Bab 1 - Sama-sama Apes

2 1 0
                                    

Sebelum wanita itu datang, semuanya tampak normal seperti pagi biasanya. Aku dan para ART komplek bersenda gurau. Saling menggoda satu sama lain dengan guyonan yang menggelitik hati.

Mereka tahu, aku adalah seorang janda. Tapi mereka tidak tahu, sebab apa yang membuat rumah tanggaku hancur. Hingga aku terdampar di sini. Saat ini.

Suasana masih kondusif saat kami memilah sayuran. Namun kemudian datang seorang wanita tiba-tiba nimbrung sok asik dan sok akrab, membuat bulu kudukku berdiri seketika. Merasai hawa tak nyaman sebab aku mengenalinya.

"Selamat pagi Ibu-ibu, perkenalkan saya Sulis. Baru kemarin pindahan ke sini." Wanita berusia 50-an tahun memperkenalkan diri dengan suara yang dibuat ramah.

Ya, sudah pasti dibuat. Aku tahu bagaimana suaranya yang asli. Dulu suaranya selalu menggelegar memekak gendang telingaku.

"Eh, Bu Sulis, mau belanja juga, Bu?" sambut salah seorang ART yang kebetulan sedang berbelanja sayur, berdiri tepat di sampingku.

"Tadinya sih mau belanja, tapi saya mendadak nggak nafsu setelah lihat ada sayur busuk di sini."

Bibirnya menjep, mencebik ke arahku. Tapi kuabaikan. Balas meliriknya pun tidak. Aku berusaha untuk berpura-pura tidak mengenalnya. Hanya satu alasanku, malas.

Jangan kira aku tidak tahu, yang dia maksud sayur busuk itu adalah aku. Mantan menantu yang tidak meninggalkan bekas kebahagiaan untuknya. Itu menurutnya. Tapi menurutku, sudah lebih dari cukup yang telah aku tinggalkan untuknya. Termasuk ....

Ah, aku sudahlah malas membahasnya. Biarlah waktu yang akan menguak dengan sendirinya.

"Eh, mana ada sayur busuk, Bu Sulis? Semua sayurannya segar-segar begini, kok!" protes ART yang lain.

Sudah menjadi rutinitas pagi di komplek ini. ART dan majikan berbaur untuk memilah sayuran. Setidaknya aku demikian. Entah para majikan yang lain.

Kami berdiri mengerubungi gerobak sayur Mang Adan. Berlama-lama mengulur waktu dengan memilah sayuran sambil sesekali melempar candaan.

Ada tujuan lain mereka mengulur-ulur waktu di sini (kecuali aku) selain untuk rehat sejenak dari pekerjaan.

"By the way, katanya anaknya Bu Sulis itu duda, ya? Mana masih muda lagi. Beneran itu, Bu?" tanya Ceu Elis si tukang jamu gendong yang kalau pagi buta begini bukannya ngider malah justru mepetin Mang Adan.

Ceu Elis ini bisa dibilang perawan tua. Sebab usianya sudah hampir kepala empat tapi belum juga menikah. Ya jelas nggak nikah-nikah, lha wong bentukannya saja genit begitu. Matanya langsung menyala hijau saat mendengar kabar ada duda baru di komplek.

Berita apapun selalu sampai dari mulutnya. Seolah Ceu Elis adalah akun lambe-lambean gosip yang paling akurat dan terpercaya. Pagi ini dia mengkonfirmasi langsung gosip yang entah bagaimana caranya bisa sampai ke telinganya.

"Anak saya memang duda, Mbak. Tapi nggak akan saya biarin nikah lagi sama perempuan yang nggak tahu diuntung!" Sindirannya makin keras dan makin tertuju padaku.

Sepertinya Mbak Imah yang berdiri tepat di sebelahku tahu kalau Bu Sulis sedari tadi melempar sindiran padaku. Wanita yang hari ini memakai jilbab warna Pink Neon itu memerhatikan wajah Bu Sulis sedari tadi. Jadi Mbak Imah tahu ke mana arah mata Bu Sulis guna melempar sindirannya itu.

"Kalau yang menjadi suaminya Jeng Murni nanti sih pasti lebih banyak untung daripada buntungnya. Udah dapet janda ting-ting, mandiri, punya usaha maju, nggak bakalan deh ngerepotin suami!" Seruan Mbak Imah menyentilku yang sedari tadi hanya fokus memilah sayuran saja. Terpaksa aku memaksa bibir ini untuk tersenyum kepadanya. Walaupun terasa kecut.

Pembalasan Menantu TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang