15: Domino

237 26 4
                                    

Saat ini aku bersama dengan sepuluh anggota Divisi PR sedang berkumpul di meeting space yang ada dimiliki salah satu kafe di dekat kampus. Duduk mengelilingi meja besar kayu berbentuk persegi panjang yang menopang berbagai jenis minuman dan cemilan yang kami pesan.

"Yang paling deket dulu aja, ya," ucapku kepada semua anggota. "Buat lomba kebersihan. Gio gimana? Udah siap semua?"

Mengingat kurang dari dua minggu lagi lomba kebersihan antarfakultas akan berlangsung, banyak yang harus kami persiapkan. Gio merupakan salah satu anggota PR yang bertanggung jawab untuk acara tersebut.

"Aman, sih, Mbak. Buat departemen sama juri udah dihubungin dan semua oke. Tinggal ngasih surat resmi aja. Sama ruangan buat beliau-beliau diskusi hasil nanti. Semalem aku udah minta tolong ke sekre buat bikinin suratnya." Gio menjelaskan panjang lebar. "Apalagi, ya, Nis?"

Nisa merupakan partner Gio.

"Ini, Mbak, sama Pak Darman kemarin nanyain ke aku masalah evaluasi atau penilaiannya." Nisa, mahasiswi berkerudung hitam yang duduk di sebelah Gio menambahkan.

Aku mengangguk tanda mengerti. "Aku juga belum dikasih, sih, dari acara. Nanti aku tanyain, ya. Mungkin bisa sekalian sama surat resminya."

Gio dan Nisa serentak mengiakan.

"Oh, iya. Itu surat resmi sekalian undangan buat per departemen, kan?" tanyaku memastikan.

"Iya, kok, Mbak. Tenang." Gio tersenyum lebar.

Aku mengikuti gesturnya. "Mantap!"

"Posternya mau di-post kapan emang, Mbak?" tanya Indah yang duduk berseberangan denganku.

"Wait." Aku membuka ponsel, mengecek kembali notes yang ada di grup chat para koor. "Seminggu sebelum acara, tanggal 22. Nanti aku pastiin lagi sama anak PDD."

"Nggak ada masalah, ya, berarti buat lomba kebersihan?" Aku bertanya sekali lagi.

"Udah itu aja, sih, Mbak. Besok mau masukin ke TU buat surat pinjam ruangnya." Gio meyakinkan.

"Oke. Jangan lupa diingetin, ya, KSK buat suratnya," ingatku.

"Sip, Mbak." Gio dan Nisa menjawab serempak.

"Oke. Lomba kebersihan udah beres, next...seminar, deh." Aku mengecek satu per satu list yang perlu dilakukan. "Gimana progres-nya, Co?" Aku mengajukan pertanyaan kepada Rico yang duduk di sebelahku.

"Kemarin aku sama Intan udah bagi tugas ngehubungin speakers, Mbak, tapi masih pada belum ngasih kejelasan gitu. Ada yang belum dibales, ada yang bilang, sebentar saya lihat jadwal saya dulu, ya." Rico meringis.

"Mantep banget emang," sarkasku.

Waktu terus berlalu, sampai kami mengakhiri rapat ketika hari mulai beranjak petang. Setelah lelah bermacet-macetan di jalanan Jogja pada jam pulang kantor. Dengan gontai aku berjalan dari parkir kos menuju kamar. Menaiki satu per satu anak tangga dengan tenaga yang tersisa. Bukan karena rapat, tapi aku lemas karena sudah membayangkan duluan tugas yang telah menanti untuk aku kerjakan.

Pintu kamarku telah terbuka. Tentu saja, karena memang sudah ada penghuninya. Siapa lagi kalau bukan Nada.

Aku menggantungkan totebag di gantungan tas dan langsung duduk bersila dengan bersandar dengan ranjang. Kasurku telah dikuasai Nada yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya.

"Gue mager banget, Nad." Aku membuang napas, lalu berbalik badan. "Aaaaaaaaaa." Aku berteriak dengan membenamkan wajah di bed cover. Tidak lucu jika aku teriak lalu dikira ada maling.

Mysteriously MatchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang