Rindu

65 5 0
                                    

Ketika terselimuti perasaan rindu yang tak tertahankan.

Yang palingku nanti darimu adalah pertemuan.


Suasana jalanan saat ini terlihat cukup ramai, ada beberapa orang terlihat lalu-lalang di depan rumah bernuansa modern itu. Cuaca sedikit dingin di luar, hujan baru saja turun. Seorang pria duduk di balkon sendirian menatap kosong ke arah trotoar dari atas balkon, di temani segelas espresso dan cheese cake. Mingyu menyesap espressonya dengan tenang, cairan kental dan pahit itu menyapa indra pengecapnya. Pahit, sama seperti cerita hidupnya.

"Hei bukankah aku sudah bilang jangan minum kopi ketika kau sedang sedih"

Hentikan. Mingyu ingin melupakan suara itu, dengan tidak adilnya terus menerus berputar bagai rekaman rusak di otaknya. Rasa kopi itu sama seperti kenangannya, hidupnya, bahkan harapannya yang kemarin. Mingyu sudah berjanji, dia tidak boleh bersedih lagi, tidak boleh terpuruk lagi, berhenti melakukan hal bodoh lagi, berhenti menangis, berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Rindu, Mingyu hanya terlalu merindukan. Terlalu menyesal, tapi sudah tidak ada gunanya lagi.

"Mingyu suka cheesecake, jadi aku membelikan ini untukmu. Ayo kita makan bersama!"

Mingyu melirik cheesecake dihadapannya enggan, untuk apa dia memesan kue itu. Bukan dia yang selalu memesan makanan lembut ini, Mingyu sering menerima, bukan membelinya sendiri, bahkan Mingyu sangat senang ketika dia mengajak Mingyu untuk membuat cheesecake bersama. Tangan kurus kesukaan Mingyu akan menyuapinya ketika mereka sudah selesai membuat benda manis itu.

Tidak manis. Mungkin menurut orang lain makanan itu tidak bersalah, hanya Mingyu saja yang tidak bisa merasakan kemanisan makanan lembut itu lagi. Rasanya tidak semanis kemarin, tidak sebahagia kemarin, tidak seindah kemarin. Tangan Mingyu mengepal kuat, memejamkan mata sambil tersenyum menikmati rasa manis yang tak bisa ia rasakan lagi. Rindu, Mingyu terlalu merindu.

Padahal kemarin ia baru saja akan kembali, pulang kerumahnya. Namun sekarang sia-sia, dia sudah bukan milik Mingyu lagi, dia sudah pergi. Mingyu hanya pergi sebentar, Mingyu tau dia sudah jahat, tak apa jika Mingyu tak di maafkan, ia rela. Mingyu juga tau perasaannya ini salah, tapi Mingyu sudah terlanjur mencintai. Pemuda yang selalu membantunya, memberikan semangat, yang selalu berteriak ketika Mingyu tak ingin mematuhi perintahnya. Pemuda yang baik, manis, ramah, orang yang selalu Mingyu datangi ketika sedang tersesat. Mata rubah kesukaan Mingyu, tawa manis kegemaran Mingyu, dan sifat terus terang yang sering membuat Mingyu jengkel, semua yang ada di pemuda itu adalah favoritnya.

***

Sudah hampir pukul tiga pagi. Mingyu tidak bisa tidur. Tangannya terus memegang kertas persegi di depannya. Indah, begitu anggun. Apakah motif rubah manis ini adalah pilihannya? Ah tidak mungkin, dia selalu mengikuti keinginan orang lain. Ayolah kapan Mingyu melihatnya melakukan kehendak sendiri kecuali demi kepentingan orang lain. Kertas persegi berwarna biru itu seakan mengejeknya, menghancurkan harga dirinya, mengoyak hatinya.

"Ah apa Hyung sudah mengerti soal perasaan? Kenapa Hyung ingin menikah lebih dulu dariku" bibirnya berdecih tak suka.

Tertulis jelas nama yang selama ini Mingyu panggil ketika pagi hari. Nama yang sangat ia rindukan, Jeon Wonwoo. Di sebelah namanya juga tertulis jelas nama sang pengantin wanita.

Undangan pernikahan. Mingyu mengigit bibir bawahnya, lagi-lagi menutup matanya.

"Kenapa berwarna biru? Itu warna kesukaanku. Kau tidak adil Hyung, kenapa tidak namaku saja yang ada disini, bukan orang lain"

"Kau bodoh? Mana mungkin aku menjadi pengantinmu, aku ini laki-laki."

Mingyu terkekeh geli, ia sedang menebak-nebak apakah Wonwoo akan mengatakan hal itu padanya. Apa Wonwoo akan terus mengatai Mingyu bodoh lagi.

Minwon Short Collection | MeanieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang