1.

16 2 0
                                    

Ruangan bernuansa putih dengan bau khas obat-obatan menjadi ciri khas rumah sakit.

Seorang remaja 15 tahun terbaring lemah diatas brangkar yang terdiri dari dua orang dalam setiap ruangan.

"Dek udah berapa hari dirawat?" tanya seorang lelaki paruh baya yang baru tadi pagi mengisi kamar disebelahnya. Diantara dua buah brangkar hanya terhalang gorden sebagai penutupnya.

"Dua hari ini om." jawab remaja yang diketahui bernama Ravindra vixen alexander.

Lelaki itu pun mengangguk, Ravind dan lelaki itu saling pandang karena gorden pembatas yang tidak tertutup sempurna membuat kepala keduanya saling bisa melihat mereka masing-masing meskipun hanya dibagian kepalanya saja.

Selang 20 menit seorang wanita berusia sekitar 50tahunan datang menghampiri Ravind dan duduk dikursi kecil yang ada di sana.

"Ravind, bagaimana kabar kamu nak?" tanya wanita yang bernama Rose itu. Dia meletakan sebuah kresek diatas nakas.

"Baik bunda, emhh... apa bunda Rose sudah menghubungi mamah untuk kesini?" tanya Ravind penuh harap. Kedua mata bulatnya mengerjab pelan dengan tatapan permohonan.

Rose menghela nafas, sebenarnya dia tidak mau mengatakan hal yang akan membuat lelaki kecil di depannya itu bersedih. Tapi dia juga tidak mau memberikan harapan atau yang sering dikenal dengan bahas gaul php.

"Kata mamah Ravind..." Rose menjeda kalimatnya, melihat senyum di bibir Ravind seakan Rose tidak mampu mengatakan hal yang sebenarnya.

"Dia tidak bisa datang kesini nak, katanya banyak pekerjaan." lanjutnya, yang membungkam senyum yang terukir di bibir Ravind secara sempurna.

Seketika mata berbinar Ravind berubah sendu, sosok ibu yang dia harapkan disaat sakit seperti ini tidak bisa datang dengan alasan pekerjaan.

Ah mungkin itu alasan seorang Alenta Alexander istri dari Lukas jordan Alexander saja.

Sesungguhnya keluarga Alexander tidak pernah menganggap Ravindra ada di antara mereka. Kelahirannya yang tidak diharapkan membuat dia diasingkan dan menyekolahkan Ravindra di asrama yang biasa.

Selama 4 tahun lebih Ravind tinggal diasrama dan bunda Rose adalah wali kelas di asramanya.

Dan selama 4 tahun juga kedua orang tua Ravind tidak pernah menjenguknya ataupun meneleponnya sekedar berkomunikasi lewat udara.

"Padahal Ravind biasa dengar jawaban yang seperti ini ya bund, tapi tetap saja Ravind sedih," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Mendengat itu seketika bunda Rose berusaha mengalihkan perhatian Ravind dengan mengalihkan topik pembicaraan.

"Oh ya Rav, bunda bawa buah apel apa kamu mau. Ini dari teman-teman sekelas kamu dia juga berdoa untuk kesembuhan kamu."
  Rose sibuk membuka plastik kresek yang tadi dia taruh diatas nakas.

Tapi Ravind menggelengkan kepala pelan, dia mencoba untuk tidak menangis walaupun dalam hati dia sangat sakit.

Dadanya terasa sesak, tubuhnya serasa lemas. Harusnya dia tidak berharap untuk kedatangan ibunya tapi dia terlalu naif untuk bisa bertemu dengan Alenta.

"Kapan Ravind pulang bund, Ravind sudah tidak betah disini." Tanya Ravind.

"Besok bunda tanya pada dokternya ya Rav, emhh kamu sekarang istirahat dulu. Kalau bunda tinggal kamu gapapa kan?" tanya sang bunda ragu-ragu.

"Iya gapapa kog bund." Ravind mengulurkan sedikit senyumannya.

"Maaf ya nak, bunda benar-benar ada masalah penting."

"Iya bund hati-hati dijalan makasih atas buahnya dan bilang sama teman-teman makasih juga untuk mereka." kata Ravind panjang lebar.

Rose mengusap pipi putih Ravind   lalu pergi keluar meninggalkan Ravind sendiri. Ralat bersama pasien lelaki paruh baya itu.

Setelah Rose menutup pintu ruangan itu, 5 menit kemudian terlihat 3 orang masuk kedalam ruangan tersebut.

1 laki-laki dan dua perempuan berjalan menuju ke brangkar disebelah Ravind.

Mereka berbincang-bincang dengan diselingi tawa guna menghibur sosok ayah dari mereka yang sakit.

Ravind pun melirik sekilas, lalu tersenyum melihat betapa bahagianya keluarga mereka. Kadang Ravind iri dengan keluarga yang harmonis seperti itu.

"Oh ya nak, apa kamu sudah makan?" tanya seorang ibu-ibu yang kemungkinan istri dari lelaki itu, dia tiba-tiba berdiri disamping brangkar Ravind.

"Sudah kog bu." jawab Ravind melirik sekilas wanita di sampingnya lalu kembali matanya menatap ke langit-langit.

"Kamu sendirian nak, gak ada yang menemanimu?" tanyanya lagi.

"Iya."

"Kalau kamu butuh sesuatu jangan sungkan ngomong sama ibu atau dua lelaki dan wanita yang ada disana." tunjuk ibu itu, dua orang yang sedang duduk lesehan dilantai yang beralaskan tikar.

Ravind merotasikan kedua matanya ke arah jari ibu itu sesuai petunjuknya, Sepertinya mereka bertiga akan menginap disini.

"Iya." jawab Ravind singkat.

Dikediaman Alexander.

"Apa mamah tadi dapat telepon dari Rose?" tanya Lukas pada sang istri.

"Iya kau benar pah, dan dia memintaku untuk menemui anak sialan itu. Jangan harap aku akan datang!" jawabnya tegas.

"Dia juga menghubungi papah, ya karena memang papah sibuk papah jawab jujur."

"Sepertinya kita harus mengganti nomor ponselku pah, supaya Rose tidak lagi menghubungi kita lagi."

"Mah, gak usah repot-repot mengganti. Kita blokir saja nomor Rose."

"Ide bagus pah, kenapa gak kepikiran?"

Dua suami istri itupun kembali melakukan kegiatannya yang tertunda, sang suami dengan laptop di pangkuannya sedangkan sang istri dengan pensil dan kertas gambarnya.






menjemput kebahagiaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang