17 Agustus 2023
Beberapa orang tergeletak dalam sebuah rumah. Walau pagi begitu cerah namun suasana didalam Rumah itu begitu terasa berbeda.
Dua warga sedang tertidur dengan dibalut selimut dan kompres di kening mereka.
Dua pasien itu meringis, menggigil dan panas terasa di sekujur tubuh mereka.
Suara batu dan mutu terdengar sedang menggerus sesuatu. Aroma tanaman herbal tercium khas pedesaan.
Seorang perempuan muda sedang memberi kedua pasiennya itu perawatan. Ia dengan hati-hati mencampur beberapa tanaman herbal lalu menggerusnya hingga menjadi halus.
"Kapan mereka bisa sembuh?" Tanya seorang perempuan yang sudah berumur. Ia isteri dan ibu dari kedua pasien.
"Mereka hanya mengalami gejala demam biasa, tenang aja bu, dengan istirahat yang cukup dan bantuan beberapa racikan herbal yang diajarkan ayah, mereka pasti baik-baik saja" sang perempuan muda tersenyum mencoba menenangkan sang istri.
"Syukurlah,.. kalau itu yang dikatakan nak Syifa, ibu jadi tenang mendengarnya."
Syifa adalah nama perempuan muda itu. Dia adalah wanita yang penuh perhatian dan menjadi kembang desa disana. Rambutnya panjang dan berwarna kecoklatan. Kulitnya sawo matang. Namun tubuhnya juga tidak terlihat lemah menandakan dia juga seorang perempuan yang bukan sekedar anak rumahan seperti perempuan pada umumnya.
"Ibu turut sedih nak, maafkan suami dan anak ibu yang tak bisa menemukan Pak Abdi" nada simpati terdengar dari mulut ibu-ibu itu.
"Tak apa Bu, saya yang harusnya minta maaf karena suami dan anak ibu jadi seperti ini karena mencarinya." Senyum di wajah syifa memperlihatkan ketegarannya.
"Pokoknya ibu tak perlu khawatir, pasti semuanya akan baik-baik saja. Percayalah" syifa tetap tersenyum. Lalu ia memasukkan herbal-herbal kedalam tasnya dan berpamitan untuk keluar dari rumah warga tersebut.
Syifa berjalan menjauhi rumah itu.
Di tengah jalan ia tiba-tiba berhenti.
Ia memandang sebuah gunung yang menjulang tinggi didepan desanya.
Senyumnya berubah menjadi cemas.
"Ayah,.. kamu dimana?"
***
Touru menikmati pagi hari di pedesaan. Pandangannya begitu dalam menatap pegunungan didepannya.
Gunung itu bernama Siwangi. Bentuknya begitu Indah. Hutannya lebat dan juga daerah disekitarnya subur. Dibalik gunung itu ada hutan yang disebut hutan Gelap.
Touru menyeruput kopi hitamnya. Lalu ia mengepulkan asap rokok favoritnya.
"Kau yakin untuk masuk kesana?" Tanya Jaka yang sedang bersiap untuk pergi berkebun.
"Maksudku kau yakin takkan kenapa-napa masuk hutan Gelap itu?" Lanjut Jaka.
"Tenang saja, walaupun aku termasuk abiyasa, bukan berarti aku bisa bersikap gegabah" jawab Touru.
"Memang benar sih, Hebat jelas berbeda dengan gegabah" Jaka setuju dengan ucapan Touru sambil tersenyum dan mengelap perkakas miliknya.
"Kau lanjut saja nikmati kopi dan rokokmu itu, aku titip rumahku. Tapi nanti jangan lupa tolong kunci kalau kau ingin berpergian" Jaka mendekati Touru yang sedang duduk di papan depan rumahnya.
Jaka menyeruput kopi milik Touru.
"Aakhhhhh... Ternyata aku memang tak suka seleramu, kok bisa kau minum kopi tanpa gula?" Tanya Jaka dengan ekspresi seseorang yang mencoba sesuatu yang pait.
"Ahahaha,.. para penikmat kopi malah bakal bertanya sebaliknya, kau minum kopi apa mau minum air gula?" Ejek Touru.
"Air gula lebih baik daripada Kopi pait" Sanggah Jaka tak mau kalah
Jaka berjalan meninggalkan Touru.
"Hei, kok bisa kamu percaya begitu saja, gimana kalau aku maling?" touru sedikit berteriak
"Tak masalah, toh kau mau maling apa? aku tak punya apa-apa soalnya"
"Kalau kau mau, bawa pulang aja ketidakpunyaan ku, dengan begitu aku jadi punya apa-apa" teriak Jaka sambil tetap berjalan menuju kebunnya.
"Kehhhh,.. sungguh orang baik,.. aku harap kau jangan pernah bertemu orang jahat karena itu takkan jadi adil untukmu yang selalu berbuat baik" gumam Touru sambil tersenyum melihat pungguh Jaka semakin jauh.
Di desa Languana itu tak ada sistem alat tukar berupa Uang. Hal ini tak mengejutkan bagi Touru karena banyak desa yang dilaluinya juga memiliki keunikan tersendiri.
Di desa Languana rumah warga disana berupa rumah panggung. Tak ada listrik, tak ada alat elektronik. Semua masih alami.
Penduduk desa Languana tidak terlalu banyak juga. Profesi mereka lebih memilih bertani dan berkebun. Dalam sebulan sekali akan ada beberapa pedagang yang datang kesana. Penduduk desa akan melakukan pertukaran hasil tani dan kebun mereka dengan barang yang dibawa oleh para pedagang. Itulah kenapa walau penduduk desa Languana berada di pedalaman, namun mereka bisa mendapatkan barang seperti pakaian, alat masak dan sebagainya.
Ketika penduduk desa Languana diajak untuk bermigrasi ke desa yang sudah lebih modern, mereka menolak. Mereka sudah menyatu dengan alam disana. Baik orang tua maupun anak-anak sangat mencintai lingkungan alam yang selama ini hidup berdampingan dengan mereka. Hal inilah yang mendorong para pedagang untuk merelakan diri tetap masuk ke desa mereka walaupun jarak yang sangat jauh harus mereka tempuh. Para pedagang terkesima dengan prinsip dan kehidupan masyarakat desa Laguana.
Memang siapapun pasti ingin alam tetap lestari. Namun sedikit dari mereka yang benar-benar rela untuk mengabdikan hidupnya.
Kebanyakan manusia begitu serakah dan tertipu pandangannya. Dengan uang mereka rela mengesampingkan alam demi memanen uang dalam jumlah besar.
Renungan-renungan semacam inilah yang membuat Touru menyukai kehidupan dirinya sebagai pengelana Abiyasa. Ia berjalan dan menemukan berbagai bentuk kehidupan.
Kehidupan, apapun itu selalu memiliki nilai dan hikmah tersendiri. Banyak berjumpa dengan kehidupan, maka banyak pula hikmah yang bisa didapatkan. Itupun kalau benar-benar dicermati dan dipahami.
Touru tersenyum mengingat akan kesenangan dalam suka duka di kehidupannya. Ia lalu menyeruput habis kopi paitnya. Mengunci rumah singgahnya dan beranjak pergi untuk berjalan-jalan di desa Languana.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIYASA
AdventureCerita tentang petualangan seorang Abiyasa bernama Touru -campuran Indonesia dan Jepang- dalam menyelesaikan permasalahan tentang suatu fenomena yang disebabkan oleh Roh. Dalam petualangannya, hal yang pasti adalah, selalu ada makna atas setiap peri...