•Selamat Membaca•
Namaku, Rahmat Hidayat. Lahir dari keluarga yang serba berkecukupan memang bukan sebuah pilihan. Namun, rasa syukur selalu ku-tanamkan atas nikmat yang telah diberikan oleh Sang Maha Penguasa langit dan bumi, kepada keluarga kecilku.
Tidak seperti umur sebayaku yang melanjutkan pendidikannya. Aku yang berumur 13 tahun dituntut oleh keadaan untuk bekerja di ladang bersama bapak.
Aku tidak merasa sedih ataupun iri pada temanku. Justru aku bersyukur bisa membantu bapak bekerja untuk kebutuhan keluargaku sehari-hari. Walaupun menjadi patani di ladang. Setidaknya, beban pekerjaan bapak berkurang sedikit.
Ibu sudah lama-lama sakit-sakitan. Semenjak kakak perempuanku tak pernah lagi pulang ke rumah.
Kisahnya, setelah kakakku lulus dari Sekolah Menengah Pertama. Beliau ditawari bekerja oleh Pak Kepala Desa di ibu kota sebagai ART. Kakakku tak menolak tawaran itu. Akhirnya, ia pun berangkat dengan teman-temannya yang lain -- yang tidak melanjutkan pendidikannya -- untuk bekerja di ibu kota menjadi ART.
Namun, sudah dua tahun lamanya. Mereka tak kunjung kembali.
"Kapan mereka pulang? Bagaimana keadaannya?" Pertanyaan itu selalu kami lontarkan kepada Pak KADES. Namun, dia terus saja menjawab, "Saya tidak tahu! Itu bukan tanggung jawab Saya!"
Aku, Bapak, dan warga yang lainnya sudah sangat geram. Pasalnya, banyak sekali perempuan di desa kami yang ikut akan tawarannya untuk bekerja di ibu kota, dan diiming-imingi gaji yang cukup lumayan besar.
Satu bulan tiga juta. Menurut kami yang hidup serba berkecukupan, jumlah uang segitu sangatlah banyak. Dan, kebanyakan di desa kami banyak yang hidupnya serba berkecukupan. Maka dari itu, mereka yang ditawari bekerja sebagai ART oleh Pak KADES tak ada yang menolak.
Awalnya, aku pun ingin ikut bekerja dengan kakakku. Namun, syaratnya harus perempuan.
Aneh menurutku. Apa seorang lelaki tidak boleh menjadi Asisten Rumah Tangga?
"ALLAHU AKBAR!" teriak bapak dengan lantang.
Aku, Bapak, dan warga lainnya sedang berdemo di rumah Pak KADES seperti biasanya. Kami lakukan demo ini setiap hari, agar Pak KADES segera menyelesaikan dan mengusut masalah ini. Namun, yang kami terima hanyalah siraman air dingin yang membasahi baju kami menjadi basah kuyup.
"Allahu Akbar ...," ucap Bapak lirih, kala air itu masih menyirami kami semua.
Hal ini sudah biasa Pak KADES lakukan setiap kali kami berdemo di depan rumahnya. Dia selalu menyirami kami dengan air sedingin es.
"JIKA KALIAN TIDAK PERGI DARI SINI! BUKAN LAGI AIR ES YANG SAYA SIRAM! TETAPI AIR PANAS!" teriak Pak KADES dari atas balkon rumahnya.
"KAMI TIDAK TAKUT!"
"YA! KEMBALIKAN PUTRI KAMI!"
"DI MANA PUTRI KAMI?!"
"TANGGUNG JAWAB, PAK KADES!"
"KADES PENIPU!"
Begitulah komentar para warga membalas perkataan Pak KADES.
Wajah Pak KADES nampak memerah, karena kesal akan tindakan kami. Tapi, kami lebih kesal atas tingkahnya. Ia nampak mengisyaratkan kepada seorang lelaki berbadan kekar di sampingnya.
Tak lama dari itu. Siraman air yang tadinya dingin kini berubah menjadi panas. Sangat panas. Rupanya dia tidak bermain-main dengan ucapannya. Hal itu mampu membuat jiwaku sangat marah.
Lihat saja, suatu hari nanti. Jika aku sudah dewasa akan ku ungkap semua kebenaran yang ada. Dan aku pastikan, Pak KADES akan mendapatkan hal yang setara dengan perbuatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KUMPULAN CERPEN
Conto•KUMPULAN CERPEN• 1. MENGASUH BOCIL KEMATIAN 2. DARMAWANGSA DAN KENANGANNYA 3. TAKBIR TERAKHIR BAPAK