.
.
.Program Blue Lock telah ramai dibicarakan sejak kau masih terbaring di rumah sakit. Tidak mengherankan ketika promosi masih bertengger di beberapa papan sepanjang jalan distrik yang kau lalui saat ini. Irismu mencuri pandang pada sosok yang mengenakan syal serta jaket kulit hitam tersebut, melangkah dengan dingin, meskipun ada begitu banyak orang berlalu lalang. Bagaimana bisa kau terjebak bersama orang yang paling ingin kau hindari?
Mendekati akhir tahun, bukannya perasaan bahagia yang membuncah, tetapi malah kekesalan.
Kau berharap, sosok yang tengah bersamamu kini, segera kembali ke program nasional itu agar kau tidak mendapati kehadirannya lagi.
Dengan tangan yang menggenggam tas, Rin memperhatikan dari balik punggungmu, menunggu waktu tepat untuk mengutarakan pikirannya. Ia selalu merasa ragu, takut melukai dirimu sekali lagi. Padahal, ia tidak sungkan mengucapkan apa yang ia pikirkan ketika bersama dengan orang lain. Namun, mengapa begitu sulit saat bersamamu?
Rin tidak bisa paham akan apa yang ia rasakan, level susahnya sama seperti saat ia tengah dilanda konflik akan kakaknya. Tak ingin terus-terusan diam di posisi yang sama, tangan itu mulai meraih tas milikmu, mengambilnya tanpa rasa bersalah sembari memasang ekspresi datar. Pemuda itu berujar, "Bodoh, kalau ada yang mengambil tasmu karena kau memegangnya sembarangan begini, bagaimana? 'Kan aku juga yang bakal repot nantinya."
"Hei, aku tidak pernah memintamu dari awal untuk mengikutiku."
"Memang."
Kau mengernyit, mengutukkan nama kakak pemuda itu yang membuat kalian berdua terjebak dalam situasi seperti ini. Bisa-bisanya, memakai taktik memanggil orang tua untuk bercengkrama, meminta untuk menemani dirinya. Hal ini akan kau ingat sampai hari tua agar bisa membalaskan dendamー
Ah ... atau tidak.
Pandanganmu terhenti tatkala tiba di sebuah toko peralatan olahraga. Toko ini memiliki cukup banyak memori dengan Rin, tempat kalian bercengkrama saat dirimu mampu keluar rumah. Tidak ada kenangan buruk di dalamnya, membuatmu mengulas senyum miris. Rin mengajarkanmu cara menjadi lebih percaya diri melalui rasa kagum.
Untuk yang ini, mana mungkin kau bisa dendam.
"[Name], kenapa kau melongo seperti orang bodoh begitu?" tanya Rin, membuyarkan fokusmu. Kau mendengkus, mengendikkan bahu, dan segera berjalan masuk ke dalam guna menyelesaikan tugas.
Benar, tugas yang diberikan oleh Itoshi Sae secara sengaja.
Padahal, kau hanya ingin keluar sendirian ke kuil. Tetapi, malah berakhir dengan keadaan begini.
Terlihat jelas, niat tidak baiknya. Entah mengerjaimu dengan Rin atau hanya ingin memberi tes kekuatan kepadamu untuk menahan emosi. Manapun di antara kedua itu, kau perlu segera melaksanakan permintaan yang diberikan dan beristirahat. Terlalu nyaman di kasur, membuatmu lupa akan kehangatan dunia luar. Irismu memutar, toh, tidak ada hal menarik yang bisa dilakukan oleh manusia lemah sepertimu.
Kau mendelik pada Rin yang sibuk memperhatikan jenis sepatu dengan detail dan seksama. Bibirmu membuka, "Apa ada yang bagus? Aku tidak begitu paham merek mana yang berkualitas."
"Ada beberapa. Tetapi, memangnya kau tidak bisa mencari referensi di internet hingga sebegitu tak tahunya?" cibir Rin, membuat dahimu berkedut kesal. Tangan yang dikepalkan tersebut, lantas kau urungkan niat untuk memukulnya. Lagipula, pukulan yang kau berikan nantinya, pasti tak akan terasa. Mengingat fisik lemahmu, hal itu malah akan jadi ledekan tambagan baginya.
"Kau tidak ingin melihat-lihat bagian yang lain? Daripada berdiam diri dan planga plongo di sini. Asal kau tahu, daripada tak bisa membantu memilih, lebih baik menyibukkan dirimu sendiri sana."
Iris hijau dengan bulu mata lentik itu melemparkan tatapan khasnya padamu. Sejenak, kau terbungkam akan pandangan dingin itu. Dingin, sama seperti musim dingin kala itu. Helaan napas lolos sembari melangkah ke tempat lain, tanpa menjawabnya. Kalau bisa, kau ingin berjalan pergi dan meninggalkannya sendirian di sini. Namun, tas milikmu berada di tangannya. Pulang bersama tangan kosong sama saja dengan bunuh diri.
Tetapi, hal itu tidak akan menjadi masalah jika rumah kalian berdua tak jauh dari lokasi ini, bukan?
Tak ada yang tahu, apa yang merasuki dirimu. Hanya saja, menghabiskan waktu bersama Rin membuat dadamu semakin sesak. Ada yang bilang, perasaan itu disimpan di dalam tubuh dan sedih akan terakumulatif pada paru-paru. Maka, mungkin saja, hal tersebut benar adanya.
Tempat ini dulu adalah memori hangat.
Sekarang, dipenuhi oleh rasa dingin menusuk di tengkuk.
Dengan langkah yang berat, kau melenggang pergi, keluar dari toko. Itoshi Rin tak menyadari ketidakhadiranmu disebabkan terlalu fokus pada kegiatannya. Entah kemana kakimu membawa dirimu saat ini. Yang jelas, kau hanya ingin pergi, jauh dari keberadaan pemuda yang sempat menjadi euforia sesaatmu.
Sekitar sepuluh menit setelahnya, matamu mengerjap saat menemukan lapangan bola dengan jeruji besi menjulang tinggi, mengitari lahan kotak itu sepenuhnya. Sedikit lelah berjalan, kau memutuskan untuk beristirahat sejenak di tempat familiar tersebut.
Di sini, lahir kebaikan dan kehangatan. Ingatan yang mengagumkan juga menyilaukan. Saking bersinarnya, kau berandai-andai, apakah memori berharga itu hanya dirimu seorang saja yang mengingat semuanya. Matamu memandang lurus dan kosong. Kemanapun kau pergi, rasanya dirimu terjebak dalam ruangan hampa yang tengah terpaku menatap silaunya kegembiraan di balik kaca jendela.
"Argh, ini menyebalkan, ya," gumammu, nampak frustrasi seraya menundukkan kepala. Jari-jemarimu mencengkram erat bangku yang tengah kau duduki, rasanya ingin menangis.
Lihatlah, sampai saat ini, kau masih memikirkannya meskipun telah berniat untuk tak ambil pusing. Kata demi untaian kata yang kau ucapkan tersebut malah menjadi tak berguna.
Terlarut dalam dilema diri sendiri, rasa dingin kian menusuk, detik demi detik. Membuatmu menengadah saat sensasi tersebut terasa bersentuhan dengan kulitmu. Kau mengedip, "Ah, salju turun ... pantas saja."
Pantas saja, aku merasa gelisah dari tadi.
Batinmu semakin gundah. Napasmu membentuk uap, sementara kedua tanganmu ditangkupkan sembari sesekali menggosoknya, mencari kehangatan. Bisa gawat kalau kau kembali sakit. Lalu, kau berujar pelan, "Bisa gawat kalau aku sakit. Tapi, yah, tidak masalah kalau aku kembali ke rumah sakit. Lagipula, tak ada yang benar-benar memperdulikankuー"
Jitakan keras mendarat di kepalamu.
Kau melotot, terkejut. Lantas, segera menoleh untuk mencari siapa pelakunya. Sosok lelaki dengan perawakan rambut gelap dan iris hijaunya yang indah. Tampilan itu, kau mengenalnya lebih dari siapa pun. Siapa lagi kalau bukan Itoshi Rin?
"K-kau, kenapa ada di sini?" tanyamu, gelagapan.
Ia mendecih, napasnya tak beraturan. Padahal ini musim dingin, namun nampak keringat yang sedikit bercucuran dari pelipisnya. Iris hijau itu berkilat marah, tak bisa kau mengerti penyebabnya apa.
"Kau bodoh atau apa, hah?! Kenapa menghilang tiba-tiba begitu? Aku hanya menyuruhmu untuk melihat di bagian lain, bukan pergi sepenuhnya dari sana!" bentak Rin dengan kepala panas. Ia tak bisa lagi mengontrol emosinya saat menemukan dirimu tak ada di dalam bangunan tersebut, berlarian ke sana ke mari tanpa arah. Dadanya terasa diikat, seolah akan hancur jika menemukan sesuatu terjadi pada dirimu.
Tetapi, bukannya menjelaskan apa yang ia rasakan, hanya bentakan yang bisa ia lontarkan. Rin tidak mengerti, ia ingin mengembalikan waktu, ke masa penuh akan tawa itu. Di mana, kau masih menyebut namanya dengan suara lembutmu.
Pemuda itu memalingkan wajah, memasang raut wajah tersakiti. Membuatmu tersenyum miris dan bertanya, "Hei, bukannya tidak adil kalau kau seperti itu, Itoshi Rin? Jangan menjadi orang yang paling tersakiti kalau kau juga sama dengannya."
Rin membelalakkan irisnya, geram dan membalas, "Kau tahu, kalau aku tidak suka disamakan dengannyaー"
"Kalau begitu jangan jadi sepertinya!" teriakmu, melangkah mundur, menahan isak sembari memegang dadamu dengan kuat. Rin terdiam, tak mampu membalas, tak mampu pula mengucapkan kata maaf. Kau kembali membuka mulut, berlirih seraya memasang ekspresi penuh pilu, "jangan ... jangan mendekatiku, Rin. Aku tidak ingin berharap lagi di ruangan penuh hampa itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
New Year's Eve ⇢ Itoshi Rin × Reader [✓]
Fanfic"Kalau mau pulang sekarang, sudah terlambat, Rin." Suasana yang semakin dingin, menusuk kulit. Sebagai teman masa kecil dan tetangga Itoshi bersaudara, mengenal mereka berdua bukanlah hal yang sulit. Semenjak dirinya pergi mengejar sang kakak melalu...