Mavendra membuka helmnya. "Gue mau ketemu sama Mamah lo."
"Nggak ada di rumah," jawab Aurora singkat.
"Beneran?" Mavendra bertanya, memastikan.
Aurora mengangguk.
"Berarti sekarang lo di rumah sendiri, ya?" tanya Mavendra dengan senyuman jail.
Aurora melotot, lalu dengan refleks memukul wajah Mavendra menggunakan tas kecilnya.
"Awh..." Mavendra meringis kesakitan.
"Pulang!"
"Jahat banget lo. Ini namanya kekerasan dalam rumah tangga, Ra," keluh Mavendra sambil mengelus wajahnya yang terkena pukulan.
"Nggak peduli. Sana pulang!" Aurora mengibaskan tangannya dengan tegas.
"Ceritanya lo ngusir gue?" tanya Mavendra dengan nada mengejek.
"Kalau iya, kenapa?" Aurora bertanya balik.
"Oke, gue marah sama lo, Ra!" Mavendra berkata sambil mengenakan helm, kemudian menghidupkan motornya dan melajukannya dengan kecepatan tinggi.
Dahi Aurora mengkerut. Ia menatap aneh ke arah Mavendra yang sudah pergi dari pandangannya. "Human freak," gumamnya sebelum akhirnya ia masuk ke dalam rumah.
Aurora berjalan menuju kamarnya, tangan kanannya membawa plastik belanjaan. Ia meletakkan plastik itu di atas meja rias, lalu membuka laci untuk mengambil salep.
Saat mengoleskan salep ke luka lebamnya, ia merasakan sedikit nyeri, tetapi masih bisa menahannya.
Tiba-tiba, suara notifikasi dari handphone-nya terdengar. Aurora menghentikan kegiatannya, dan mengambil handphone yang terletak di atas meja rias. Ia mengernyitkan dahinya melihat chat dari nomor yang tidak dikenalnya. "Siapa?" gumamnya sambil membuka pesan tersebut.
Aurora membaca chat itu dengan lebih teliti dan baru menyadari bahwa pesan itu berasal dari Mavendra. Dengan cepat, ia meletakkan kembali handphone-nya dan memilih untuk tidak membalas pesan tersebut.Ia kembali fokus pada aktivitasnya, mengobati luka lebam di tangannya, sambil berusaha mengabaikan perasaan campur aduk yang ditinggalkan oleh pertemuan tadi.
****
Aurora melintasi halaman belakang dengan cepat, melewati pintu belakang rumah yang mengarah ke jalan kecil di belakang. Ia berlari menyusuri jalan tersebut, berusaha menghindari Mavendra yang mungkin masih menunggu di depan.
Dengan langkah cepat, Aurora mencapai jalan utama dan menuju halte bus yang tidak jauh dari rumahnya. Untungnya, bus menuju sekolahnya baru saja tiba. Dia naik ke dalam bus dengan napas tersengal, merasa lega karena berhasil menghindari Mavendra.
Di sisi lain, Mavendra masih menunggu di depan rumah Aurora, dengan harapan cewek itu akan keluar. Ketika waktu semakin mendekati bel masuk sekolah, Mavendra memutuskan untuk memeriksa jam dan mulai khawatir.
"Jangan bilang dia nggak mau berangkat sama gue," gumamnya sambil melihat-lihat di sekitar.
Merasa waktunya semakin mendesak, Mavendra memutuskan untuk berangkat ke sekolah sendirian. Dia menghidupkan motor dan melaju dengan cepat menuju sekolah, berharap bisa tiba tepat waktu.
Mavendra mendengus frustrasi saat melihat gerbang sekolah yang tertutup rapat. Dia menutup kaca helm dan mulai berpikir. Jika gerbang depan sudah tertutup, dia harus mencari cara lain untuk masuk.
Setelah beberapa saat berpikir, Mavendra memutuskan untuk melaju menuju area belakang sekolah, di mana ada warung kecil atau warjok. Di sana, dia bisa menitipkan motornya dan mencari cara lain untuk masuk ke sekolah.
“Mbak Ris, titip motor, ya?” tanya Mavendra.
Perempuan yang tengah sibuk memotong tempe langsung menoleh ke arahnya. “Iya, Ven,” jawabnya sambil mengacungkan ibu jari.
Setelah menitipkan motornya, Mavendra segera berjalan mendekati tembok tinggi di depannya. Dia berniat memanjat tembok itu untuk masuk ke dalam sekolah.
***
Aurora baru saja keluar dari kamar mandi di belakang sekolah. Meskipun cukup jauh dari kelasnya, dia tak punya pilihan lain karena kamar mandi dekat kelasnya sedang dalam perbaikan. Akibatnya, dia harus berjalan jauh menuju kamar mandi yang terletak di bagian belakang gedung sekolah.
Saat berjalan kembali ke kelasnya, tiba-tiba Aurora terkejut oleh suara benda jatuh. Ia melihat sekeliling, namun tidak ada apa-apa. Halaman belakang sepi, hanya ada dirinya sendiri.
Dia mengedikkan bahunya dan melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Namun, sebelum benar-benar melangkah, dia mendengar seseorang yang memanggil namanya.
"Ra?!" panggilnya.
Aurora menoleh ke belakang dan melihat Mavendra yang tersenyum ke arahnya. Aurora berniat pergi, tetapi pergelangan tangannya dicekal oleh Mavendra.
"Berangkat jam berapa?" tanya Mavendra.
Aurora hanya diam.
"Ra? Lo berangkat jam berapa? Gue tanya, loh."
"Penting banget buat lo?" jawab Aurora.
"Penting. Gue kemarin udah chat lo, 'kan? Kalau lo nggak mau bareng sama gue, setidaknya balas chat gue. Gue udah nungguin lo setengah jam lebih di depan rumah lo."
"Suruh siapa?"
"Gue sendiri."
"Jadi?"
"Oke, ini salah gue. Tapi, bisa kan, seenggaknya lo ngehargai usaha gue, Ra?"
"Eh, ternyata lo di sini, Ra. Ayo, kita disuruh ke perpustakaan," tiba-tiba terdengar suara Rama.
Aurora menatap Rama. "Sekarang?" tanyanya.
Rama mengangguk.
Aurora berjalan terlebih dahulu, diikuti oleh Rama. Sebelum melangkah, Rama tersenyum sinis ke arah Mavendra. Mavendra hampir tak bisa menahan keinginannya untuk memukul wajah sokong milik Rama.
Setelah melihat kedua orang itu pergi dari pandangannya, Mavendra langsung memukul udara dengan frustrasi. "Bangsat! Lama-lama gue bisa gila karena tantangan ini!"
tebece
rada kasian sama Mavendra, tapi kok dari awal niatnya udah kayak gitu wkwkw😂
lanjut?
instagram : hrdntaar
KAMU SEDANG MEMBACA
MAVENDRA [END]
Teen FictionMenaklukkan cewek dingin? Tidak ada di kamus milik Mavendra. Cowok dengan kain yang selalu melingkar di kepalanya. Ini semua karena dia mendapatkan dare dari sahabatnya untuk meluluhkan seorang cewek yang berwajah datar dan irit bicara. Ia kira, pe...