Teraktivasi

5 0 0
                                    

"Maaf, saya tidak tahu"

Sean memikirkan dalam pikirannya. Mengapa seorang professor yang seharusnya menjadi pengajar di ruang kelas, memiliki ketidaktahuan dalam materi yang dia ajarkan? Apakah sebenarnya materi yang diajarkan hanyalah materi kosong belaka? Ataukah materi-materi ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang nyata?

Pemikiran itu terus menghantuinya hingga ia hampir sampai ke halte bus kampus.

Angin bertiup kencang, hari itu adalah hari dengan awan yang mendung. Kemelut dalam pikiran Sean semakin memperbesar awan mendung yang menyelimuti kampus. Matahari tidak dapat menembus tebalnya awan yang mulai memperlihatkan sedikit sambaran petir. Tak terasa, setelah menunggu sekitar 10 menit, bus pun akhirnya hadir di halte. Sean memijakkan kakinya di dalam bus, dan segera ia pun masuk ke dalamnya. 

Sean, kembali ke rumahnya.

Jarak rumahnya hanya berkisar kurang lebih 4 kilometer dari kampus. Sean sudah terbiasa pulang pergi dari kampus ke rumahnya. Tinggal di rumah menghemat pengeluarannya untuk menyewa asrama dan makan. Biaya yang dapat ia alihkan untuk membantu pembayaran biaya setiap semesternya. Terbayang dalam kepalanya, sepertinya sup ikan hangat buatan ibunya akan menjadi pemecah kemelut dalam kepalanya yang dipenuhi dengan pertanyaan. 

Bus berjalan terus. Empat kilometer adalah jarak yang singkat, hanya 30 menit untuk sebuah bus mencapai tempat itu. Sean pun turun dari bus, dengan berjalan kaki sekitar 5 menit, rumahnya sudah dapat terlihat dari kejauhan. 

Setelah sampai pada depan pintunya, Sean pun menekan bel yang ada. Namun aneh, tidak ada satupun orang yang berusaha membukakan pintu untuknya. 

"Ibu! Aku pulang!" Sean berteriak. 

"Ibuuu! Aku pulang! Bukakan pintunya bu!" Sekali lagi, ia berteriak dengan kencang. 

Hal itu ia ulangi berkali-kali hingga tetangga-tetangga di sekitar rumahnya pun mulai terganggu. 

"Hei anak muda! Buka saja coba pintunya. Jangan teriak siang-siang begini!" 

"Hehe, maafkan saya paman. Ibu saya belum membalas dan membukakan pintu dari tadi. Saya juga tidak punya kunci rumah."

"Coba kau cek di bawah keset, orang biasanya menaruh kunci di sana."

Sean pun mencoba untuk mencari di bawah kesetnya. Tidak ada satupun kunci di bawah keset depan rumahnya. Namun, bahunya tidak sengaja menyenggol pintu rumahnya, dan ternyata pintu itu tidak terkunci.

Hari itu mungkin adalah hari yang benar-benar mendung, akan tetapi hujan belum saja turun. Awan dan isi kepala sudah sama-sama menampung air hujan yang akan turun dengan deras, namun, tak ada yang menyangka kalau pintu rumahnya lah yang akan menurunkan hujan tersebut. 

Baru saja pintu terbuka, Sean langsung melihat adanya bekas noda darah di lantai. Ia pun sontak langsung masuk ke dalam. "Ibu," Sean berteriak sembari memasuki rumahnya. 

Ia mengikuti jalur darah tersebut. Terlihat seperti ada seseorang yang berdarah yang digeret di dalam rumahnya. Dan darah tersebut mengarah ke dapur. 

Sean terdiam. Ia menangis dan berteriak sejadi-jadinya. Ibunya yang sangat ia cintai, tergeletak dengan pisau ada di lehernya. Sean yakin betul, ini adalah pembunuhan. Ia tak bisa mempercayai, ibunya yang sangat ia cintai akan mati dengan cara seperti ini. 

"Ibu.... Mengapa begini bu?! Siapa yang tega menyakiti ibu begini?! Siapa bu?!" Sean berteriak dan menangis, mendekati jasad ibunya yang masih bersimbah darah. 

Segera ia pun memanggil polisi dan rumahnya pun disegel. Sean masih trauma dalam kesedihan, melihat jenazah ibunya dibawa dalam kantong jenazah oleh para dokter untuk keperluan autopsi. Ia telah menghubungi sang ayah yang ada di luar negeri, dan menunggunya untuk datang kembali ke rumahnya. 

Namun, satu telepon datang dari sang Professor, Professor Newman. 

Dalam kesedihannya, Sean masih menyempatkan diri untuk mengangkat telepon dari Professor Newman. 

"Halo Sean! Aku akhirnya mendapatkan jawaban atas pertanyaanmu tadi siang. Entanglement bisa jadi memiliki jawaban di ranah yang jauh lebih filosofis. Entanglement memberitahu kita, bahwa semua yang ada akan berhubungan, akan tetapi seringkali efeknya adalah mengubah sesuatu yang tadinya negatif menjadi positif dan berefek sebaliknya pada yang lain. Setidaknya itu yang baru kutemukan."

Sean hanya terdiam. Air matanya masih menetes, tetapi tangisannya tidak bisa dikeluarkan. 

"Halo Professor. Apakah itu artinya, jikalau sesuatu yang tadinya ada, menjadi tiada, akan membuat sesuatu yang tadinya belum bangkit menjadi bangkit jikalau mereka ber-entangle?"

"Benar! Benar sekali! Kau memang jenius!"

"Baik Professor, terima kasih. Aku ternyata memang telah menemukan jawabannya lebih dulu sebelum dirimu. Sesuatu yang ada dalam diriku telah bangkit." 

Sean segera menutup teleponnya. Ia menyeka air matanya. Kemelut dalam kepalanya berubah menjadi hujan deras, dan setelah hujan, cahaya matahari berhasil menembus lapisan tersebut. Menyinari pemikiran Sean tentang satu hal yang harus dia lakukan, mencari kebenaran mengenai pembunuh ibunya dan membalaskan dendam ibunya.

EntangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang