26. Diluent (5)

1.1K 277 54
                                    

Kebetulan adalah serangkaian takdir Tuhan yang sedang menyamar.

Begitu kata si tengil Randu saat berfilsafat. Jadi apa maksudnya Tuhan beberapa bulan terakhir ini terus-terusan mempertemukannya kembali dengan Angga? Padahal selama dua tahun sebelumnya ia berhasil tidak kontak sama sekali dengan pria itu. Lidya jadi geram sekali memikirkan kebetulan-kebetulan yang terus terjadi belakangan ini.

"Aku pikir hubunganmu dan Pak Haris serius," Lidya mendengar Angga berkomentar, ketika mereka berdua telah keluar pagar rumah. "Tapi kok kamu sekarang malah dekat sama laki-laki itu, sampai sudah kamu bawa ketemu Papa?"

Dalam hal ini Angga belum terlalu berubah banyak. Jika ia tidak suka pada seseorang, maka akan terlihat jelas sekali dari ekspresi dan suaranya. Kali itu Lidya menangkap kesan bahwa Angga tidak suka dengan Randu.

Apa hak kamu ngatur-ngatur aku dekat dengan siapa?, pikir Lidya sewot. Meski ia berhasil menahan diri, hanya mengatakannya dalam hati.

"Mas masih sering ketemu Papa ya?" Lidya mengalihkan.

"Oh, nggak kok. Cuma kadang-kadang aja. Ini juga sebenarnya kebetulan aja aku abis mampir dari restoranku yang disini. Trus inget Papa. Jadi aku bawain laksa kesukaan Papa."

Lidya mengangguk-angguk. "Makasih ya Mas, masih inget dan perhatian sama Papa."

"Papa kan papaku juga."

"Tapi sekarang nggak bisa begitu lagi," potong Lidya dingin.

Dahi Angga berkerut melihat ekspresi dan mendengar nada suara Lidya yang dingin.

"Apa istri baru Mas tahu bahwa Mas mampir kesini?"

"Eh?" Angga terlihat kaget dengan pertanyaan Lidya yang tiba-tiba dan tidak terduga.

Tapi Lidya tidak memberi waktu kepada Angga untuk mencerna maksud dan implikasi pertanyaan tersebut. Sebelum Angga sempat merespon, Lidya sudah melanjutkan kalimatnya.

"Papa itu papaku. Dan karena kita bukan suami-istri lagi, Mas nggak perlu terus mengingat kami. Aku dan Papa adalah masa lalu Mas. Bayangkan, gimana perasaan istri baru Mas kalau dia tahu Mas masih berkunjung ke rumah mantan mertua Mas?"

"T-tapi Lid, bukan gitu___"

"Mas nggak perlu lagi seperti ini," potong Lidya dengan cepat. "Hati-hati di jalan, Mas."

Lalu sebelum Angga sempat menjawab, Lidya sudah berbalik dan melenggang pergi dari hadapan pria itu.

Lidya tahu hal itu tidak sopan. Tapi kali ini dia merasa harus bertindak tegas agar ia tidak bertemu lagi dengan pria itu. Karena pertemuan kembali dengan mantan suaminya itu, dan melihat keadaannya baik-baik saja kini bersama wanita lain, membuat Lidya marah. Padahal ia tidak berhak marah. Oleh karena itu, hal paling tepat adalah tidak lagi bertemu atau mendengar kabar tentangnya, agar penyakit di dalam hatinya tidak makin menggerogotinya.

* * *

Kalau bukan karena dikenalkan langsung oleh Lidya, Randu pasti tidak percaya bahwa lelaki di hadapannya ini adalah ayah Lidya. Lha wong Lidya tegas begitu, tapi ini ayahnya Lidya kelihatan sebagai orang yang santai dan ramah.

"Jadi ini Mas Randu bukan nganterin dari Jakarta?" tanya ayah Lidya, tampak masih bingung. Sebab tadi saat Lidya bilang bahwa pria ini yang jauh-jauh mengantarnya pulang, ayah Lidya pikir mereka datang dari Jakarta. Tapi barusan lelaki ini bercerita bahwa ia hanya mengantar Lidya dari salah satu hotel di Bandung.

Ayah Lidya sudah mengantisipasi kalau-kalau pria ini adalah teman dekat Lidya yang baru, karena sampai jauh-jauh menemani Lidya pulang ke Bandung. Tapi setelah mendengar penjelasan Randu bahwa mereka adalah rekan sekantor dan memang ada office gathering di Bandung, harapan ayah Lidya segera pupus kembali.

EKSIPIEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang