Hilang, dan Ia Pulang

2 0 0
                                    


Hari ini, kuratapi seorang yang tertidur lelap di peti putih itu. Wajahnya pucat, kupikir akan sangat dingin bila menyentuh tubuhnya. Angin kencang membuat jendela di kamar itu terbuka. Ternyata di luar hujan cukup deras, padahal perkiraan cuaca akan cerah.

Aneh pikirku. Di tengah-tengah gemuruh petir yang saling bersahutan, ibu keluar dari ruangan yang aku tidak pernah sangka akan kami kunjungi. Anehnya lagi, ibu memelukku dengan tangisnya yang memilukan. Ibu tidak pernah sekalipun seperti ini di hadapanku.

Ada apa dengan hari ini? Pikiranku bertambah bingung ketika melihat banyak pasang mata yang menatap ke arah kami dengan iba.

Kuberanikan diri untuk bertanya pada ibu. Tapi tenggorokanku terasa mencekik, suaraku sulit dikeluarkan. Mengapa dadaku sangat sesak? Seperti ada perasaan sakit yang memintaku untuk melepaskannya.

"Sudah Nak... relakan saja...", suara Ibu bergetar lirih. Ia masih memelukku dengan erat, disertai dengan tangisnya yang sudah membasahi bajuku.

Aku diam saja. Kubiarkan Ibu menangis sepuasnya. Seisi ruangan itu berusaha menguatkan Ibu. Terlihat jelas dari ekspresi wajah mereka kesedihan yang mendalam. Ada yang menguatkan dengan kata-kata mutiara, dan ada juga yang melantunkan doa-doa. Suasana ruangan ini berbalut dengan hawa dingin yang datang dari hujan, bersamaan dengan dingin dari tubuh orang yang tertidur pulas di peti putih itu.

Aku meninggalkan ruangan yang dingin itu menuju ke kamar. Kamar ini baru kutempati sekitar tiga hari lalu. Saat kakak dan aku sedang sakit berbarengan. Saat itu kakak bahkan tidak dapat berjalan normal, hanya berbaring dengan kabel-kabel di tubuh nya. Dokter selalu menjenguk kami dan memberikan cairan-cairan aneh, serta obat-obatan yang tidak terhitung jumlahnya. Dan, hari ini aku kembali ke sini. Terakhir yang kuingat hanyalah cahaya lampu yang silau di antara kerumunan orang-orang dengan pisau dan barang tajam lainnya mengiris-iris bagian dalam tubuhku dan kakak. Rasanya sakit, tapi aku percaya orang-orang ini akan menghilangkan rasa sakit itu.

Kata Ibu aku didiagnosis gagal ginjal kronis. Jalan satu-satunya adalah transplantasi. Pantas saja, saat buang air, urineku berwarna merah. Sekitaran kakiku juga bengkak, dan perutku terasa mencekik dengan hebat.

Sedangkan kakak, mengalami penyakit jantung bawaan ayah. Penyakit jantung bawaan ini juga disebut dengan PJB. Kelainan pada jantung yang berkembang sebelum kelahiran. Di Indonesia sendiri penyakit ini termasuk langka, karena hanya kurang dari 150 ribu kasus per tahunnya.

Selama ini kakak memang sering bolak-balik rumah sakit. Dalam ingatanku, kulitnya mendadak berwarna biru, lalu sesak napas, dan sedari kecil jarang ingin makan sehingga pertumbuhannya tidak normal. Meski ia anak Ibu yang ter tua, namun badanku lebih berisi dan bugar daripada kakak.

Kembali teringat di kepalaku perbincangan serius ibu, kakak dan dokter di ruangan pengap itu. Aku dilarang masuk, katanya anak kecil tidak boleh ikut pembicaraan orang dewasa. Padahal aku sudah berumur tiga belas tahun. Kuintip di sela-sela jendela yang terbuka, ibu menangis di situ.

Aku kembali ke ruangan yang kutinggalkan sebelumnya. Suasananya masih sama. Tangis di mana-mana. Kuhampiri tubuh manusia yang tertidur kaku di tempat yang sama tadi, ia sudah berdandan dengan cantik. Tak kusangka wajah pucat itulah yang akan kulihat terakhir kalinya dari wajah kakakku. Kukecup tiga kali wajah itu sebagai tanda bahwa aku tidak akan melakukannya lagi lain kali. Peti itu sudah siap masuk perapian, membakar hal-hal yang ditinggalkan oleh kakak. Kecuali, benda kecil di tubuhnya yang diberikannya padaku tiga hari lalu.

Perasaan sesak yang semula masih bisa kutahan akhirnya tumpah bersamaan dengan derasnya air mata. Jari-jari mungilku menyentuh tubuh itu dengan tidak percaya. Betapa sulitnya diriku menerima bahwa kakak telah pergi untuk selamanya. Meninggalkanku dengan kenangan-kenangan yang dibangun bersamanya. Ia tidak meninggalkanku, aku hanya membiarkan ia pergi. Kakak sudah lelah dan melepas semua penyakit yang menggergoti tubuhnya. Ia telah berlari dengan lincah di alam sana.

Di dalam peluk ibu aku berkata lirih. "Ibu, aku akhirnya sadar. Kebingunganku sebelumnya adalah penolakan fakta kepergian kakak. Ia sudah pergi menyusul Ayah. Meninggalkan kita berdua duka Ibu..."



Palangka Raya, 21 April 2022

Mengapa Harus Kumiliki Secuil Organmu?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang