MENGASUH BOCIL KEMATIAN

21 1 0
                                    

•Selamat Membaca•

Masih kulangkahkan kaki jenjangku yang dibalut celana panjang warna hitam dipadu sepatu pantofel yang kian berpudar warnanya. Maklum, sepatu ini sudah menemaniku selama tiga tahun lamanya. Sepatu yang dihadiahkan untukku dari almarhum bapakku sewaktu aku masih duduk di bangku SMA. Sekarang, aku hanya tinggal berdua dengan ibu.

Matahari kali ini sangat terik. Kukibaskan map yang berisi surat lamaran ke arah wajahku. Baju kemeja putih yang aku kenakan sudah tak karuan lagi karena bercampur keringat.

Sesulit ini kah mencari pekerjaan?

Memang tidak mudah mencari pekerjaan di zaman sekarang ini yang hanya bermodalkan ijazah SMA.

Nayya Almaira adalah nama lengkap-ku. Hanya orang terdekat yang memanggilku dengan panggilan "Nayy".

Aku mulai menghentikan langkah. Karena rasa lelah mulai melanda. Duduk di trotoar jalan, tepat di depan rumah besar dan mewah yang dihalangi pagar berwarna coklat terang.

Wah, benar-benar rumah impian!

Secarik kertas yang ditempelkan di pagar rumah itu membuatku penasaran dan langsung berjalan ke arahnya.

"DIBUTUHKAN PENGASUH UNTUK ANAK USIA 7 TAHUN. JIKA BERMINAT SILAHKAN TEKAN BEL DI SEBELAH KIRI!!!"

Menarik. Mengasuh anak tujuh tahun bukanlah hal yang sulit, bukan?

Tanpa pikir panjang aku segera memencet bel tersebut. Setelah dibukakan pagar oleh satpam. Aku pun dipersilakan masuk ke dalam rumah mewah ini.

Waw, benar-benar luas! Sudah seperti istana mainan-ku dulu.

Di depanku, ada seorang pria yang berperawakan tinggi. Aku jadi dagdigdug tak menentu saat dia menatapku dari ujung kaki hingga kepala. Bisa salting aku kalau ditatap lama-lama sama orang ganteng seperti beliau ini.

Aku khawatir, kira-kira bau keringatku kecium gak, ya?

"Apakah kamu orang yang penyayang?"

Suara beratnya menyadarkanku dari lamunan sekejap.

"Iya, Pak. Kalau itu sih, sudah dipastikan," balasku sambil tersenyum.

Seorang wanita paruh baya datang lalu menaruh secangkir teh yang begitu menggoda jika melewati kerongkonganku yang haus ini.

"Diminum dulu tehnya," ujarnya, mengarah kepadaku.

Aku tersenyum seraya berkata, "Iya, Bu. Terimakasih."

"Panggil saya Oma. Ayo, duduk dulu," ucapnya ramah.

"Iya, Oma." Aku pun mulai menurunkan diri untuk duduk di atas kursi. Namun, aku malah terjungkal ke belakang karena posisi kursi yang sudah diubah oleh anak laki-laki yang kini tengah nikmat mentertawaiku.

"Devan!" geram mereka berdua.

Anak itu berlari menjauh sambil menjulurkan lidahnya meledek ke arahku.

Aku meringis. Oma membantuku berdiri. Dengan mimik wajah merasa bersalah. Oma berkata, "Ada yang sakit?"

Aku menggeleng dan beralih duduk. "Nggak sakit kok, Oma. Cuma ngilu."

"Maafin cucu Oma, ya? Devan anaknya memang begitu."

"Gapapa kok, Oma. Namanya juga anak kecil."

"Devan bukan anak kecil biasa. Dia usil, jahil, dan sangat nakal tentunya. Apa kamu masih minat untuk menjadi pengasuh Devan?"

Aku mengarah pada pria tadi, sambil menahan rasa ngilu yang sama sekali belum hilang.

"In Sya Allah, saya siap, Pak!" jawabku dengan semangat, tapi jujur. Dari lubuk hatiku yang paling dalam. Aku ragu, apa diri ini akan tahan dengan sikap bocah itu?

KUMPULAN CERPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang