GTB 19: Soal Hati

124 10 0
                                    

Aldric

Entah perasaan Aldric saja atau memang sikap Diandra yang sedikit aneh saat tiba di perkemahan. Ia merasa gadis itu tidak seperti dulu. Perasaan excited saat bersamanya tidak lagi tampak jelas di mata gadis itu. Diandra seolah hanya sedang berusaha senang ketika berada di dekatnya.

"Apa kamu masih pengin kita pacaran?" tanya Aldric saat mereka sudah selesai sarapan. Mereka semua sedang beristirahat sebentar sebelum melanjutkan kembali merapikan barang bawaan dan membongkar tenda untuk kembali ke Jakarta.

"Yah?"

"Ternyata kamu udah enggak suka sama aku, ya." Aldric memasang wajah muram di hadapan gadis itu.

"Aku suka kok sama kamu." Aldric melihat Diandra bicara cepat, tetapi kegugupan tak luput dari wajah gadis itu.

"Masa?" Lelaki itu berusaha menggoda Diandra walau ia tak yakin akan berhasil mencairkan suasana di antara mereka. Yah, ia memang tak pandai bercanda. Orang lain akan menganggapnya serius, karena wajahnya yang memang selalu terlihat datar dan sulit tersenyum. Padahal, sesekali Aldric ingin melempar candaan.

"I-iya," katanya terbata.

"Kalau aku juga suka sama kamu, gimana?" Diandra memandang Aldric dengan tatapan tak terbaca. Gadis itu hanya bergeming tanpa merespons ucapan Aldric. "Aku harap kamu tahu apa yang sebenarnya hatimu inginkan. Dipikirin lagi ya, Di!"

"Maaf."

Aldric menunggu gadis itu kembali bicara, tetapi Diandra masih diam sambil memandang ke arah sepasang sepatunya yang berwarna abu-abu. Warna yang seolah menandakan bahwa gadis itu masih bimbang dengan keputusannya. "Wajar kok. Usia kamu sedang ada di tahap menuju dewasa. Jadi, menurutku hal yang lumrah ketika hati dan pikiran mulai enggak berjalan selaras."

"Aku terkesan plin-plan, ya. Aku baru sadar, apa yang kita harapkan belum tentu itu yang benar-benar kita butuhkan."

"Jadi, aku termasuk orang yang kamu harapkan atau butuhkan?"

Aldric rasa, ucapannya tidak terlalu kasar untuk didengar oleh seorang perempuan yang sedang dilanda kebingungan dengan pilihannya sendiri. Panggilan telepon mengalihkan perhatian Aldric dari pekerjaan yang sedang ditekuninya saat ini. Ia menggeser tombol terima usai melihat nama si penelepon.

"Al, nanti sore ada waktu atau enggak?" Suara Viona di seberang sana langsung memenuhi gendang telinganya ketika telepon sudah tersambung.

"Enggak ada sih. Kali ini lo mau minta antar ke mana lagi?"

"You know me too well, Al." Aldric bisa mendengar gadis itu tertawa sebentar lalu kembali melanjutkan kalimatnya, "Nanti gue kasih tahu, ya. Intinya, nanti jam pulang kerja, gue ke kantor lo, ya!" Panggilan telepon terputus. Ia mendesah panjang. Viona selalu saja bersikap semaunya, gumam Aldric sambil menggelengkan kepalanya.

Lelaki itu kemudian kembali melakukan pekerjaannya yang sempat tertunda. Dan tak butuh waktu lama bagi Aldric untuk bisa kembali larut dalam berkas yang sedang dibacanya.

***

Aldric merasa dejavu saat pergi berdua seperti ini dengan Viona. Namun, tujuan kepergian mereka kali ini bukanlah ke tempat suvenir atau apa pun yang berhubungan dengan perayaan sebuah acara. Viona justru mengajaknya ke kafe Uptown. Di sana sudah ada Ansell dan juga Diandra.

Aldric cukup terkejut, tetapi bisa kembali bersikap tenang. Barangkali memang ada hal yang ingin Viona bicarakan kepada mereka. Namun, dengan meminta dirinya turut serta cukup membuat Aldric penasaran.

"Kalian udah nyape duluan ternyata," cicit Viona saat menghampiri meja di mana Ansell dan Diadra berada.

"Kalian berangkat bareng?" tanya Ansell saat Aldric dan Viona sudah berhasil duduk dan bergabung dengan keduanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Garis Tak BertepiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang