46. Fakta Lain

3.2K 268 20
                                    




















"Kalau kata gue sih, nggak perlu," kata Bina, ketika Nada menceritakan Janu yang sepertinya salah paham dan Maxime yang meminta Nada agar menjelaskan pada pria itu, bahwa mereka tidak punya hubungan apa-apa. Lagi pula, Max akan bertunangan dengan perempuan lain. Tapi menurut pendapat Bina justru sebaliknya. "Logikanya gini, kalian 'kan udah bukan siapa-siapa, jadi gue rasa lo nggak perlu klarifikasi soal hubungan lo dengan siapapun itu. Kalau emang Janu cemburu, itu urusan dia nggak sih?"

Nada mengangguk setuju.

Omong-omong sekarang ini mereka lagi nongkrong di warung bakmie langganan. Biasanya Eila dan Anyelir turut serta. Tapi berhubung dua bocah TK itu sedang bersama ayah masing-masing, jadilah Nada dan Bina saja yang ke sini. Mengobrol sembari menunggu pesanan. Maklum, tiap weekend, warung bakmie Pak Min selalu ramai. Selain harganya terjangkau untuk ibu-ibu seperti Nada dan Bina --yang agak perhitungan soal pengeluaran, Pak Min ini tipe pedagang yang nggak pelit bumbu. Nggak heran kalau banyak yang tertarik.

"Toh, dia pacaran sama siapapun juga lo nggak pernah ikut campur, 'kan? Jadi, kenapa lo harus effort klarifikasi?" lanjut Bina, yang lagi-lagi disetujui Nada. "Oh ya, si Inez Inez itu masih sering hubungin lo nggak?"

Kembali Nada mengangguk. "Jujur, gue nggak tahu mesti gimana. Tapi yang jelas, gue nggak mau terlibat lagi sama mereka. Rumit."

"Masalah orang kaya emang se-complicated itu," timpal Bina. "Bahkan bisa jadi itu cuma sebagian yang lo tahu, sisanya barangkali lebih rumit." Kedua bahunya terangkat. "Gue ngomong gini bukan karena background keluarga gue ya, tapi rata-rata problem orang berduit emang rumit-rumit."

"Kayak di novel-novel nggak sih?" tanya Nada.

Bina menahan tawa. "Bfff."

Memancing dengkusan Nada.

"Lo kebanyakan baca cerita fiksi sih," ejek Bina. "Tapi kalau boleh gue koreksi soal kehidupan old money kayak keluarga Adhiyaksa, biasanya orang-orang yang beneran kaya kayak mereka tuh jauh dari kata sombong. Justru kalau ada orang sombong malah bikin mereka jijik." Bergidik sejenak. "Dari cerita lo aja kebukti 'kan kalau orang tuanya Janu emang beneran golongan konglomerat."

Nada tidak banyak tahu soal kehidupan orang-orang berduit. Dan dia tidak peduli soal itu. "I don't care," tukas Nada, "Sekarang gue bingung banget, Bin. Ada banyak hal yang gue takutkan."

"Tentang?" Bina menyipitkan mata.

"Mas Janu," jawab Nada dengan satu tarikan napas panjang. "Gue takut kalau tiba-tiba dia pergi. Bukan berarti gue nggak mau kehilangan dia. Dari awal, dia pulang ke gue karena ada Eila. Dan gue juga nggak berharap apa pun ke dia. Cuma masalahnya Eila telanjur bergantung sama Mas Janu. Sekarang dikit-dikit Papa. Kalau ngerengek minta sesuatu, nggak gue turutin, ujung-ujungnya mau sama Papa. Kadang gue kesel dengernya. Tapi ya gimana?"

"I feel that," timpal Bina, menyungging senyum tipis. "Dulu tiap Anye ngerengek minta ketemu Rian, atau pas gue marahin dan larinya ke Rian, lo selalu bilang supaya gue nggak terlalu keras sama Anye. Lo selalu negur gue supaya sedikit lebih adil ke anak. Tapi sekarang lo tahu 'kan gimana rasanya?" Memandang sahabatnya sejenak. "Nad, kita punya nasib yang sama. Cuma alurnya agak beda. Lo pernah nikah, sedang gue ... gue terlalu sibuk sama rasa kecewa." Membuang napas lewat mulut. "Di sini gue nggak akan adu nasib, karena lo tahu sendiri lah gimana nggak enaknya. Tapi satu hal yang mesti lo inget; lo harus punya prinsip. Sekalipun Janu cinta sama lo, bahkan berniat rujuk, jangan segampang itu percaya. Gue nggak ngomporin lo, tapi masalahnya banyak perbedaan dan beberapa alasan antara lo dan dia yang timpang."

Repair [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang