"Nggak, deh, ini kurang geseran dikit, Re."
Saat ini aku tengah bersama dengan kelompokku di gazebo halaman perpustakaan pusat universitas untuk mata kuliah Proyek Desain I. Gampangnya, mata kuliah ini mengharuskan siswa mampu merancang peralatan, mulai dari ide, sketsa, perhitungan kekuatan, sampai gambar akhir untuk akhirnya siap produksi.
"Ya, nanti gue benahin lagi," jawabku malas.
Kami sedang memeriksa gambar komponen yang akan kami gunakan. Gunakan ini konteksnya bukan membuat barangnya secara nyata, tapi penilaian akhir nanti kami harus mempresentasikan hasil akhirnya, mulai dari manufacturing analysis sampai final engineering drawing alias gambar tekniknya.
Kelompok kami memutuskan untuk merancang turbin angin horizontal untuk pembangkit listrik. Alasannya karena mudah dalam pemasangan dan perawatannya, sehingga berpotensi besar untuk digunakan secara masif melalui masing-masing rumah tangga.
"Si Dido beneran nggak dateng?" tanyaku kepada tiga anggota kelompokku yang lain, Danar, Bima, dan Soni.
"Biasa, lah, Re." Danar berdecak.
"Bodo amat, dia nanti harus paling banyak bagian perhitungan," kesalku.
"Yakin dikerjain?" sarkas Soni sambil tetap fokus dengan laptopnya, sibuk mengotak-atik AutoCAD.
Aku mengacak rambutku kasar. "Anak Dajjal!"
"Yowis, lah, kalau nggak ikut presentasi nanti, kan, dia juga yang rugi." Bima memasang muka pasrah.
"Asuuu," gerutuku menggunakan salah satu kata Bahasa Jawa yang fasih kulafalkan.
"Wis, wis, sabar." Bima menepuk pundakku. "Ntar tak jajain nasi goreng Mbak Is."
Aku membuang napas kasar dari hidung. "Sekalian antrinya, ya, Bim."
Bima memberikan jempol. "Tenang."
"Lha aku?" Danar menyahut.
"Tuku dewe, ndes," balas Bima dengan nada yang berubah 180 derajat.
"Dah, lah, Nar. Masa lo mau saingan Regen," kekeh Soni.
Danar hanya mengerucutkan bibirnya.
Dua jam ke depan, kami menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas proyek ini. Rasa gondokku berhasil bertahan sampai kami memutuskan untuk menyudahi kerja kelompok. Alasan utamanya adalah karena tiba-tiba si anak Dajjal Dido muncul di group chat kami dengan pesan yang dapat membuat kepala siapa saja mendidih.
Dido
sory bangeett gue ketidurann
Taik kucing!
Hanya Danar yang masih berlapang dada untuk membalas pesannya. Ya, walaupun hanya sekedar 'Oke'.
Aku masih bersungut-sungut selama perjalanan ke kos. Membuat Bima, yang memang menjemputku sebelumnya dan sekarang mengantarku, menggelengkan kepala terus-terusan mendengarkan sumpah serapahku.
"Makasih, ya, Bim," ucapku saat turun dari motornya.
"Sip. Aku duluan, ya." Bima pamit.
Aku mengangguk. "Ati-ati."
Bima lalu melajukan motornya menjauhi gedung kos berlantai tiga di belakangku, sedangkan aku berjalan mendekatinya.
Demi mendinginkan kepala, aku memilih untuk mandi terlebih dahulu sebelum memulai ritual malam mingguku. Bergoler ria ditemani dengan serial Netflix.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mysteriously Matched
RomanceRegen tidak suka sesuatu hal yang rumit. Akan tetapi, seakarang ini ia dihadapkan dengan persimpangan; masa lalu yang muncul kembali tanpa aba-aba, masa depan yang terlalu menggoda untuk dilewatkan, dan seorang anonim yang mampu mengalihkan perhatia...