01

86 12 3
                                    

***
Jadilah pembaca yang bijak!!
***

Jalan setapak bagaikan duri yang menusuk, kaki tak beralas tertatih lemas. Kotoran melekat ditelapak tanganku, bau busuk menyebar sampai ke udara.

Orang-orang meracau galak dibelakangku. Meneriaki satu sama lain, mereka menggunakan bahasa asing yang tidak kupahami.

Kulit terasa perih ditiap jengkalnya, andaikan aku menyerah sekarang sama saja mati. Tidak ada cara lain, mati bunuh diri atau mati dibunuh orang lain. Sudah terlanjur sampai disini, aku mending mati bunuh diri daripada mati dibawah belas kasihan orang-orang itu.

Gang sempit, berliku-liku. Saat melewati tong sampah besar, aku bersembunyi didalamnya sambil menahan napas.

Suara langkah kaki mendekat dan melewatiku, seruan mereka tertahan dijauh sana karena kehilangan jejakku. Tampaknya mereka berpencar, aku semakin membenamkan diri ditumpukan sampah.

Keringat bercampur air mata, meskipun kini aku berhasil kabur. Mereka yang lainnya, dapat dan pasti selalu memperbudak diriku. Seolah-olah aku adalah magnet yang menarik semua orang bejat.

Kemana lagi aku harus pergi? Seharusnya aku menyuap lebih banyak lagi kotoran dimulutnya, hahaha. Iya, sambil mengelap sisa kotoran ditelapak tangan dengan bangga aku akan bilang, barusan aku mengumpal mulut seorang pria mesum dengan kotoran aku sendiri.

Karena suatu kondisi— aku cukup malu bilangnya, tapi bisa aku beritahu kalau ketika aku hendak keluar hajat, kotoran itu keluar sendiri tanpa perlu aku mengeluarkannya.

Kebetulan yang memuakkan, pria mesum itu lebih suka yang muda dan kurus. Seleranya pasti tidak sehat, aku mengkhawatirkan anak perempuan lainnya. Kami memang tidak saling kenal, hanya tahu nama dan itu sudah lebih dari cukup.

Dari banyak perempuan disana, pria itu memilihku.

Dibawah pergi, ke tempat yang dimana hanya ada kami berdua. Pria itu menarikku kasar, mencari kepuasan sendiri sembari meremas punya aku belum tumbuh.

Perut aku sakit, tanpa menunggu lama kotoran itu keluar. Pria mesum itu menatapku jijik, begitu ada celah aku mengambil kotoran yang jatuh dilantai lalu membekap mulutnya. Dalam hati, aku tertawa puas.

Kain baju yang kupakai kembali basah oleh bau menyengat. Tidak akan kusebut apa yang bikin bau itu, semua orang pasti punya bau badannya sendiri.

Kemudian, aku kabur dari sana dan sampailah aku didalam tong sampah ini. Para bajingan, mereka selalu dapat mengejarku dan begitu aku berhasil ditangkap, habislah sudah. Antara hidup dan mati. Dibiarkan hidup sebab masih ada peluang, dibiarkan mati karena memang sudah waktunya. Benar, kami barang. Bukan manusia.

Bagaimana nasib anak perempuan lainnya? Aku tidak punya gambaran baik untuk itu. Hal yang perlu aku pikirkan sekarang adalah kemana aku harus pergi?

Kelelahan bercampur kesedihan, aku mengejamkan mata dibawah tumpukan sampah. Memikirkan hidup lebih baik dari sekedar bernapas lega. Mencari cara agar— setidaknya, hidup aku bisa normal.

Harapan aku putus, sadar bahwa aku bukan siapa-siapa. Tanpa nama. Tanpa saudara. Tanpa uang. Tanpa pakaian dalam. Sebuah rongsokan, aku sudah ditempatku. Benar, tong sampah ini adalah tempat yang tepat untukku.

Terlelap sebentar, begitu aku bangun rasanya seperti melayang. Bunyi benda asing memekakkan telinga, aku meraba sekitar akibat guncangan. Tong sampah berbalik, menumpangkan isinya ke dalam truk pengangkut sampah. Aku ikut terbenam disana.

Susah payah aku menggali keluar, melupakan memar dan lecet ditubuhku. Langit sangat luas disaat matahari belum terbit, burung-burung terbang menghidupkan langit yang mati. Aku terpaku, sepanjang truk sampah membawaku pergi.

Tidak ada sampah yang diangkut lagi, sepertinya aku sampah terakhir.

Tenaga aku habis, jadi remah-remah makanan disini yang aku pilih. Memakannya. Rasanya bau bukan lagi masalah jika perut sudah kosong, apa saja mungkin bisa dikonsumsi.

Dada aku masih sakit, tadi tertimpah kantong sampah besar. Belum lama ini, aku yakin tubuhku semakin lemah. Aku tidak bisa menyalahkan hal itu, kenyataannya memang tidak memungkinkan aku tumbuh sehat dilingkungan kumuh. Bahkan, pertumbuhanku lebih lambat dari anak perempuan lainnya.

Sakit didadaku semakin perih, menyakitkan. Sambil makan aku menangis tanpa suara. Antara perasaan aku yang terluka atau memang ada yang salah dengan dadaku. Aku tidak bisa membedakannya.

Sinar matahari menyapu wajahku, hangat. Aku mendongak dan melihatnya muncul dari celah dinding truk. Kira-kira, sudah berapa lama aku hidup? Masa kecilku singkat, aku tidak ingat apapun selain ibu kandungku yang mengajarkan bahasanya. Wajahnya samar-samar, tapi ingatan itu melekat tidak jelas.

Suatu hari, beliau mencekik leherku. Aku menjerit kehabisan napas, tangan pendekku mencakar lengan beliau ngeri. Beliau adalah Ibu kandungku dan ia tidak menginginkanku. Begitu yang kupikir kan, beliau hendak membunuhku.

Seorang penjaga menarik beliau jauh dariku, belum pernah aku melihat beliau mengamuk seperti itu. Beliau juga meneriaki ku, aku tidak begitu mengingatnya tapi yang jelas nada nya tinggi.

Aku terpukul, semenjak saat itu aku tidak pernah bertemu lagi sama beliau. Hilang. Beliau lenyap dalam semalam. Walaupun beliau membenciku, cuma ia yang kupunya. Kenangan pahit itu membuyarkan lamunanku, sadar kalau langit luas mulai terhalang dahan-dahan pohon.

Udara sekitar jadi lebih sejuk, aku menikmatinya. Tidak tahu harus kemana, aku hanya memandang langit dibawah tumpukkan sampah. Sungguh, aku tidak memahami jalan pikir dunia yang aku tempati. Dunia begitu lunas, banyak yang belum aku lihat. Tetapi juga menakutkan, sangking luasnya aku terjebak dibayangan sisi tergelap.

Aku meragukan masa kecilku, sama halnya dengan masa depan aku saat ini. Apa aku bakal diberi kesempatan untuk terlepas dari rantai ini, atau tidak? Namun keinginanku sedikit, hanya saja sulit untuk dikabulkan.

Percaya tidak percaya, aku menyayangi diriku sendiri. Cuma aku benci keadaanku, aku tidak mau tubuhku rusak. Tubuhku bergetar, takut dan menolak lingkungan buruk itu. Aku sangat mencintai tubuhku, aku tidak mau tubuhku terluka selama berada ditempat bejat itu.

Untuk itu, aku melarikan diri. Ketika aku sadar, semakin kesini tubuhku semakin lelah. Kalau memang aku menyayangi diriku sendiri, sudah seharusnya aku mengakhirinya sebelum semakin parah, kan? Apa ini yang beliau rasakan? Kesakitan melihatku hidup ditempat yang salah, terburuknya adalah aku akan mengalami hal yang serupa dengannya. Beliau bukan hendak membunuhku, ia ingin melepaskan aku dari siksaan hidup yang tidak adil.

Pipi aku basah, keringat bercampur air mata. Sudah tidak ada tempat bagiku disini, bahkan sampah lebih terdengar baik daripada aku—

Truk sampah berhenti, guncangan pelan yang perlahan memuntahkan isinya keluar. Dibalik pepohonan, dibawah sana tertumpuk sampah dimana-mana dan disitulah aku dibuang.

Aku meraih sampah-sampah yang tersisa ditruk, berharap tidak ditimpah lagi sama sampah yang lain. Akhirnya aku terjatuh— aku meringis. Tergeletak tak berdaya, melihat sisa-sisa puih sampah ringan terbang diatasku.

Tikus berdatangan, mencari makanan yang baru saja jatuh dari langit. Mereka mendekatiku, mengira aku juga makanan. Aku menepis tikus-tikus itu, bangkit sambil terbungkuk lemah.

Disini tidak ada siapa-siapa, cuma sampah dan tikus yang sebesar kucing dewasa. Aku menatap ngeri hewan hama itu, beranjak pergi dari sana sebelum dikerubungi.

Tidak jauh dari tempatku jatuh, ada sungai. Disana aku minum, membersihkan diri sekaligus berendam tanpa busana. Pakaian yang kukenakan lagi aku cuci. Sungai ini mengalir tenang, cukup dalam dan agak sedikit berbatuan.

Aku menarik kain putih yang tersangkut dicelah batu, ini baju bertudung. Kotor, ada bekas robeknya lumayan banyak dibagian lengan. Aku bertanya-tanya, siapa pemilik baju bertudung ini? Tapi siapapun dia, aku berterima kasih karena telah memberiku pakaian untuk dikenakan.


TBC

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 18, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Latibule Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang