7. Rutinitas

3K 340 43
                                    

Setelah hampir 3 bulan ini rutin menjalani konsultasi dan kontrol untuk program kehamilan, akhirnya baik Shani maupun Gracia sepakat untuk melakukan inseminasi buatan di dalam rahim perempuan yang sudah 10 menit ini sumringah sendiri.

Selama jangka waktu itu juga Shani dan lagi lagi Boby—melakukan seleksi ketat untuk cikal bakal sperma yang nantinya akan digunakan dalam tindak inseminasi tersebut. Status sosial bukan menjadi urusan selama memang sosok yang dimaksud mampu lulus medical checkup tanpa catatan apapun dari dokter.

Berkat hal tersebut pula maka untuk pertama kalinya Shani merasa sangat sehati dengan si ayah mertua. Keduanya berdiskusi pagi, siang, sore, malam dengan sangat intens terkait daftar kandidat yang ada.

Gracia? Oh, dia sih sibuk ngemil buah sambil tamatin series Netflix. Kepalanya sudah cukup ngebul tiap kali mendengar betapa selektifnya dua orang yang tumben akur itu.

"Minggu depan kita ketemu lagi untuk proses inseminasinya ya, Bu Gracia. Bu Shani." Seorang dokter kandungan dengan kemeja polos berwarna sage itu tersenyum hangat. "Tapi semisal minggu depan Bu Gracia flek pre-menstruasi, tolong langsung berkabar ke rumah sakit ya biar kita reschedule ke bulan depan di tanggal kesuburan lainnya."

"Baik, dok. Semoga bisa dilakuin di bulan ini ya." Ucap Gracia penuh harap.

"Amin." Dokter Hanna mengusap tangan Gracia yang ada di atas meja. "Istirahat yang cukup ya, Bu. Pola makannya tetap dijaga seperti sekarang. Nurut juga sama Ibu Shani."

"Tuh, Ge. Nurut."

"Diem. Kamu gak diajak."

"Nah! Kan, dok—susah banget dibilanginnya ini anak satu."

"Ibu Shani juga harus sabar. Nanti kalau Bu Gracia udah beneran hamil, mood-nya bisa jadi lebih naik turun lho."

"Tuh, dengerin, Bu Shani. Jangan marah-marah mulu, Bu Shani. Sabaaaarrr..." Sahut Gracia sambil mengusap dada Shani, membuat sang empunya mencebikkan bibir.

"Ya udah deh, dok. Saya sama Gracia pulang dulu—oh iya, berarti minggu ini udah gak dapet vitamin kan?"

"Enggak, Bu. Sudah tinggal jaga kondisi fisik aja untuk tindakan minggu depan."

"Baik. Makasih, dokter Hanna."

"Terima kasih ya, dok."

"Dengan senang hati, Bu Shani. Bu Gracia."













.

.

.

.

.













"Ci—"

"Stop calling me ci. Aku gak mau anak aku nanti kalau ditanya siapa nama Bundanya malah jawab ci Shani Indira Adishree."

Gracia tertawa kencang. Suapan buah semangkanya tertunda karena gemas melihat wajah dongkol Shani di balik kemudi.

"Maaf ya, Shani. Akunya masih belum kebiasa." Tangannya menyuapkan potongan buah yang sengaja dibawa dari rumah itu ke dalam mulut sang istri. Hitung-hitung sebagai strategi untuk meminimalisir celotehan berikutnya.

"Hm... Ya..." Jawabnya di tengah kunyahan yang cukup memenuhi mulut. "Tadi mau ngomong apa?"

"Besok kamu flight jam berapa? Dijemput siapa di Soetta?"

"Flight-nya jam sepuluh siang, tapi kayaknya gak ada yang jemput deh. Soalnya Mama bilang lagi rame di butik."

"Mau aku minta tolong ke Papa?"

Adishree (Aimílios/αιμίλιος 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang