Episode 21 Semburat

49 13 3
                                    

Mesa menaiki kapal, dan berlari menuju geladak. Tanpa bisa dicegah, air matanya mengalir keluar, seperti lava yang meleleh setelah gunung meletus. Dalam hatinya tengah berlangsung badai yang mengamuk laksana ombak yang memecah karang. Tangannya bersarang di dada, berharap rasa nyeri yang meletup-letup dari sana bisa mereda. Hatinya sudah patah.

Di sisi lain, Arka kini duduk berhadapan dengan Luna di sebuah restoran, menatap canggung ke sebuah piring yang berisi steak medium rare kesukaan gadis itu. Hanya ada keheningan yang menemani mereka selama itu. Luna tak kunjung berbicara, sementara Arka tidak tahu apa yang akan harus ia katakan.

"Steak-nya nanti dingin, Ta." Suara lembut nan halus menyapa indera pendengaran lelaki itu lagi. Arka tanpa sadar telah menahan napas selama sepersekian menit, karena merasa suara itu bagaikan lagu dongeng yang tidak nyata. Benarkah sudah enam bulan yang lalu? Mengapa rasanya sudah bertahun-tahun yang lalu?

Lelaki itu tidak lapar sebenarnya. Ia sudah makan siang. Menawari makan gadis itu hanyalah niatnya untuk bisa menyelesaikan masalah di antara mereka. Namun, ia memaksa tangannya bergerak menyentuh pisau dan garpu, mengiris-iris daging menjadi beberapa bagian. Lalu, seperti refleks, atas nama manner, lelaki itu menukar piringnya dengan piring Luna yang memang belum tersentuh.

"Makasih, Ta. Kamu selalu perhatian sama aku." Komentar Luna itu membuat gerakan Arka yang sedang mengiris daging di piring sekarang terhenti. Setelah itu, ia menjadi canggung. Sungguh ia tidak bermaksud untuk tetap perhatian kepada gadis itu setelah perlakuannya yang semena-mena. Arka memejamkan mata lalu mengumpat dalam hati. Cowok kentang memang akan selalu menjadi cowok kentang.

"Jadi ... kenapa kamu di sini?" tanya Arka setelah menarik napas panjang dan menyantap dagingnya hanya karena merasa sayang telah memesannya.

"Aku nggak bisa menikahi Leo, Ta. Aku ngerasa tersiksa dengan semua ... ini." Mata Luna yang sayu memandang lelaki itu, wajahnya yang seputih kertas semakin menambah kesan memelas yang dipancarkan olehnya.

"Itu bukan urusanku, Luna." Lelaki berkacamata itu mengembuskan napas panjang, lalu meletakkan pisau dan garpunya di atas piring. Bayangan wajah Mesa sebelum berlari ke kapal membayanginya sampai sekarang.

Bibir Luna tampak berkedut-kedut. "Aku tahu kamu masih marah sama aku, Ta. Tapi aku beneran nyesel udah ninggalin kamu."

"Leo?" Alis lelaki itu terangkat. "Dia nggak nyariin kamu?"

"Aku udah pamitan sama dia."

Kalimat yang dilontarkan Luna itu sungguh di luar dugaan. Arka nyaris mengumpat tetapi berhasil menahannya di ujung lidah.

"Kamu ... ah sumpah. Kamu bilang apa sama dia?" Kali ini ekspresi panik menghiasi wajah lelaki berkacamata itu. Bayangan lelaki berbadan tegap dengan wajah yang tegas begitu mengintimidasi dan meneror pikiran Arka.

"Kalau cuma kamu yang bisa membuatku bahagia." Rambut panjang Luna yang selalu menjadi kesayangan Arka, sedikit bergerak saat ia mengarahkan tatapannya ke luar restoran. "Aku udah nggak bisa, Ta, ngadepin dia dan keluarganya. Aku ... nggak bisa bebas."

"Luna, tunggu sebentar." Arka menelan ludah, karena merasa tidak siap dengan berondongan kata-kata dari mulut gadis itu. Semuanya benar-benar liar dan tak terkendali, sehingga lelaki itu bingung harus melakukan apa. "Ini benar-benar nggak pernah aku duga."

Senyuman di wajah Luna terkembang sangat lebar, diiringi binar mata yang memesona. "Aku tahu. Kamu pasti butuh waktu untuk mencerna ini semua. Tapi itu nggak masalah, Ta. Kita bisa memulai lagi. Bukankah kita berdua selalu punya cara untuk bisa mengatasi semuanya?"

Memulai lagi.

Benarkah itu yang ia inginkan? Perlahan-lahan, kebimbangan meliputi hati, sementara lelaki itu berdiam diri.

Luna mulai tampak nyaman. Beberapa kali, sepasang mata sayu itu bersirobok pandang dengan milik Arka. Senyuman tak lepas dari bibirnya, yang sedang menikmati daging panggang dengan saus itu. Sementara Arka, merasakan ada sesuatu yang tidak benar tengah terjadi. Namun, ia masih belum bisa mengetahui apa itu. Semakin lama ia menghabiskan waktu dengan Luna, sementara bayangan wajah Mesa siang tadi terus menerus menghantamnya dengan rasa bersalah.

Banyak hal yang Luna katakan, tetapi lelaki berkacamata itu tidak bisa menanggapi. Benaknya terlalu penuh dengan pikiran-pikirannya sendiri.

"Luna. Aku belum bisa berpikir jernih saat ini. Jadi, boleh nggak, kita selesaikan makan dan pergi?" tanya Arka dengan bimbang. Niatnya yang ingin menyelesaikan masalah mereka musnah sudah. Terlalu penuh kepalanya dengan semua pertimbangan yang ia punya, sampai ia tidak bisa mendengar perkataan gadis itu.

"Nggak papa, Ta. Aku ngerti. Aku tahu kamu. Mungkin kita bisa ngobrol leluasa di kamar hotel? Kamu nginep di mana?" Luna memamerkan senyuman yang lembut itu. Mata Arka menatapnya lekat-lekat, berusaha untuk menemukan perasaan apa yang ia alami saat ini ketika melihat Luna bersamanya sekarang.

"Aku udah mau balik ke Surabaya hari ini. Kapalnya ...." Saat lelaki berkacamata itu berbicara, ia tahu dirinya sudah terlambat. Kapal yang bertolak ke kota kelahirannya baru saja berangkat. Arka menelan ludah. Kesempatannya untuk berbicara dengan Mesa pun pupus. Ia tak bisa melakukan apa pun saat ini.

"Kamu naik kapal?" Alis Luna terangkat, dan meskipun samar, Arka bisa menangkap ekspresi meremehkan dari wajah ayu gadis itu. "Kapal pesiar?"

"Bukan. Ekonomi." Lelaki itu berdeham. "Kamu tahu dari mana aku ada di sini?"

"Aku masih pasang pelacak hape di alamat email kamu, Ta,"  sahut gadis berambut panjang itu dengan kalem.

Arka mengumpat dalam hati, tetapi di luar ia hanya menghela napas. Itu perbuatan sakit jiwa, menurutnya. "Kita udah bukan siapa-siapa, kan? Kenapa kamu masih nyari aku?"

"Aku butuh kamu, Ta. Dan aku lihat di tivi waktu itu, yang kamu teriak-teriak manggil namaku. Aku tahu, kamu juga masih butuh aku. Bagimu, aku seperti rumah, kan?" Mimik gadis itu beralih menjadi sendu, tetapi anehnya, Arka malah merasakan kehampaan dalam hatinya. "Aku benar-benar terharu, Ta. Sebesar itu kamu mencintai aku. Aku jadi semakin yakin untuk mengejar kebahagiaan aku, yaitu kamu."

Ada yang berubah dalam dirinya, Arka merasakan itu. Walaupun ia tidak tahu persis penyebabnya, tetapi ia tahu dulu kata-kata ini mampu melambungkannya ke langit ke tujuh. Namun, sekarang, kakinya masih menjejak di bumi. Matanya menatap gadis itu, berhasil menemukan kepalsuan dalam perkataannya.

"Apa yang bikin kamu yakin kalau aku itu kebahagiaan kamu? Bukan Leo, dan segala kemewahannya yang bisa menyenangkan kamu, atau bahkan--karirmu?" Nada dalam suara Arka bahkan terdengar dingin di telinganya sendiri. Ia masih ingat alasan mengapa Luna meninggalkannya enam bulan lalu, sebelum ia tahu gadis itu akan menikah dengan Leo. Karir dan kebebasan. Arka bahkan berniat melamarnya tetapi ditolak. Sekarang, Luna mengatakan semua pernikahan yang Leo tawarkan itu tidak cukup? 

Sebenarnya apa yang dicari oleh Luna dari Arka?

*episode21*

Keliners, cerita ini abis ini kuposting sampai episode 22 aja ya.

Endingnya seperti biasa nanti versi buku. So, Siap-siap ya

travelove (Diterbitkan oleh Karos Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang