00

30 18 0
                                    

Ada desir bergulung-gulung melintasi sepi lalu melintasi hati, sesudah itu membuyarkan mimpi.

Jam di tembok menunjukkan ini saat dini hari Dingin malam melekat di dinding kaca.

Aneh? kantuk luruh dari kelopak mata.

Angin dan gerimis mendesah menghantamkan diri ke tanah resah.

Dia menisik waktu menanti pagi di udara jenuh dini hari, pikirnya mekar dalam pusaran sepi.

Terdengar derak kecil kala ia membuka jendela kamarnya, aroma khas tanah basah menyerusuk masuk paksa ke dalam rongga hidungnya, berdifusi di alveolus-nya dan keluar sebagai desah dari mulutnya.

Ada suara yang berbisik-bisik di dekat telinganya, yang sejuk menggema dalam dadanya.

Bisik itu Lagi-lagi ia datang membawa segenggam harapan yang tak ingin ia lepaskan apabila ia mendapatkanya.

Hujan yang jatuh setetes-setetes adalah langit yang luruh baginya.

Karena tak lagi bisa ia lihat biasan biang-lala cembung dari dirinya yang telah lama mengisi rongga di dada.

Dia memantapkan matanya pada dedaunan basah yang jauh di sana, pikirnya mengerucut akan gadis yang biasanya akan memotongi daun-daun kering itu.

Betapa ingatnya ia pada gadis yang akan selalu membersihkan kondominiumnya kala berkeadaan rusuh dan bobrok bak kapal karam, gadis yang akan selalu berkelakar akan betapa bencinya gadis itu pada dirinya saat dia berkata “Bagaimana bisa aku mencintai seseorang seperti dirimu?”

Masih lekat dalam pikirnya, ia ingat betul dan tak akan mungkin bisa lupa.

Kali ini, ketika bumi lelap tidur berselimut senyap, tinggal desah cemara terdengar di kelam melegam, sementara angin-angin mencari sarangnya mengembara risau, pelita-pelita padam kala waktu merambati gelap dan hujan yang seakan tercipta dari reruntuhan langit itu akan menjadi saksi betapa rindunya dia pada gadis itu.

Mea CulpaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang