Setahun sudah aku mencarimu. Kau tidak meninggalkan bayangmu, Jimin.
Aku memilih mundur dari pekerjaanku demi mencarimu. Pekerjaannku tidak lebih penting dari dirimu. Pikiranku kacau, seminggu pertama adalah yang terparah. Aku berhalusinasi kau datang dan memelukku, semua tampak nyata sampai Namjoon menghajarku.
Katanya aku hancur, aku seperti mayat hidup. Benar, Jimin. Aku memang hancur. Lebih hancur dibanding kau ada disini. Namjoon yang selama ini membantuku agar tetap waras. Menemaniku hingga rela menginap di rumah kita.
" Aku takut kau melukai dirimu lagi Hyung. Seokjin telah mengijinkan ku untuk bersamamu sementara ini. Kau tahu? Kematian pertama memanglah sakit, namun kematian kedua adalah yang paling sakit. Ketika akalmu sudah membaik, kau akan tahu apa maksudku, Hyung."
.
.
.
.
Ya, Namjoon.
Kematian pertamaku telah kulalui, dan kini kematian keduaku yang tengah menyelimutiku.
Setahun berlalu membuatku perlahan sadar bahwa kehidupan akan terus berjalan. Sakit jika mengatakan bahwa aku masih hidup dalam kenangan masa lalu. Namun kau benar Namjoon. Kematian kedua memang selalu menyakitkan.
.
.
.
.
Aku tidak tahu bahwa kematian itu adalah hari ini.
Jimin, aku berhasil menemukanmu.
.
.
.
.
Benar, aku terlambat menemukanmu.