2

7 1 0
                                    

4 Hari berlalu Ravin dirawat di rumah sakit, hari ini dia diperbolehkan pulang oleh dokter.

Ravin dengan dibantu ibu kepala asrama memasukan pakaian Ravin ke dalam tasnya.

"Bunda, maafin Ravin sering ngrepotin," ucap anak itu polos.

Sang bunda menutup resleting tasnya lalu menoleh ke arah Ravin yang masih duduk diatas ranjangnya dengan kaki yang menjuntai ke bawah.

"Disini kamu tanggung jawab bunda nak, jadi jangan bicara seperti itu ya. Sekarang bunda ambil kursi roda dulu ya buat kamu." pamit bunda yang langsung dicegah oleh Ravin.

"Gak usah bun, Ravin mau jalan saja."

"Kamu yakin nak?" tanya bunda belum yakin karena Ravin pulang paksa. Dikarenakan uangnya tidak cukup untuk merawat Ravin lebih lama lagi. Padahal anak itu belum sepenuhnya sembuh.
Ravin menganggukkan kepalanya.

Dengan berpegangan sama lengan bunda Ravin mulai berjalan keluar dari rumah sakit, sebelumnya administrasinya sudah dibayarkan lebih dulu.


"Bund, gimana bisa dihubungi?" tanya salah satu guru pengajar di asrama.

Wanita yang dipanggil bunda itu menggeleng lemah.

"Astaga kemarin diberitahu Ravin masuk rumah sakit tidak datang, sekarang nomor telepon mereka tidak aktif. Sebenarnya mereka niat menyekolahkan anaknya tidak." Kata wanita yang lebih muda kesal.

"Sabar bu Niken."

"Gimana bisa sabar bu, sudah hampir setengah tahun mereka tidak membayar biaya Ravin selama tinggal di asrama ini. Mereka pikir tempat ini dinas sosial. Seharusnya kalau tidak mau membayar masukan saja Ravin ke panti asuhan kan kita gak perlu repot-repot merawat dia."

"Dan Ravin sudah berapa kali dia masuk rumah sakit, semua asrama yang nanggung bund." Niken menghembuskan nafas kasar.

"Bu Niken, gak boleh bicara seperti itu. Kita itu sebagai pengganti orang tua mereka. Kita contoh buat mereka. Lebih baik kita kembali mengajar saja, bahas lagi besok siapa tahu orang tua Ravin bisa di hubungi." Usul bunda kepada bu Niken.

"Ya Tuhan, Ravin sudah terlalu sering merepotkan bunda dan guru-guru yang lain. Kenapa Ravin punya tubuh yang sering sakit. Mamah, papah kenapa kalian gak jenguk Ravin. Kalau pun kalian gak datang minimal kirim uang untuk sekolah Ravin." Guman Ravin dia tak sengaja mendengar percakapan dua gurunya saat Ravin keluar dari toilet.

'Maafin Ravin bu Niken, bikin kalian susah.' Batin Ravin.

Di masion Alexander
Seorang pemuda tergesa-gesa menuruni anak tangga, hari ini dia kembali bangun kesiangan.

"Kenapa mamah sama papah tidak bangunin Jeffan sih." gerutu Jeffan junior Alexander saat sudah berada di meja makan.

Disana sudah ada Alenta dan Lukas, serta anak pertama mereka Aron junior Alexander.

Mereka bertiga memutar bola matanya malas, sudah hafal betul tabiat Jeffan yang susah dibangunin.

"Makan makananmu Jeff, jangan bikin kekacauan." Aron langsung saja memberi ultimatum pada adiknya itu.

Kini mereka makan dengan kidmat tanpa adanya pembicaraan lagi.

Terlihat kobaran api begitu besar melahap bagian dapur asrama, semua siswa-siswi di suruh berlari untuk menyelamatkan diri.

Bunda Rose serta guru-guru yang lain panik, berlari kesana kemari. Mengetuk semua pintu kamar anak didik mereka.

Si Jago merah dengan cepat merambat sampai ke kelas tempat para siswa belajar.
Teriakan, jeritan para siswa dan siswi saling bersautan.
Kepanikan ada dimana-mana

Banyak para penduduk kampung yang datang dengan membawa ember yang berisi air. Pemadam kebakaran sudah di telepon dan sedang dalam perjalanan.

"Ravin ayo cepat keluar nak, api sudah sangat besar." Suruh bunda yang melihat Ravin masih mencari-cari sesuatu di dalam lemari kamarnya.

"Bentar bunda, Ravin lupa terakhir naro dimana?"

"Sudah Vin, ayo semua orang sudah keluar." tanpa berpikar panjang bunda Rose menyeret Ravin untuk keluar meninggalkan kamarnya.

"Bund lepasin, Ravin mau cari dulu nanti, bunda lepasin." Rose tidak memperdulikan rengekan Ravin.

Yang terpenting semua anak didiknya bisa selamat dari ancaman si jago merah.

Bruk bruk
Serpihan-serpihan kayu mulai jatuh karena sebagian dilahap api.

Bunda mempercepat langkahnya, dia menarik lengan Ravin tanpa ingin melepaskannya.

Dengan air mata yang sudah keluar menggenang di kedua pipinya, Ravin mengikhlaskan foto satu-satunya keluarga yang dia punya.

Kini semua gedung asrama sudah habis dilahap oleh ganasnya api.


"Maaf tuan, nyonya kami ingin menyerahkan kembali putra anda, karena asrama kami sudah terbakar kemarin malam." kata bunda rose kepada Lukas jordan alexander.

"Iya nyonya terima kasih, maaf sudah merepotkan kalian."

"Tidak apa nyonya, beruntung tempat tinggal nyonya dan tuan masih disini, itu saja kami sudah senang," ucap Niken.

Sedangkan Ravin masih menundukan kepalanya, dia bingung tidak tahu harus bahagia atau tidak kembali lagi ke masionnya.

"Kalau begitu kami permisi dulu." Pamit bunda rose.

Lukas menuliskan sebuah nominal ke dalam cek serta membubui tanda tangannya lalu menarik cek itu untuk diberikan kepada bunda Rose.

"Ini nyonya." Lukas menyerahkan cek itu kepada Rose dan diterima baik olehnya, karena memang saat ini butuh banyak dana untuk bisa membangun asramanya lagi.

"Terima kasih tuan, kami permisi."

"Ravin jaga diri baik-baik ya nak, bunda pamit dulu." Bunda rose dan Niken pun pergi meninggalkan masion itu.

"Ravin masih terduduk di sofanya, dia menundukan kepala menatap lantai berwarna putih itu.

"Disini gak ada kamar lagi, bisa kan kamu tidur di sofa sebelum saya menemukan asrama baru lagi," ucap Alenta pada anak bungsunya.

"Bisa mah, Ravin bisa tidur dimana saja."

"Bagus sekarang pergi dari hadapan saya."

"Ravin lapar mah, apa boleh minta makan." kata Ravin memberanikan diri, karena dari semalam dia belum makan apapun.

Bunda Rose dan Niken tidak punya uang lebih untuk sekedar membelikan dia makanan. Karena uangnya hanya cukup untuk membayar angkot saja.

"Bibik." Teriak Alenta.

Bibik setengah berlari dari dapur menghampiri majikannya.

"Iya nyonya."
"Ambilkan nasi sama tempe untuk dia." tunjuk Alenta pada Ravin, seketika mata bibik Ratih mengikuti telunjuk Alenta.

"Tu-tuan muda Ravin." kaget bibi Ratih, terharu akhirnya bisa melihat tuan mudanya lagi.

"Iya bik," ucap Ravin tersenyum.

Ratih dengan cepat kembali ke dapur mengambilkan makanan yang diperintahkan Alenta. Sedangkan Alenta kembali ke kamarnya, setelah suaminya berpamitan berangkat ke kantor.

Lukas menghela nafas, dia baru saja akan berangkat ke kantor tapi dikejutkan oleh tamu yang tak terduga.

Lelaki paruh baya itu menepuk bahu Ravin pelan.
"baik-baik di rumah jangan bikin ulah, kalau tidak ingin melihat mamamu marah."

"Ba-baik tuan," ucap Ravin, dia menatap punggung papahnya yang semakin menjauh dan hilang dibalik pintu utama.

Lukas memang melarang Ravin memanggilnya dengan sebutan papah, entah apa alasannya sampai sekarang Ravin pun tak tahu.




menjemput kebahagiaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang