Bab 2

17 7 4
                                    

"Seharusnya aku ga ngajak cowo itu. Aku menyesal," Aku duduk diatas ranjang sambil memeluk bantalku. menggerutu sendiri selama 10 menit.

"Dasar laki laki bodo, sok sok an banget jadi orang. Udah maksa, ngejek lagi. Rasanya ingin kuhancurkan tubuhnya. "

"Walau dia pintar bahasa, tetapi aku pasti akan dimanfaatkan olehnya. Tidak asik. "

Kina berada disangkarnya, terdiam. Sepertinya dia mendengarkan ucapanku. Setelah aku berhenti menggerutu dia berkicau merdu seperti biasanya. Aku turun kedapur, wajah kesalku masih terlihat. Mamaku di dapur sibuk menyiapkan makan untuk nanti malam. Wajahnya yang keriput dan sudah semakin tua itu berkeringat. Wajah cantiknya tak pernah menghilang. Aku menatapnya sejenak, Mama langsung menoleh ke arahku dan berkata, "La, bantu mama sebentar. "

"Bantu apa?"

"Angkatkan jemuran dibelakang ya La, sekalian beri makan si Kina."

Aku mengangguk mengerti, aku berjalan ke belakang rumahku. Disana terdapat banyak pohon kelapa dan tumbuhan besar lainnya. Tidak ada rumah satupun disana, hanya hutan. Aku berkonsetrasi sebentar dan aku melayang. Tubuhku yang pendek dan kecil ini tidak bisa menggapai pakaian yang dijemur di besi jemuran yang paling atas. Aku mengambil satu per satu pakaian sambil bersenandung merdu. Burung burung hinggap di dahan dahan pohon, menatapku dan kemudian ikut bernyanyi.

Saat sudah selesai mengangkat semua jemuran, tiba tiba aku mendengar suara berdentum di daerah hutan jauh disana. Suara itu berbunyi berkali kali. Burung burung mulai mendekati suara itu dengan perlahan, tak takut dengan suara dentuman. Aku mendengarnya sejenak sambil menatap kearah sungai yang ada jauh di dalam hutan belakang rumah. Aku ingin memeriksanya tapi Mamaku sudah memanggilku duluan. Tanpa menghiraukan suara berdentum aku berbalik, segera masuk. Aku melirik sebentar terdapat cahaya berwarna warni cerah didalam sana.

"Itu apa ya? " tanyaku.

* * *

"Lama sekali sih La."

"Mama tidak ingat? Tubuhku pendek. Itu akan memakan waktu jika mengangkat jemuran yang mama jemur di besi paling atas. Itu karena aku tidak sampai, " Ucapku sebagai alasan.

Mamaku tertawa, aku hanya menatapnya. Aku berjalan pelan menuju kamarku, memberi Kina makan. Aku menurunkan sangkarnya, membukanya pelan dan mengelus bulu halus Kina.

"Kau kan burung sudah enam tahun lamanya, kenapa kau masih hidup?" Tanyaku, Kina langsung diam. Dia mematuk jari kelingkingku. Aku mengaduh dan sesegera mungkin memasukkan Kina kedalam sangkarnya.

"Dasar burung pemarah, diajak bercanda aja susah, " Aku meletakkan makanannya didalam sangkar dengan hati hati. Setelah selesai, aku kembali turun.

"Suara berdentum tadi itu apa ya? " batinku. Aku masih penasaran dengan suara itu. Akhirnya aku kembali ke belakang rumah. Suara dentuman itu sudah hilang. Namun masih tersisa cahaya remang remang disana. Aku memberanikan diri mendekati cahaya itu.

Matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat. Semburat virama berwarna jingga kemerahan menghias langit dengan sangat indahnya. Udara semakin sejuk, cahaya baskara yang menyinari bumadhala mulai meredup. Aku bernyanyi pelan, burung burung membalasnya dengan kicauan merdu. Angin berhembus selembut kain sutera, membuat daun daun kering milik pohon pohon besar lepas dari tangkainya dan bertebaran dimana mana. Pohon bergoyang goyang seperti menari bersama sama. Aku memejamkan mata, merasakan desiran suara angin, dan merasakan suasana yang sangat sempurna tenang.

Aku sampai dimana cahaya itu berada, cahaya itu bersinar di tengah tengah sungai dengan air yang tenang. Bentuknya seperti permata. Permata itu memiliki cahaya warna warni yang tiada tanding. Ketika aku hendak menyentuhnya, tiba tiba permata yang memiliki cahaya cahaya yang indah itu perlahan berubah menjadi cahaya gelap. Matahari sudah tak nampak lagi. Suara kicauan burung yang merdu sudah berhenti.

Burung burung berterbangan di awan tak beraturan. Permata indah itu sudah penuh dengan warna gelap. Awan mendung datang menghancurkan suasana senja yang menyenangkan. Angin terasa kasar, berhembus dengan sangat kuat hingga rambutku berkibar tak beraturan. Terasa sayup sayup suara mama memanggil, disusul dengan suara gemuruh petir yang mengacaukan hati. Langit seperti mengamuk, menurunkan hujan tiba-tiba yang begitu deras.

"Atlanna, ayo pulang. Jangan bermain hujan! " suara mamaku dari kejauhan. Aku melirik kebelakang, terlihat mamaku melambaikan tangan. Aku kembali menatap ke arah sungai yang permatanya sudah menghilang tinggal tersisa abu di atas permukaan air. Aku berbalik badan, berlari pulang. Hujan mengguyurku, badanku basah kuyup. Tubuhku menggigil kedinginan. Entah kenapa, suasana begitu cepat berubah. Dari suasana damai bisa menjadi badai dengan begitu cepatnya. Suara gemuruh petir semakin dekat. Langit memancarkan sinar kelap kelipnya, dan membunyikan petir yang begitu kuat suaranya.

Cklek.

Mamaku menutup pintu belakang, menggelengkan kepalanya. "Hari sudah mau malam, kenapa kamu malah bermain keluar sana La? "

"Aku tadi lihat cahaya ma, sungguh. Cahaya itu permata yang bersinar di tengah sungai. Namun, tiba tiba berubah menjadi warna gelap dan menghilang menjadi abu, " Ucapku sambil merapikan rambutku yang basah.

"Mama tidak lihat apa apa La. Mama hanya melihatmu diam di samping sungai sana. " ucapnya. Mataku langsung melotot menatap mama, "Beneran ma?" mama mengangguk.

"Kamu juga ngapain ke pinggir sungai, bahaya La. Sungai itu dalam sekali. Dan juga sudah tau mendung, bukannya masuk malah bermain. Kamu ini, susah sekali diberi tahu."

"Mendung? Sejak kapan mendung ma? " tanyaku.

"sejak mama menyuruhmu mengangkat jemuran. Sudah sana mandi, bersihkan dirimu. Jangan lupa gosok gigi. " mama mengingatkan.

"Hah yang benar saja? Senja tadi hukan cuma imajinasiku saja kan? "

.

.

.

.

"Ma, aku berangkat ya!" aku mencium tangan mamaku dengan lembut, mamaku mengelus pundakku.

"Hati hati, La. Jaga dia di perjalanan ya pa."

Papa mengacungkan jempol terbaiknya, kami masuk mobil sambil melambaikan tangan. Mobil kami berjalan dengan kecepatan rata rata. Aku menatap sekeliling. Aku masih saja memikirkan kejadian semalam yang membuatku tidak bisa tidur.

"suara berdentum itu apa ya? Dan dari mana asalnya permata indah itu? "

"Papa perhatikan Lanna dari kemarin lebih banyak diam daripada berbicara. Ada apa La? "

Aku menatap ke depan, menatap punggung papaku. "Hanya karena Nalendra saja kok Pa," ucapku sebagai alasan.

"Nalendra? Ada apa dengannya La? Sepertinya kamu sangat membencinya ya? "

Aku mengangguk, "Tentu, dia menyebalkan pa. Dia mengejekku pendek. Dia selalu memanggilku dengan itu pa, siapa yang tidak sebal coba jika dipanggil dengan nama seperti itu? "

Papaku terkekeh. "kamu memang pendek, La. Menurut papa, Nalendra orang yang seru. " ucap papa. Wajahku mulai terlihat sebal, aku menyilangkan tangan di dada. Aku menatap ke luar jendela mobil, jumantara sangat indah. Dihiasi oleh para awan awan berwarna putih bersih. Matahari muncul di sebelah timur daerah daerah pegunungan. Suasana cerah tiada angin, burung burung hinggap di dahan dahan pohon menatap keatas langit. Aku kemudian menatap ke langit sebelah timur, cahaya warna warni bersinar sangat terang hingga mengenai mataku. Sejenak aku berpikir, "Eh, cahaya itu! "

.

.

.

.

.

Jangan lupa Vote agar terus berkembang.

Maaf bila ada kata kata yang kurang anda mengerti.

Beri kritik atau saran bila berkenan. Diusahakan menggunakan bahasa yang sopan dan tidak menyinggung pihak manapun. Tolong beritahu saya jika ada penulisan kata tidak baku di cerita saya (saya akan memperbaikinya) , penempatan tanda baca yang kurang pas, huruf kapital, dan yang membuat anda kurang nyaman. Terimakasih.

Arti kata yang dicetak miring ada di komentar!

- Hazel Adeline.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 28, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Princess 'ATLANNA'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang