CHAPTER ONE - THE ROOM

51 4 0
                                    

“Terimakasih banyak, Pak.”

     Ucapan terimakasih datang dari seorang gadis berambut coklat yang akhirnya sampai di sebuah kamar apartemen yang disewanya. Sang pemilik yang berkemeja biru muda tersenyum kepadanya sebelum akhirnya meninggalkan gadis itu dengan menjual apartemen lawasnya yang sudah resmi berpindah kepenghunian.

     Ketika sang pemilik lama sudah tak lagi tertangkap netra coklatnya melalui pintu lift yang tertutup di sebelah kiri lorong, gadis itu akhirnya membuka pintu setelah mengambil beberapa detik untuk memilah-milah kunci di gantungannya. Sebenarnya ruangan ini dikunci menggunakan sebuah kartu, tetapi cara mengaksesnya untuk yang pertama kali adalah menggunakan kunci manual.

     Derit pelan bahkan hampir tak terdengar keluar dari pintu ruangan yang terbuka secara perlahan. Sebuah senyuman terukir tipis ketika matanya menatap ke dalam ruangan.

     Meskipun harus berbagi ruangan dengan orang lain dalam apartemen ini, Shea tidak meyesali ketika dia membayar biaya sewa penuh pada awal huni. Dia amat sangat yakin hunian barunya ini akan sepadan dengan mengapa dia membayar penuh di awal.

      Setelah mengagumi keindahan ruangannya, Shea segera menggeret dua koper besarnya menuju ke kamarnya.

     Berdasarkan informasi yang didapatnya dari Jack Houston, sang pemilik apartemen, rekan sekamarnya akan tiba paling cepat sore ini atau paling lama lusa. Shea mulai membayangkan betapa serunya ketika seandainya saja rekan sekamarnya ini memiliki frekuensi otak yang sama dan mereka akan menjadi teman yang baik.

     Sebuah keuntungan besar didapatkan oleh Shea dan rekan sekamarnya karena mendapatkan furnitur lengkap dan gratis dari sang pemilik dengan harga sewa perbulan yang amat sangat tak dapat dipercaya.

     Aroma bunga lavender di ujung ruangan merasuk ke dalam hidung Shea ketika dia membuka pintu ruangannya. Dibukanya pintu itu lebar-lebar sambil menggeret kopernya masuk.

     “Sungguh ruangan yang keren, Shea,” ujarnya pada dirinya sendiri dengan penuh kebanggaan.

     Sebelum menata pakaian-pakaiannya ke dalam closet, Shea keluar dari ruangan sebentar. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri seolah-olah takut seseorang memergokinya. Setelahnya, dia berdiri di pintu yang terkunci rapat yang letaknya sekitar 20 inci dari pintu ruangannya.

     Dengan sedikit lancang, Shea mengulurkan tangannya untuk menyentuh gagang pintu dan memutarnya.

     Terkunci. Shea mengembuskan napas lega begitu tahu sang pemilik ruangan mungkin belum membuka ruangannya.

     Setelahnya, dia kembali ke ruangannya untuk menata semua barang-barangnya.

— ☀️ —

     Dengkuran-dengkuran tipis menggema di seluruh penjuru ruangan. Sebuah playlist dari salah satu platform musik yang diputar oleh Shea selama menata barang-barangnya telah terhenti karena baterai ponselnya yang habis.

     Dengan tangan kanan yang menjulur keluar sofa dan badan tengkurap menghadap kiri menjadi posisi yang sangat nyaman setelah hampir satu jam Shea ketiduran di sofa tanpa mengubah posisinya.

     Ruangannya kini sudah sangat nyaman. Barang-barangnya tertata dengan rapi dan kini dia tinggal menikmatinya saja. Bukannya tertidur di kamarnya, Shea justru memilih sofa sebagai tempatnya melabuhkan mimpi-mimpinya.

Eyes Open for The LiquorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang