Hai engkaulah ini
Yang sampai ke sini
Mencari tempat sepi
Dalam tiap-tiap kisi rongga dada
Sejenak angin melintas menyaput kulit wajahnya mengaktifkan saraf-saraf krause-nya.
Dia tetap diam, namun setetes demi setetes materi bening nan basah melesak dari pelupuk matanya.
Dia sendiri dan ini saatnya menumpahkan semua air mata yang memang ia sesumbarkan akan ia miliki sendiri tanpa butuh seseorang di luar sana mengetahui hal yang sebenarnya tak nyata ini.
Dia diam membiarkan angin itu mengeringkan air mata-nya sndiri membiarkan saraf-nya hampir kehilangan fungsi saat dengan parahnya dingin menusuk-nusuk kulit hingga ke tulangnya. Ia sadar, dan ia masih waras.
Dia cukup waras untuk tidak pergi ke mana-mana, apalagi ke nirwana yang jauh di awang-awang yang mungkin tak secuil pun bisa ia raba jika ia mencoba pergi dengan caranya sendiri.
Biarlah Tuhan yang menyiapkan skenario untuk hal itu, Tuhan maha adil untuk semua hal.
Termasuk untuk hal satu ini kala gadis itu pergi karena dirinya sendiri.
Andai saat itu ia lebih memantapkan matanya pada jalanan dan tidak memilih berbincang dengan gadisnya.
Meski waktu itu gadis itu tetap diam dengan semua kelakar yang ia sodorkan, ia tetap berusaha menjuruskan kelakarnya.
Dan itu benar-benar salah.
Dengan sengaja ataupun tidak, ia telah merelakan nyawa gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mea Culpa
RandomBagaimana bisa ia menikam sepi kala rindunya menggelinding pulang?