang kita juga dijodohin oleh keluarga, namun aku tidak berekspektasi dia membuatku dicintai tanpa merasa terbebani dengan perjodohan ini—bahkan aku sering melupakan fakta itu. Benar-benar kita mencintai dengan cara yang murni. Cara Fabian mencintai dan menganggapku ada juga menjadi penambah opsi pilihanku untuk melanjutkan hidup: 1) menikah dengan Fabian atau 2) tidak sama sekali. Karena untuk orang sepertiku, Fabian melengkapi mimpi indahku saat aku melepaskan mimpi-mimpiku yang dahulu.
"Woooo yes, of course!!" Sura menjawab dengan antusias dan Fabian mengenggam jemari gadis itu untuk memakaikan cincinnya. "Thank you."
"Aku yang berterimakasih, Liebchen. Sekarang kita bisa mulai mencari WO, mencari venue, mengurus dokumen, mencari pengacara, membuat list undangan, konseling pranikah, medical check up, dan lain-lain. Ya Allah, aku benar-benar senang!!"
"AKU JUGA! Aku senang dan aku juga seperti lemas, tapi aku senang banget."
"IYAAA!!"
"Waaaah, tapi tampaknya kamu sudah siap menikah. Kamu tahu banyak," goda Sura saat mendengar kalimat Fabian barusan. Benar-benar detail.
Tentu saja Fabian tahu banyak. Sebelumnya, mereka sudah membicarakan banyak hal tentang pernikahan melalui sambungan telepon saat menjalani hubungan jarak jauh. Beberapa kali pembahasan pun sudah terlihat bahwa pandangan mereka soal pernikahan dan berkeluarga dan banyak jawaban mereka yang mirip-mirip. Misalnya bahasa yang digunakan, bagaimana cara mengelola keuangan, sekolah apa yang akan dipilih untuk anaknya kelak, hingga memilih menggunakan asisten rumah tangga yang harian atau tidak sama sekali.
![](https://img.wattpad.com/cover/350823005-288-k27872.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Great Chances
Romance[SUDAH SELESAI. VERSI FULL DENGAN CHAT, TWITTER, DAN DESAIN ADA DI TWITTER/X] A German-Indonesian conglomerate heir, Fabian Hamish Hafiyyan, should encourage his parents to support his dream of being a pediatric surgeon, like his father and grandfat...