Sebuah sepeda mini warna peach melaju santai diiringi nyanyian lembut angin pegunungan. Melintasi jalan lengang yang diapit hamparan hijau kebun teh. Tas selempang berbahan kanvas motif garis-garis, serta beberapa rol kertas karton terongok dalam keranjang depan sepeda. Tak banyak kendaraan yang berpapasan dengannya.
Gadis remaja berseragam putih abu-abu berlapis sweater rajut biru Dongker sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah. Kedua tungkainya yang jenjang terus mengayuh pedal sepeda dengan napas terengah. Senyum tipis melekat pada bibir ranum itu. Dia tidak pernah bosan pada pemandangan sepanjang jalan. Daun-daun Pinus yang memayungi menebarkan aroma segar.
Enam tahun berlalu. Winarti tumbuh menjadi gadis belia yang cantik dan cerdas. Sekarang dia sudah duduk di bangku kelas 12, sebuah sekolah favorit. Meski harus menempuh jarak yang cukup jauh, Winarti meyakinkan ibu bahwa dia mampu. Hanya butuh sebuah sepeda untuk menemaninya ke sekolah.
Dari kejauhan Winarti bisa melihat bukit-bukit berselimut awan tipis serta perkampungan yang tampak asri pada dataran yang lebih tinggi dari jalan. Rumah penduduk saling berjauhan. Sebagian rumah menyediakan kamar kosong yang bisa disewa wisatawan.
Hawa pegunungan yang sejuk berpihak pada Winarti. Matahari bersinar lembut hingga tubuhnya tak banyak mengeluarkan keringat. Setiap melewati jalan menanjak Winarti harus mengerahkan usaha lebih keras, menginjak pedal sepedanya penuh tenaga. Setelah itu sepeda akan meluncur bebas tanpa perlu dikayuh lagi. Saat jalanan benar-benar sepi, dia akan berteriak lepas, bahagia.
Gerobak jagung bakar di bawah rindang pohon jati sudah terlihat. Winarti ingin singgah sebentar ke sana sebelum pulang. Mumpung masih ada sisa uang jajan. Beberapa orang tampak duduk pada bangku panjang. Tak jauh dari situ terlihat pula pangkalan ojek.
Ciiit! Rem sepeda Winarti berdecit saat berhenti di depan pedagang jagung.
"Jagungnya yang super pedas satu, ya, Mang!" pinta Winarti, pada pemilik gerobak.
"Siap, Neng!" Lelaki paruh baya itu tersenyum ramah, mengoleskan lebih banyak bumbu warna merah ke salah satu jagung untuk langganannya.
Winarti menunggui jagungnya dibakar sampai matang, lalu duduk di pojok kursi panjang yang tersedia. Tersisa dia dan satu pemuda di sudut berbeda. Beberapa orang langsung pergi setelah jagung pesanan mereka selesai dikemas.
Menikmati jagung bakar hangat, manik hitam Winarti berpendar. Dia tidak melihat keberadaan Lia. Gadis seumuran Winarti itu juga tinggal di Losmen Kembang Kuning. Tapi, beda sekolah. Nilai Lia tak mampu menembus sekolah favorit seperti Winarti.
Pemuda jangkung yang sedang duduk sendirian seolah memiliki magnet tersendiri bagi Winarti. Wajah tampan dengan hidung tinggi serta rahang tegas. Sepasang mata hazel beserta bulu-bulu alis yang hitam tebal, menyatu ke pangkal hidung layaknya burung elang yang sedang menukik. Jaket Hoodie hitam memberikan kesan misterius.
Tanpa sadar Winarti terus memperhatikan pemuda itu. Sama dengan Winarti dia pun sedang menikmati sebuah jagung bakar. Namun, tampaknya tidak benar-benar fokus menikmati jagung. Tatapan dingin itu selalu tertuju ke jalan di sana. Sebuah portal menuju Losmen Kembang Kuning.
Winarti mendesah kecewa kemudian meniup poni sendiri hingga berhamburan. Dirinya menyayangkan pemuda setampan itu ternyata tertarik juga pada Losmen Kembang Kuning. Otak laki-laki ternyata sama saja.
Sampai jagung di pegangan tinggal rangka, batang hidung Lia yang ditunggu tidak terlihat. Sepertinya gadis itu sudah pulang lebih dahulu tanpa menunggu Winarti. Tangkai jagung dilempar ke dalam keranjang sampah, lalu dia berdiri dari bangku sembari merogoh kantung jaket.
"Haiss!" Wajah Winarti sontak berubah tegang.
Kedua tangan meraba-raba seluruh saku pada tubuh. Selembar uang sepuluh ribuan yang harusnya ada tidak ditemukan. Saku jaket maupun saku baju seragam kosong, padahal tidak ada yang bolong. Gawat!
KAMU SEDANG MEMBACA
LOSMEN KEMBANG KUNING
HorrorSebuah rumah bordil berkedok losmen di kawasan wisata. Winarti mau tak mau ikut tinggal di sana.