Part 02

6 1 0
                                    

Sesak dan dingin, hanya itu yang ia rasakan saat tubuhnya perlahan tenggelam di danau. Ia tak berupaya banyak untuk tetap mengambang diatas air, hanya diam sambil menunggu dewa Thanatos membawanya menyeberang ke dunia bawah.

Oksigen mulai menipis di paru-parunya, dan kesadarannya mulai terenggut.

"Mama, Estel minta maaf..." batinnya sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ──────┄ °❀

Seorang wanita terisak pelan, tangannya menggenggam erat tangan kecil putranya. Matahari kecilnya.

Sementara sosok itu tak sadarkan diri sejak dua hari lalu. Hari dimana jiwanya terasa seperti direnggut paksa darinya.

"Estel sayang, ayo bangun nak... Kamu berjanji untuk menanam bunga bersama mama kan? Ayo bangun nak..." ujarnya sambil mengelus surai pirang putranya dengan penuh kasih.

Sekuat tenaga ia berusaha untuk menjaga agar suaranya tetap tenang, putranya tidak suka melihat ia menangis. Remaja itu akan cemberut jika melihatnya menitikkan air mata dan akan langsung menghapus air matanya sambil mengomel lucu.

Tapi sosok itu kini hanya diam, matanya terpejam dan tampak damai diatas ranjangnya. Bibirnya yang biasa berceloteh kini tertutup rapat, bahkan warnanya tidak lagi merah muda.

"Senna, istirahatlah. Biarkan bibi yang menjaganya, oke? Kamu belum beristirahat sejenak kemarin lusa." wanita lain yang lebih tua datang dan mengelus bahunya, tatapannya lembut dan menenangkan.

Senna, atau sang selir hanya menggeleng pelan. Tangannya yang lentik merapikan selimut putranya, meski air matanya masih berjatuhan.

"Aku hanya ingin menemani Estel, dia butuh aku bi. Seharusnya dia tidak mengalami semua ini, dia masih terlalu kecil..." ujarnya.

Dalam hati ia merutuki dirinya yang malang, hingga membuat putranya mencoba untuk bunuh diri seperti ini. Andai ia lebih perhatian dan bisa membuat putranya mengerti keadaan mereka, semua ini tidak akan terjadi.

Putranya akan tetap tersenyum dan menatapnya dengan penuh binar seperti biasa, memeluknya dari belakang saat ia tengah menyulam, atau mendengarkan dongeng Peterpan seperti dulu.

"Senna, itu bukan salahmu. Para moirai sudah memutuskan takdir kita, dan kita manusia hanya bisa menerima dan menjalaninya."

"Tapi itu bukan berarti putraku harus seperti ini!" Senna menyela, tatapannya dipenuhi rasa sakit dan penyesalan. "Dia tidak layak menerima semua perlakuan buruk itu, dia pantas untuk hidup bahagia selayaknya anak seusianya..."

Tangisnya benar-benar pecah kali ini, apa yang selama ini ia tahan, akhirnya keluar. Sambil memegang tangan putranya ia menyesali semua yang terjadi dalam hidupnya.

Ia pikir, bahkan jika menjadi selir tidak terlalu buruk. Ia mencintai sang Raja, ia hanya ingin hidup bahagia bersamanya dan memiliki putra atau putri agar kebahagiaannya bisa lengkap.

Ya, ia memilikinya. Takdir yang dirangkai oleh moirai memang membawanya untuk bersama orang yang ia cintai, dan juga balas mencintainya.

Tapi ia terlalu naif untuk berpikir bahwa para moirai berbaik hati padanya. Semuanya berubah 180° kala ayah dan pamannya dituduh berkhianat.

Keluarganya dihabisi didepan seluruh rakyat, aset keluarganya disita kerajaan, sementara ia sendiri diasingkan ke istana ini bersama putranya yang bahkan belum lahir saat itu.

Putranya lahir saat bulan purnama di pertengahan musim semi. Rasanya hidupnya kembali berwarna saat tangisan pertama putranya terdengar di kamarnya.

Waktu berjalan begitu saja, sampai tak terasa putranya bisa duduk, merangkak, berjalan, sampai berbicara dengan lancar.

Kata pertamanya, tawanya yang seperti angin musim semi, itu membuatnya merasa hidup kembali setelah kesedihan mengenai penghapusan seluruh keluarganya.

Estel, nama yang ia ambil dari tokoh ksatria. Berharap putranya tumbuh sehat dan bisa melindungi dirinya sendiri serta kerajaan seperti leluhurnya.

Ya, putranya tumbuh menjadi anak ceria. Terlampau ceria jika boleh ia bilang. Ia suka berceloteh tentang apapun yang ia lihat, rasa ingin tahunya sangat besar hingga terkadang itu membuatnya khawatir.

Tapi Estel mematahkan rasa khawatirnya. Sampai suatu malam ia menangis kencang, ia masih ingat, anak itu menangis terakhir kali saat terjatuh dari pohon apel dan berakhir diomeli oleh Bibi Emma, pengasuhnya.

Estel tidak bercerita, sebanyak apapun ia dan Bibi Emma membujuknya. Itu cukup membuat mereka khawatir, apalagi Estel adalah tipikal anak yang suka membicarakan semua yang ia alami pada mereka.

Perubahan tiba-tiba ini cukup membuat mereka berjaga-jaga, takut bahwa ini menjadi bom waktu yang akan meledak kapan saja.

Estel menjadi lebih tenang setelahnya, ia lebih sering pergi ke perpustakaan dan taman istana. Entah apa yang ia lakukan, tapi jika dilihat dari noda pada pakaiannya Senna bisa menebak apa yang anak itu lakukan.

Sampai kemudian, dua hari lalu hal itu terjadi. Hal yang benar-benar meruntuhkan dunianya kembali.

Kala orang-orang desa membawa tubuh putranya yang tak sadarkan diri dalam keadaan basah kuyup ke istana.

Ia tahu, beberapa orang mungkin menertawakan kejadian ini. Mengejeknya dibelakangnya, atau bahkan bersyukur bahwa 'si anak pembawa sial' yang mereka maksud akhirnya mungkin akan menemui sang dewa kematian.

Tapi untuknya, ibu dari anak yang mereka benci itu, itu adalah bencana. Mataharinya meredup, sumber kekuatannya akan direnggut darinya.

Setiap hari ia berdoa kepada Athena untuk keselamatan putranya, berharap putranya akan kembali sadar dan menjadi sumber kebahagiaannya lagi seperti semula.

Ketika ia tengah larut dalam kesedihannya, cahaya yang sangat terang muncul di kamar putranya. Baik ia maupun bibi Emma langsung terdiam dan menatap cahaya itu dengan takjub sekaligus takut.

"Tenanglah wahai anakku. Ini kami, para moirai." yang termuda berbicara. Dia adalah Klotho, salah satu dari tiga Dewi Moirai.

"Kami kesini untuk memberitahumu, bahwa putramu, Estel belum mencapai waktunya untuk pergi ke dunia bawah. Baik Athropos maupun dewa Thanatos sendiri, belum waktunya untuk membawa putramu." Kali ini, Lakhesis lah yang berbicara.

Athropos kemudian maju dan mengelus surai pirang remaja yang terbaring tak sadarkan diri itu, "putramu punya hati yang murni anakku, dia hanya tersesat sampai melakukan hal yang tak sepatutnya ia lakukan."

Ia lalu menatap Senna, wajahnya yang cantik tampak serius. "Tugasmu sebagai seorang ibu adalah membimbing dan mengarahkan ke jalan yang lebih baik, entah dia tumbuh dengan kasih sayang ayahnya atau tidak sama sekali."

Klotho mendekat dan tersenyum, "ingat saat kami datang di malam ketiga saat putramu lahir? Lihat, ia tumbuh seperti takdirnya. Namun ia gagal dalam mengambil keputusan disaat sulitnya. Itu membuat jiwanya sekarang terpisah dengan raganya."

"Kami disini untuk mengembalikan jiwa putramu, anakku." Lakhesis berbicara, ia berjalan kearah Senna dan menggenggam tangannya. "Tapi putramu tidak akan lagi sama."

"Karena pemotongan benang secara paksa, jiwanya menjadi sedikit rusak." terang Athropos, "dia akan tumbuh, tapi tidak seperti anak seusianya."

"Apa... maksud anda?" Senna bertanya lirih.

Lakhesis tersenyum, ia mencubit pipi tirus Estel dengan gemas. "Tubuhnya mungkin akan tumbuh dewasa, tapi sifatnya tetap akan seperti anak-anak. Ia akan terjebak dalam kenangannya ketika berusia lima tahun."

"Itulah konsekuensi dari memutuskan benang takdir secara paksa." Athropos menambahkan.

"Bahkan jika Thanatos membawanya, ia hanya akan dibawa ke Manor Tartarus. Tempat jiwa-jiwa yang memutuskan untuk mati sebelum waktunya." Lakhesis kembali berbicara.

Mendengarnya, hati Senna terasa pahit. Putranya bisa hidup kembali, tapi jiwanya rusak. Ibu mana yang hatinya tak merasa sakit saat mendengar hal buruk akan terjadi pada putranya?

Tapi, jika dibandingkan dengan kehilangan Estel untuk selamanya, mungkin itu tidak terlalu menyakitkan. Setidaknya ia masih punya alasan untuk hidup, putranya.


ㅤㅤㅤㅤㅤㅤTo be Continued

The Tale of Peterpan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang