chapter 2

841 129 18
                                    

"Mama, kapan Teo bisa berjalan lagi?"

"Kapan Teo bisa sekolah lagi?"

"Mama sampai kapan Teo harus merasakan sakit ini?"

"Kapan kita bisa berlibur ke tempat yang jauh bersama papa?"

"Kapan Teo bisa lepas dari kursi roda ini?"

Itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang sering sekali muncul ketika Teo tengah berjuang di ruang kemoterapi.

Haechan yang menemani bocah kecil itu tak bisa menjawab banyak. Ia hanya bisa mengatakan nanti nanti tanpa tahu pasti.

Saat ini sudah memasuki waktunya Matteo untuk kemoterapi. Dokter yang menangani Matteo tadi sempat meminta Haechan untuk bertemu dan membahas hal penting.

"Kondisi Matteo semakin menurun. Apakah anda siap dengan segala kemungkinan terburuk?"

Dunia Haechan terasa mengambang. Ingin rasanya Haechan meneriakkan segala isi hatinya. Haechan tak ingin kehilangan Matteo. Haechan sangat mencintai anaknya itu. Sang anak yang menjadi alasan dirinya untuk tetap berdiri tegak melawan kencangnya angin egoisme dari suaminya sendiri.

"Ma..."

Suara lirih itu membuyarkan lamunan Haechan. Haechan yang tengah menemani Matteo di ruangannya itu seketika kembali ke kesadarannya setelah melamun memikirkan kondisi Matteo.

"Iya sayang?" Ujar Haechan lembut.

"Teo ingin pulang. Disini terlalu menyakitkan"

Haechan mengelus surai lembut anaknya itu "tapi pengobatannya Teo belum selesai. Nanti kalau tambah sakit bagaimana?"

Matteo menggelengkan kepalanya "lebih baik Teo tidur di rumah saja. Disini membuat kepala Teo semakin pusing"

Air mata Haechan tumpah tanpa bisa ia cegah. Apakah ini pertanda buruk?

"Mama mohon ya? Jangan minta pulang dulu. Tunggu sampai pengobatannya selesai lalu Teo bisa pulang seperti biasanya" ujar Haechan kacau karena isakannya yang tertahan.

Matteo terisak pelan "t—tapi Teo tidak suka disini mama... Teo merasa semakin sakit jika berada di sini"

Haechan kembali teringat akan pernyataan dokter yang menangani Matteo tadi.

"Kanker Matteo sudah memasuki stadium 4. Sel-sel kankernya sudah merusak jaringan sehat di sekitarnya. Itulah mengapa kondisi Matteo semakin lemah, pendengarannya menurun, penglihatannya juga. Dan jika sudah seperti ini kami tim dokter hanya bisa mengatakan jika mukjizat Tuhan lah yang paling bisa menolong Matteo karena kami hanya manusia biasa yang tidak bisa menentukan hidup dan matinya seseorang"

Hati Haechan mencelos. Sumpah demi Tuhan Haechan tidak akan siap untuk kehilangan Matteo.

"Baiklah kita pulang. Mama akan menghubungi dokternya dulu"

***



"Papa!"

Matteo yang tengah menonton film dari atas kursi rodanya itu memanggil Mark yang kebetulan lewat setelah pulang dari bekerja. Mark yang hendak menuju kamarnya itu berhenti dan menatap datar Matteo.

Matteo yang sebenarnya ingin Mark menemaninya menonton film itu seketika ciut ketika mendapati tatapan papanya amat sangat sungguh tidak bersahabat.

"Jangan membuang waktuku Matteo Lee. Cepat katakan apa maumu" desis Mark kesal.

"T—teo hanya ingin papa menemani Teo disini" lirih Matteo.

Mark mendengus "mana mamamu itu? Jangan memintaku untuk melakukannya karena aku tidak akan pernah melakukannya!"

Matteo seketika menunduk dan menyembunyikan isakannya. Rasanya sungguh menyakitkan bahkan lebih sakit dari apa yang Matteo rasakan ketika sakit kepala hebat yang menyerang kepalanya.

"Mark! Bisakah kau sedikit lebih lembut kepada Matteo! Dia anakmu!"

Tiba-tiba Haechan muncul dari arah tangga seraya membawa camilan untuk Matteo. Haechan meletakkan nampan di tangannya itu lalu menghampiri Matteo dan menarik kursi rodanya menjauh. Sungguh Haechan sudah muak dengan semua tingkah Mark selama ini. Dan ini sudah diambang batas kesabarannya.

Mark menatap malas Haechan "kenapa aku harus melakukannya?"

Haechan mendorong dada Mark dengan telunjuknya "katakan pada dirimu sendiri. Apakah harus seorang ayah melakukannya?!"

Emosi Mark tersulut ketika Haechan meledak seperti ini.

"Apakah memang keinginanku menjadi seorang ayah? Ingat Lee Haechan, bukan aku yang ingin memiliki anak darimu. Ini semua kecelakaan dan anak ini hanyalah kesalahan!"

Matteo mendengarnya dan akhirnya mengerti kenapa sang papa memperlakukan dirinya seperti itu. Karena ia memang seorang anak yang tidak diinginkan oleh ayahnya.

"Jangan anggap Matteo kesalahan Mark. Yang seharusnya disalahkan disini adalah dirimu. Kenapa harus melakukan itu disaat kau mabuk berat ketika tahu kekasihmu itu menikah dengan orang lain!" Ujar Haechan dengan deraian air mata yang tak kunjung usai.

Rahang Mark mengeras "karena aku memang mencintainya! Kau tidak pernah tahu rasanya bagaimana orang yang kau cintai malah meninggalkanmu dan membuatmu terjebak dengan orang lain!"

Haechan terkekeh getir "aku tahu. Aku amat sangat tahu Mark. Aku mencintaimu sejak awal namun kau malah mencintai dia yang baru saja hadir di hidupmu. Aku yang selalu ada untukmu ketika kau kesulitan dan ketika kau bahagia kau malah memilih Huang Renjun. Aku tahu rasanya Mark, aku tahu rasanya mencintai seseorang secara sepihak selama lebih dari separuh umurku"

Mark terdiam. Mark tidak menyangka jika Haechan teman kecilnya itu mencintainya lebih dulu.

"Dan aku lebih memilih egois ketika ibumu memintaku menjadi menantunya karena aku tahu Huang Renjun saat itu menjalin hubungan dengan seseorang di belakangmu sebelum ia dijodohkan" tambah Haechan.

"Jangan sembarangan berbicara Haechan. Renjun tidak mungkin seperti itu! Apakah kau memang hanya mengada-ada untuk mendapatkan perhatianku? Ck! Licik sekali" decak Mark.

Haechan berujar pelan "apakah aku sepicik itu di matamu? Atau kau hanya mencari-cari seseorang untuk disalahkan atas sakit hatimu?"

"Mama... Papa... Jangan bertengkar. Kepala Teo sakit" lirih Matteo.

Emosi Mark kembali terpancing melupakan eksistensi seorang Matteo yang kesakitan di tengah mereka.

"Brengsek! Jaga ucapanmu Haechan!"

Tanpa sadar Mark mendorong kursi roda Matteo yang kebetulan menghadap kearah tangga.

"MATTEO!!"

Haechan mengejar kursi roda Matteo dengan panik dan ketika tangannya hampir menggapai pegangan kursi roda, kursi roda itu sudah lebih dulu turun dan menjatuhkan Matteo dari lantai dua rumah mereka.

Haechan terjatuh di lantai ketika tangannya gagal menggapai Matteo. Haechan menangis dan turun dari tangga secara spontan lalu menghampiri Matteo yang terkapar tidak sadarkan diri.

Meninggalkan Mark yang terdiam kaku dengan tubuh bergetar hebat dan disertai dengan perasaan yang berkecamuk.



ʕ⁠´⁠•⁠ᴥ⁠•⁠'⁠ʔ

Jum'at, 08/09/2023
12:08 p.m

Mama, Does Papa Love Me? ft MarkHyuck GS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang